Hanya 18% Usia Sekolah yang Mampu Kuliah
ANTARA/Sahrul Manda Tikupadang
Sejumlah warga melihat hasil pengumuman seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) di Makassar, Jumat (16/7) malam.
Pendidikan tinggi masih menjadi barang mahal bagi masyarakat
Indonesia. Sebab, untuk masuk perguruan tinggi dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Selain uang pangkal, uang kuliah, transpor, buku, dan keperluan lainnya, hingga kelak biaya wisuda, kalau sudah lulus.
Tak heran jika Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) mencatat, angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi secara nasional hanya 18%. Artinya, hanya sekitar 18% dari total seluruh anak Indonesia berusia 19-24 tahun, yang berjumlah 25 juta, yang bisa mendapat kesempatan masuk atau mengakses perguruan tinggi.
Belum lagi kalau dilihat dari distribusinya pada tingkat regional yang belum merata. APK rata-rata nasional masih didominasi oleh dua provinsi, yaitu Yogyakarta dan Jakarta, masing-masing 63%.
Dibandingkan dengan negara-negara Asia, Indonesia jauh tertinggal. Tiongkok saja, dengan jumlah penduduk 1,5 miliar jiwa, APK perguruan tingginya sudah mencapai 20%. Filipina 28%. Malaysia bahkan sudah membumbung tinggi, 42%. Indonesia sangat lebih jauh tertinggal dibandingkan dengan Korea yang APK-nya sudah mencapai 91%.
Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal menyatakan, rendahnya APK masuk perguruan tinggi terkait kapasitas dan kemampuan ekonomi masyarakat untuk membiayai dirinya masuk perguruan tinggi. Fasli menyatakan, dalam Renstra 2009-2014, Kemdiknas berusaha mendorong APK pendidikan tinggi mencapai 25% pada tahun 2014 mendatang.
Untuk itu, Kemdiknas memberikan beasiswa lewat Program Bidik Misi, serta penambahan kapasitas mahasiswa baru di perguruan tinggi sekitar 400.000 kursi. Bertambahnya jumlah mahasiswa itu harus bisa diakomodasi oleh 3.000 program studi dan perlu 1.000 lebih lagi institusi perguruan tinggi baru.
Kemdiknas sebelumnya sudah menjalin kerja sama dengan beberapa pemerintah daerah untuk mengembangkan politeknik-politeknik di daerah, sesuai dengan kajian kebutuhan daerah tersebut.
Biaya Tinggi
Sementara itu, pengamat pendidikan Dharmaningtyas menyatakan, tingginya biaya pendidikan perguruan tinggi di dalam negeri menyebabkan lulusan SMA atau SMK tidak melanjutkan pendidikan tinggi.
Selama ini, yang bisa mengakses perguruan tinggi hanya masyarakat dari kalangan menengah atas. “Pemerintah seharusnya menjamin pendidikan yang terjangkau, kalau bisa gratis. Sesungguhnya, dari segi finansial pemerintah bisa memberikan pendidikan gratis dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sayangnya dana pendidikan banyak yang dikorupsi,” katanya.
Menurutnya, pemerintah juga harus memperhatikan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat, yakni perguruan tinggi swasta (PTS). PTS merupakan mitra pemerintah dalam mencerdaskan bangsa dengan memenuhi pendidikan tinggi di Indonesia.
“Partisipasi 25% tidak akan tercapai tanpa kontribusi PTS, mengingat jumlah mahasiswa di PTS selalu lebih banyak daripada mahasiswa di perguruan tinggi negeri,” katanya.
Capaian angka partisipasi 18% bisa tercapai, justru kontribusi terbesar diberikan oleh swasta. “Karena itu, sudah selayaknya pemerintah memberikan dukungan pendanaan dan bimbingan yang jelas untuk menyokong PTS tetap hidup dan terjangkau oleh masyarakat luas,” ujarnya. [D-11].
Sumber:http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=21313