HAK AZASI PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Oleh: Solichan Abdullah *)
Pendahuluan
Pada era reformasi ini, telah muncul eforia tentang hak azasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sering kita dengar dari berbagai media tentang adanya peristiwa pelanggaran hak azasi manusia yang akhirnya harus berujung di pengadilan untuk menentukan kebenarannya. Masalah hak azasi ini akhirnya juga berkaitan dengan masalah pendidikan, karena dalam pendidikan selalu berhubungan dengan interaksi antar manusia, dalam hal ini antara guru dan peserta didik maupun antar peserta didik. Menurut hasil beberapa pengamatan, ternyata berdasar sistem nilai yang telah berkembang selama bertahun-tahun dalam interaksi antara guru dan peserta didik, sebagian guru senantiasa memasang ‘jarak’ dengan peserta didiknya dan peserta didik selalu dianggap inferior, sementara guru merasa super (Kushartati Arief, 1999/2000). Dengan dasar kriteria ini maka pendidikan dikatakan berhasil apabila peserta didik harus senantiasa bersikap tunduk dan patuh terhadap apa yang diinginkan guru. Pendidikan yang mementingkan hasil akhir, menggeneralisasi kemampuan anak, kurikulum yang padat, menonjolkan kecerdasan pikir (otak), menepikan kecerdasan rasa, kecerdasan budi, bahkan kecerdasan batin memaksa peserta didik untuk mati-matian belajar mengejar nilai-nilai angka kuantitatif itu. Pulang sekolah dijejali aneka latihan soal-soal, PR-PR, dan sejenisnya yang kemungkinan akan keluar dalam ujian nasional (UN).Yang terjadi dalam proses pembelajaran semacam ini justru hak azasi peserta didik yang dikesampingkan dan yang melakukan diantaranya adalah guru sendiri. Kasus-kasus semacam ini seringkali dianggap wajar dan belum dirasakan sebagai penyimpangan. Di lain pihak khususnya dalam pelajaran matematika masih dianggap sulit oleh sebagian besar peserta didik. Peserta didik masih memerlukan situasi yang kondusif dan merasa tidak tertekan dalam belajar.
Salah satu faktor yang sangat mendukung keberhasilan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran peserta didik di kelas adalah kemampuan guru dalam memilih, menguasai dan menerapkan pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran serta teknik-tekniknya. Guru dituntut untuk menguasai berbagai macam metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dari bahan ajar dan peserta didik. Sehubungan dengan itu, guru perlu mengenali perbedaan individual peserta didik beserta hak-hak peserta didik, disamping kewajibannya, dalam rangka mengkonstruksi makna konsep-konsep matematika yang sedang dibahas.
Pembelajaran Matematika yang Demokratis
Kata-kata demokrasi dalam konteks ketatanegaraan sering diartikan sebagai ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’. Demokratisasi mengandung makna usaha membangkitkan potensi yang ada dalam masyarakat, dengan memperhatikan hak dan kewajiban mereka, untuk menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik menuju masyarakat yang sejahtera. Dalam dunia pendidikan matematika, kata demokrasi mulai dibicarakan di tingkat internasional sekitar tahun 1980 terutama dalam International Conference on Mathematics Education (ICME) yang membahas tema-tema antara lain “Mathematics for All”, “ Mathematics, Education and Society”. Demokrasi juga merupakan trend dalam penelitian pendidikan matematika sekarang ini. Menurut Alan Bishop (1999), demokratisasi dalam pembelajaran matematika dimaksudkan sebagai usaha untuk mengaktualisasi potensi-potensi yang ada pada peserta didik dengan melibatkan aktivitas peserta didik dan lingkungan belajarnya dalam menciptakan proses pembelajaran matematika yang kondusif. Istilah kondusif diartikan sebagai suasana proses pembelajaran yang menarik minat peserta didik sehingga peserta didik termotivasi untuk aktif dalam proses tersebut dan berhasil mencapai tujuan belajarnya.
Dalam bukunya berjudul Democracy and Education, John Dewey (dalam Muslimin Ibrahim dkk, 2000: 12) menyatakan bahwa kelas seharusnya cermin masyarakat yang lebih besar dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata. Pedagogi Dewey mengharuskan guru menciptakan di dalam lingkungan belajarnya suatu sistem sosial yang dicirikan dengan prosedur demokrasi dan proses ilmiah. Tanggungjawab utama mereka ialah memotivasi peserta didik untuk bekerja secara kooperatif dan untuk memikirkan masalah sosial penting yang muncul pada hari itu. Di samping upaya pemecahan masalah di dalam kelompok kecil mereka, peserta didik belajar prinsip demokrasi melalui interaksi hari ke hari satu sama lain. Ahli pendidikan lain, Herbert Thelan (dalam Muslimin Ibrahim dkk, 2000: 13), berargumentasi bahwa kelas haruslah merupakan laboratorium atau miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial dan antar pribadi. Thelan tertarik dengan dinamika kelompok dan mengembangkan bentuk yang lebih rinci dan terstruktur dari penyelidikan kelompok serta merupakan dasar konseptual untuk pengembangan model pembelajaran yang dikenal dengan pembelajaran kooperatif. Tingkah laku kooperatif dan proses-proses sebagai bagian tak terelakkan dari usaha keras manusia merupakan dasar dari masyarakat demokratis yang dapat dibangun dan dipertahankan.
Berkaitan dengan masalah peserta didik, sudah menjadi kenyataan bahwa setiap peserta didik mempunyai perbedaan dalam beberapa segi termasuk dari segi kemampuan intelektualitasnya. Selama ini terjadi adalah menonjolkan perbedaan tersebut sehingga terbentuk image peserta didik A “pandai” karena mengerjakan soal dengan “ benar”, sedangkan peserta didik B “ bodoh” karena “salah” dalam mengerjakan soal yang diberikan guru. Dalam konteks demokrasi, seharusnya perbedaan tersebut dilihat sebagai masukan yang harus diproses dengan baik untuk menghasilkan output yang lebih baik. Menurut Howard Gardner (1993), pengkategorian peserta didik dalam “good” or “weak” perlu dihindarkan dan hendaknya guru lebih melihat kepada bagaimana usaha memperkaya pengetahuan mereka yang berbeda-beda itu.
Sebagai makhluk sosial, peserta didik mempunyai naluri berdemokrasi. Oleh karena itu peserta didik sedini mingkin perlu diajarkan cara berdemokrasi yang sehat. Hendaknya peserta didik jangan dibiarkan datang ke dalam kelas untuk diam mendengar gurunya mengajar, tetapi hendaknya peserta didik dilibatkan secara aktif dalam situasi pendidikan matematika yang demokratis antara lain dengan mengajukan pertanyaan, mengemukakan pendapat dan bahkan ‘berdebat’ dalam asuhan gurunya. Perbedaan pendapat khususnya yang berkaitan dengan pelajaran harus dianggap suatu hal yang wajar terjadi terutama di antara peserta didik dan hal ini perlu ditanggapi secara bijaksana.
Sehubungan dengan lingkungan yang kondusif, peserta didik di sekolah memerlukan ruang belajar yang menyenangkan. Oleh karena itu tempat duduk peserta didik yang diatur selalu tetap dan monoton selama setahun tentu membosankan sehingga perlu disatur atau disusun dalam pola yang beribah setiap interval waktu tertentu. Hal ini untuk memungkinkan terjadinya interaksi belajar yang multi arah, yaitu “guru-peserta didik, peserta didik-guru, peserta didik-peserta didik” Demikian pula dinding kelas yang putih bersih atau sudah kotor perlu dipercantik dengan pajangan hasil karya peserta didik seperti gambar tokoh matematika, rumus-rumus penting, gambar/ grafik atau diagram dalam statistika atau trigonometri/geometri dan sebagainya. Dengan cara ini maka komunikasi dan aspek sosial serta dasar-dasar kehidupan demokrasi dapat ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.
Hak Azasi Peserta didik dan Demokratisasi dalam Pembelajaran Matematika
Sebagaimana pemerintahan yang demokratis, salah ciri dari pembelajaran yang demokratis adalah sangat menjunjung hak azasi peserta didik yaitu hak peserta didik untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap. Betapapun berbedanya pengetahuan, keterampilan dan kebutuhan yang dimiliki oleh peserta didik yang satu dan yang lain, hal itu harus tetap dihormati oleh guru. Perbedaaan tersebut tidak boleh dipandang sebagai suatu halangan melainkan justru harus menjadi tantangan bagi guru. Guru harus senantiasa mengupayakan pembelajaran yang sesuai dengan perbedaan tersebut. Oleh karena itu, di dalam pembelajaran yang demokratis salah satu cirinya adalah pembelajaran yang terdiferensiasi dan memperhatikan masalah hak azasi peserta didik dengan kata lain pembelajaran kepada kelompok atau individu peserta didik tertentu berbeda dengan pembelajaran kepada kelompok atau individu peserta didik yang lain. Dalam rambu-rambu pelaksanaan kurikulum 2004 guru diharapkan mengenal dan melayani semua kelompok peserta didik yaitu normal, sedang dan tinggi (Depdiknas, 2003: 4) . Kelompok normal adalah kelompok yang memerlukan waktu belajar relatif lebih lama dari kelompok sedang, sehingga perlu diberikan pelayanan dalam bentuk menambah waktu belajar atau memberikan remediasi. Sedangkan kelompok tinggi adalah kelompok yang memiliki kecepatan belajar yang lebih dari kelompok sedang, sehingga guru dapat memberikan pelayanan dalam bentuk akselerasi (percepatan) belajar atau memberikan materi pengayaan.
Dalam pembelajaran, peserta didik betul-betul sebagai subyek belajar. Bukan sebagai botol kosong yang pasrah untuk diisi dengan berbagai ilmu oleh guru. Pembelajaran yang demokratis memungkinkan terjadinya proses dialog yang berujung pada pencapaian tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Tanpa demokrasi di kelas, guru akan menjadi penguasa tunggal yang tidak dapat diganggu gugat. Peserta didik terkekang, dan akhirnya potensi kreativitasnya terbunuh.
Tuntutan demokrasi pendidikan dalam prakteknya berimplikasi pada demokrasi pembelajaran dengan indikasi menciptakan suasana dialogis. Dengan demikian, peranan guru dalam penyampaian pengetahuan menjadi sangat berkurang yang digantikan oleh peranan peserta didik yang semakin menguat. Tuntutan dialog belakangan ini sebagai suatu yang tak terelakkan lagi dalam kehidupan pendidikan demokratis, sekaligus membuktikkan adanya pergeseran posisi peserta didik dari posisi objek ke posisi subjek dalam berbagai kesempatan
Demikian pula, pergantian istilah anak didik, terdidik maupun objek didik menjadi peserta didik bahkan pembelajar bukan hanya persoalan semantic, melainkan perubahan paradigma pembelajaran yang banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran pendidikan yang berorientasi pada kondisi demokratis dan emansipatoris, dengan memerankan peserta didik agar lebih produktif,progresif dan pro-aktif dibandingkan peran masa lampaunya. Bagaimana istilah peserta didik apalagi pembelajar akan selalu mengesankan kondisi aktif pada istilah anak didik, terdidik maupun objek didik
.Oleh karena itu, belakangan ini pengertian perencananaan untuk memberi peluang pada peserta didik-peserta didiknya mengembangkan aktivitas belajar, serta mengeksplorasi berbagai pengalaman baru untuk mencapai berbagai kompetensi yang diidealkannya, dan telah menjadi kesepakatan-kesepakatan kelas bersama dengan gurunya.Guru tidak banyak mencampuri mengatur dan menegur pekerjaan anak, akan tetapi membiarkan bekerja menurut kemampuan dan cara masing-masing. Dalam Standar Proses guru diharapkan merancang pembelajaran yang memuat tiga hal yaitu: eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
Dalam mengelola pembelajaran yang memperhatikan masalah hak azasi peserta didik maka guru diharapkan selalu memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berani mengemukakan pendapat dan memperhatikan hak untuk berbicara. Budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat adalah manusia patuh yang selalu mengangguk dan tidak pernah kritis akan terjadi apabila guru selalu mengebiri hak peserta didik untuk berbicara. Hasil pendidikan semacam itu akan menghasilkan manusia-manusia yang otoriter yang tidak pernah menghargai perbedaan serta tidak memiliki toleransi. Kurang adanya kebiasaan untuk belajar keterampilan sosial dalam hal berkomunikasi dapat menimbulkan pertikaian antar pelajar. Kemampuan menyampaikan pendapat dengan jelas dan cermat dalam kehidupan sehari-hari amat perlu dan kemampuan ini merupakan modal yang sangat bernilai bagi seseorang. Meramu ide dan mengkomunikasikannya kepada orang lain dengan sejelas-jelasnya merupakan salah satu keterampilan hidup yang penting. Dalam matematika, peserta didik perlu dilatih untuk selalu cermat memilih dan menggunakan kata-kata atau istilah yang tepat. Selama belajar matematika, diharapkan peserta didik mendapat tempaan untuk dapat menyampaikan pendapat dengan singkat, jelas, tepat dan cermat.
Kendala Pelaksanaan Pembelajaran Demokratis
Dari pihak guru, kendala lebih bersifat psikologis. Bagaimanapun, selama ini citra guru sebagai orang yang serba tahu dan serba mampu sudah diakui oleh sebagian peserta didik. Bahkan, ada ungkapan, guru itu digugu dan ditiru. Ini menempatkan guru pada posisi superior di atas peserta didik. Guru memang harus berwibawa baik secara akademik maupun moral, tapi bukan berarti harus berlaku diktator dan otoriter. Harus ada perubahan paradigma, guru sekarang tidak harus serba tahu dan serba mampu karena hal itu memang mustahil. Yang penting, guru harus bisa menjadi fasilitator dan motivator sehingga peserta didik dapat mengembangkan potensinya secara optimal.
Untuk bisa mengubah paradigma ini, guru harus menyadari bahwa wibawa tidak akan lenyap dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan kreativitas. Bukankah justru wibawa guru akan terangkat bila ia mampu menampilkan performa sebagai guru yang egaliter, bisa diajak diskusi, terbuka, dan demokratis
Sementara dari pihak peserta didik, kendalanya adalah belum adanya keberanian untuk berpendapat. Selama ini mereka telah terkondisi untuk pasif, menerima apa pun
informasi dari guru tanpa kritik. Kondisi ini harus diubah dengan cara mendorong mereka menyampaikan gagasan dan menghargainya. Apa pun pendapat peserta didik, guru harus bisa memberikan apresiasi secara positif. Melalui penghargaan dan apresiasi secara positif terhadap peserta didik diharapkan berangsur-angsur peserta didik terbiasa berpikir aktif dan berani mengemukakan pendapatnya di kelas.
Penutup
Pembelajaran matematika yang demokratis merupakan pembelajaran yang didalamnya terdapat interaksi dua arah antara guru dan peserta didik. Guru memberikan bahan pembelajaran dengan selalu memberi kesempatan kepada peserta didik untuk aktif memberikan reaksi, peserta didik bisa bertanya maupun memberi tanggapan kritis tanpa ada perasaan takut. Bahkan, kalau perlu peserta didik diperbolehkan menyanggah informasi atau pendapat guru jika memang dia mempunyai informasi atau pendapat yang berbeda.
Namun untuk melaksanakannya terdapat beberapa kendala baik dari pihak guru maupun peserta didik.karena itu baik guru maupun peserta didik hendaknya dapat mengatasi masalah tersebut dan guru harus mampu mensuport peserta didik agar pembelajaran matematika yang demokratis dapat berjalan dengan maksimal.
Proses pembelajaran perlu memperhatikan aspek kehidupan sosial peserta didik antara lain pembinaan hubungan yang baik antar peserta didik dan antara peserta didik dan guru. Dalam pendekatan kontekstual kita kenal istilah masyarakat belajar (learning communitiy) yang akan membiasakan peserta didik untuk berinteraksi dengan sesama peserta didik agar terjalin komunikasi yang akan mewujudkan toleransi di antara mereka. Hak azasi peserta didik mengakomodasi terhadap perbedaan individu. Pembelajaran terdiferensiasi memberikan peluang tercapainya pembelajaran yang demokratis dan tetap tercapainya pembelajaran matematika yang bermutu. Membiasakan peserta didik untuk menggunakan hak berbicara yang merupakan bagian dari hak azasi peserta didik akan menghasilkan manusia yang mempunyai inisiatif dan kreatif. Guru diharapkan selalu mengaktualisasi diri dalam kegiatan inovasi pendidikan dan guru yang berwawasan luas akan mampu mewujudkan proses pembelajaran matematika yang demokratis begitu pula sebaliknya.
Daftar Rujukan
Arief, Kushartati. 1999/2000. Pendidikan Hak Azas Harus Dimulai Dari Rumah. Jurnal Gentengkali No. 4 Tahun III , 8-11.
Bishop, A.J. 1999. Democratizing Mathematics Through Education in the 21” Century Lessons from Research. Makalah disampaikan pada SEAGME-8 di Ateneo De Manila University Philipines (30 Mei – 4 Juni 1999).
Depdiknas, 2003. Kurikulum 2004. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta.
Gardner, H. 1993. Multiple Intellegences: The Theory in Practice. New York: Basic Books.
Ibrahim, M., Rachmawati, F., Nur, M., dan Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press.
*) Drs. Solichan Abdullah,M.Sc. adalah Widyaiswara Utama pada LPMP Jawa Timur.