Great Sickness
Oleh: Durroh Fuadin Kurniati
Dalam malam yang kesekian, dalam sepi yang berangsur-angsur mendekapi hati sambil pelan tapi pasti ia menyelidiki ruang-ruang kosong dalam hati untuk ia tempati. Aku terduduk, tidak meratapi, tapi hanya sedikit berhalusinasi tentangnya yang jauh disana, tak bisa kusentuh raganya pula tak dapat kumiliki hatinya, paling tidak seutuhnya.
Selimut ini tak lagi hangat meski tlah kutarik dan kuikat kuat-kuat diantara kaki-kakiku yang mulai berakar. Ia mendingin, bagaikan kulkas yang menyimpan hatiku yang beku. Kutarik makin kuat, kubebat makin rapat, tapi tetap saja…dinginnya hatiku menular sampai kepenjuru balungku.
Mataku ikut menggigil tatkala kusandarkan kepala di atas bantal. Tak sadar ia tlah meleleh membasahi ujung kausku yang kumal ketika kupandang satu benda mutakhir yang menghubungkan manusia di mana saja. Bergeming. Ia tetap bergeming. Bagai mayat tujuh hari yang teronggok tak berfamili. Dan memang ia mayat tujuh hari lalu, sejak kuputuskan tak menyambung nyawanya dengan suntikan pulsa. Bukan tak punya modal, bukan pula sedang irit, aku hanya sedang tak mau menghubungi siapapun. Paling tidak sampai hatiku tak lagi kelu. Entah kapankah itu…
Perasaanku padanya seperti ikan lele, yang dipatuk berulang-ulang dengan gagang golok namun tak bisa mati. Direndam air garam, perih tersayat-sayat, menggelepar kesakitan sendirian, tapi tak jua mati. Hanya sengal nafas yang memburu mencoba bertahan tak mau mati. Akhirnya ia dipotong-potong, dicabik-cabik, sampai berdarah-darah.. dipanaskan dipengorengan … ia dengan sombongnya masih mengelepar di atas wajan. Akhirnya ia mati dalam paksa yang bertubi-tubi.
Inilah paksaku padanya. Kupaksa ia tak hubungiku. Tapi tak bisa. Rindu katanya. Gombal yang amat manis. Kupaksa ia kawin dengan janda di kotanya sana. Tapi ia kembali saja padaku, merayu lewat sms-smsnya.
“mana janda itu?” tanyaku.
“tak usah kau pikirkan, saat ini waktunya bersamamu” balasnya ringan.
Dia sudah tidak waras. Kegilaan yang memabukkan. Dan kini, dengan cara terbaru: kubunuh dia. Tak kuisi pulsaku. Tak kubalas smsnya. Tak mau kudengar suaranya. Kusingkirkan segala tentangnya dihidupku, tapi tidak dari hatiku.
Kini cerita tentang kematianku mulai merebak bak bunga Desember, di rumah, di kantor, di pasar. Semua orang seolah-olah sedang mengataiku tak waras. Berjalan sendiri seperti orang ling-lung, kerja tak beres dan selalu kesiangan. Yang lebih melukai kredibilitasku adalah: ini semua karena masalah jodoh yang tak kunjung datang. Baiklah aku terima saja, mungkin mereka sedang banyak waktu kosong untuk merongrong telingaku sampai panas!
Baiklah kuakui saja, semua ini berawal dari kebohongan. Kukatakan padanya aku tak mau dengannya. Padahal aku mau. Kukatakan pada ibuku ia tak punya masa depan. Padahal aku ingin selamanya dengannya. Kukatakan pada adikku ia tak nyambung saat bicara denganku. Padahal bonus 100 sms sehari kuhabiskan hanya dengannya. Kukatakan pada tanteku ia masih kanak-kanak. Padahal dalam hati, persetan dengan segala kekurangannya… aku mencintainya!
Handphone itu bergeming saja disitu. Kelu…. tambah kelu hatiku… kucoba terpejam, tapi hatiku berdoa untuk perhatiannya. Aku kesepian. Kapankah ia kan bertindak laksana ksatria gagah perkasa, prajurit yang jumawa, tak peduli peraturan yang ada ia menerobos segala halangan rintangan yang menghadang dan menjemputku dikastil kurungan ini. Aku sudah tak tahan menunggunya. Lamat-lamat aku jadi membenci ibuku….
Apakah awal dari ini semua??
Mataku terpejam. Persetan dengan hambar…
Ibuku adalah sosok yang selalu mendoakanku. Ia sahabat sekaligus motivatorku. Ia amat cocok denganku, hingga ia ingin aku menemaninya sampai akhir hayatnya. Aku amat bangga dengan kepercayaan ibu. Saudaraku sepuluh. Adikku empat. Tapi akulah yang terpercaya. Akupun bertekad untuk terus menjaganya.
Beberapa lelaki mendekatiku. Dengan alasan ibu, semua mental tak sesuai kiteria. Tak muluk-muluk, aku hanya mau yang kaya, paling tidak sapinya sepuluh dan punya truck saja cukup. Adikku bersuami seorang guru bergaji 50 ribu, pikirku betapa nekatnya… mau diberi makan cinta? Aku harus merawat ibu, paling tidak suamiku harus amat mampu membantu keluargaku kelak karena saudaraku amat banyak.
Aku lupa kapan terakhir kalinya lelaki membisikkan cinta ditelingaku yang kian tebal, sampai pada hari ini, saat tanganku digenggam erat oleh seorang pria luar kota yang awalnya hanya ingin berkenalan denganku. Usianya 15 tahun dibawahku. Ia begitu manis. Romantis. Tatapan matanya magis. Dan aku harus meringis. Saat ingat ibu, idealismeku, cita-citaku. Aku langsung berkata padanya kita tak mungkin bersama. Ia sedih dan hancur, meninggalkan kotaku sambil mendaratkan ciuman perpisahan dikeningku. Aku ikut hancur. Malamnya kukirimi ia sms atas penyesalanku dan ingin mencoba membangun pertemanan dengannya. Hanya berteman saja tak lebih, bohongku pada ibu.
Sejak saat itu hidupku berubah dilematis. Seperti gadis belasan yang menyembunyikan kekasihnya karena takut tak lagi diberi uang jajan. Rasanya jadi beban saat ibu mulai curiga, marah dan melarang. Tak ada masa depan tapi diterus-teruskan akan makin menyakitimu! Hardik ibu. Tapi aku tak bisa menghindarinya, meski mudah saja. Cukup kuganti nomorku dengan nomor baru tak tahu dia kemana aku. Hilang sudah. Tapi aku tak mau berpisah dengannya. Sungguh pilunya hingga tak kuat kutahan beban ini. Kubohongi semuanya dan kurasai sakitnya. Aku amat mencintainya, entah disebelah mana. Ingin sekali kuculik dia kubawa pergi ke Afrika dan berbahagia disana. Tai kucing ini begitu nikmat laksana coklat hingga kalkulasi matematis tentang biaya dan sebagainya tak pernah terlintas dibenakku. Cinta. Hanya cinta saja. Jangan dibebani dengan biaya. Meski aku tahu cinta harus bermodal harta untuk bisa bahagiakannya.
Aku tak peduli ada cinta siapa lagi, sudah tak mau hatiku. Yang kumau Cuma dia. Sudah lelah untuk memulai lagi. Kelu….
Kapankah ibuku mau mengetuk pintu kamarku, mengelus dada dukanaku, lalu mengijinkanku hidup bahagia bersamanya. Aku akan tanggung segalanya sekuat tenaga. Tak perlu kawatir ibu meski ia hanya buruh outsourcing pabrik kaleng yang harus memperbarui kotraknya tiap 3 bulan. Jangan pernah pikirkan aku. Adik saja kini sudah beranak dan suaminya sudah jadi kepala sekolah. Rejeki itu milikNya, bukan kita yang tentukan. Ayolah bu….
Nit nut… nit nut… nit nut…
Handphoneku berbunyi. Sms masuk. Dia!
“say, k3n4v4 ce koq gx dBlz… kg3n nich!”
Tertegun. Tiap kali membaca smsnya. Selalu bertanya-tanya. Apakah sepuluh tahun lagi, saat ia umur 30 tahun, dan aku 45 tahun ia akan masih begini manis??