Rozmita Dewi YR
Prodi Pendidikan Manajemen Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia
R. Nelly Nur Apandi
Prodi Akuntansi Universitas Pendidikan Indonesia
ABSTRACT
The purpose of this study is to analyze the symptom of fraud and the role of internal auditor to detect fraud. Informan are auditors internal and faculty members. The sampling technique that is used in this paper is purposive sampling. The primary data is used in this research. Qualitative method is used by the researchers. The results showed that potential symptom occurs in university are due to lack of internal control and accounting anomaly. The weakness of internal control occurs because of inadequate accounting system and lack of internal control from management while the accounting anomaly occurs because worse of budgeting and delay of funding. On the other hand, review from top management is more important than role of internal auditor. Eventhough auditors internal have done their assignment to ensure the system run well, they can not do anything without support from the top management. Auditor internal must asses the risk of fraud regulary and Rector must build culture of anticorruption in university environment to prevent fraud.
Keywords : Fraud, Symptom and Detection Fraud
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perguruan Tinggi merupakan entitas ekonomi yang mengelola dana yang bersumber dari perorangan, masyarakat dan atau pemerintah oleh karenanya Perguruan Tinggi memiliki kewajiban menyampaikan laporan keuangan secara berkala atas pengelolaan sumber dana tersebut kepada para stakeholder. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas dari stakeholder mendorong pihak manajemen untuk menghasilkan laporan berkualitas yang terbebas dari unsur fraud. Semakin tingginya biaya pendidikan di tingkat Perguruan tinggi menyebabkan biaya yang dikelola Perguruan Tinggi menjadi tidak sedikit. Pengawasan yang lebih ketat perlu dilakukan dalam upaya mencegah terjadinya perilaku penyimpangan melalui peningkatan sistem pengendalian intern (internal control system).
Peraturan Pemerintah (PP ) No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), dalam pasal 4 peraturan tersebut dijelaskan bahwa SNP bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Keberadaan lembaga penjamin mutu tersebut adalah suatu keharusan sebagai upaya setiap perguruan tinggi memberikan j aminan mutu proses dan hasil pendidikan kepada stakeholders baik internal maupun eksternal perguruan tinggi. Beberapa Perguruan Tinggi selain memiliki bagian Satuan Penjamin Mutu, Perguruan Tinggi juga memiliki bagian Satuan Pengendalian Internal atau Auditor Internal yang memiliki tugas untuk melakukan audit dalam bidang manajemen keuangan, akademik, dan sumber daya.Profesionalisme auditor internal dilingkungan Perguruan Tinggi belum mencapai tingkat yang memadai, hal ini disebabkan karena tumpang tindihnya jabatan fungsional dan struktural. Rendahnya pengendalian internal juga terjadi di Perusahan-Perusahaan publik di Indonesia,berdasarkan hasil studi Bapepam tahun 2006, fungsi audit internal di Indonesia masih tergolong dalam kategori yang belum memadai, hasil studi ini masih relevan dan sejalan dengan pernyataan Anwar Nasution dalam sambutannya sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 tahun anggaran 2009 kepada DPR, Selasa 15 September 2009 menyatakan bahwa fungsi audit internal di Indonesia masih belum efektif.
Belum efektifnya pengendalian internal di Indonesia, terutama di lingkungan Perguruan tinggi terbukti dengan munculnya dugaan–dugaan kasus korupsi. Selama tahun 2012 setidaknya telah ada 5(Lima) Perguruan Tinggi yang diduga terlibat tindakan fraud. Walaupun demikian, hal tersebut masih berupa dugaan sehingga prinsip asas praduga tak bersalah harus tetap ditegakkan. Tindakan fraud yang terjadi di lingkungan Perguruan tinggi dapat diantisipasi lebih dini oleh pimpinan Perguruan Tinggi dengan cara mengidentifikasi jenis fraud yang dilakukan sehingga dapat diketahui gejala yang mungkin terj adi atas tindakan tersebut.
Association of Certified Fraud Examinations (ACFE), salah satu asosiasi di USA yang memfokuskan kegiatannya dalam pencegahan dan pemberantasan penyimpangan. Bentuk penyimpangan dapat dikategorikan kedalam 3 (tiga) yaitu: penyi mpangan pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting), asset misappropriation (penyalahgunaan aset) dan corruption (Singelton, 2010: 73). Pimpinan
Perguruan Tinggi melalui Internal Audit atau Satuan Pengendalian Internal harus mampu untuk menangkap redflag dari ketiga bentuk kecurangan tersebut oleh karenanya diperlukan suatu upaya untuk dapat mendeteksi, mencegah maupun menginvestigasi terj adinya fraud.
Penelitian yang dilakukan Lisa et al (1997) menyebutkan bahwa Internal Audit berfungsi membantu manaj emen dalam pencegahan, pendeteksian dan pengi nvestigasian fraud yang terj adi di suatu organisasi. A lbergh (2010: 86) menyatakan bahwa “Not Everyone Is Honest”, seandainya semua orang jujur maka Perusahaan tidak perlu waspada dengan tindakan fraud. Akan tetapi banyak orang mengaku telah melakukan tindakan fraud ketika lingkungan tempat mereka bekerja memiliki integritas yang rendah, kontrol yang rendah dan tekanan yang tinggi. Ketiga hal ini akan memicu orang berprilaku tidak juj ur. Tindakan fraud dapat dicegah dengan cara menciptakan budaya kejuj uran, sikap keterbukaan dan meminimalisasi kesempatan untuk melakukan tindakan fraud. Oleh karena itu dalam li ngkungan Perguruan Tinggi hendaknya perlu diidentifikasi symptom dari tindakan fraud, penilaian secara berkala atas symptom tersebut serta upaya untuk mengelimi nasi tindakan fraud. Penelitian terkait dengan auditor internal telah banyak dilakukan pada Perusahaan Publik atau Sektor Pemerintahan akan tetapi penelitian yang dilakukan di Perguruan Tinggi masih relatif jarang, dimana karakter yang berbeda dari organisasi tersebut memungkinkan adanya symptom yang khas yang harus dikenali oleh auditor. Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan symptom fraud yang berpotensi terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi serta peran auditor internal dalam mendeteksi terjadinya fraud.
KERANGKA TEORITIS
Fraud diterj emahkan penyimpangan, demikian pula dengan error dan irregularities masing- masing diterjemahkan sebagai kekeliruan dan ketidakberesan. Perbedaan dari penyimpangan dan kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya, apakah tindakan tersebut merupakan tindakan yang disengaj a atau tidak. Fraud atau penyimpangan dilakukan dengan unsur kesengajaan dalam melakukannya. ACFE’s mendefinisikan fraud sebagai tindakan mengambil keuntungan secara sengaja dengan cara menyalahgunakan suatu pekerjaan/jabatan atau mencuri asset/sumberdaya dalam organisasi (Singleton, 2010). Tindakan fraud dilakukan disebabkan karena tiga hal yaitu 1)Tekanan (Pressure), 2) Kesempatan (opportunity) dan 3) Pembenaran atas tindakan (rationalization), ketiga hal tersebut dikenal dengan The Fraud Triangle (Albercht and Albercht,2003 ;Singleton and Singleton, 2010). Elemen yang pertama adalah pressures, para ahli membagi tekanan kedalam 4 (empat) jenis tekanan, yaitu : tekanan keuangan (financial pressures), sifat buruk (vices), tekanan kerja (work-related pressures) dan tekanan lainnya (other pressures). Sedangkan elemen yang kedua yaitu opportunity, kesempatan dalam melakukan tindakan fraud disebabkan hal-hal berikut ini yaitu : Lack of or circumvention of controls that prevent and/or detect fraudulent behavior, Inability to judge quality performance, failure to discipline fraud perpetrators, lack of access to information, ignorance,apathy and incapacity, lack of an audit trail. Elemen yang ketiga adalah pembenaran atas tindakan (Rationalization). Beberapa pembenaran berikut ini sering digunakan oleh para pelaku tindakan fraud (fraudsters) yaitu : the organization owes it to me, I am only borrowing the money-I will pay it back, nobody will get hurt, I deserve more, it ’s for a good purpose, we’ll fix the books as soon as we get over this financial difficulty, something has to be sacrificed-my integrity or my reputation. (Albercht and Albercht,2003).
Skema fraud menurut ACFE digolongkan menjadi 3 (tiga) bentuk penyimpangan, yaitu penyimpangan pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting), asset misappropriation (penyalahgunaan aset) dan corruption. Untuk meminimalisasi tindakan fraud dapat diupayakan dengan 3 hal yaitu fraud prevention, fraud detection and fraud investigation. Kecurangan atas penyajian laporan keuangan umumnya dapat dideteksi melalui analisis laporan keuangan analisis vertikal dan analisis horizontal. Penyalahgunaan asset dapat dideteksi dengan metode antara lain seperti anaytical review, statistical sampling, vendor or outsider complints, site visit—observation. Sedangkan korupsi dapat dideteksi melalui keluhan dari rekan kerja yang jujur, laporan dari rekan, atau pemasok yang tidak puas dan menyampaikan keluhan ke perusahaan. Atas dugaan terjadinya penyimpangan ini kemudian dilakukan analisis terhadap tersangka atau transaksinya. Pendeteksian atas penyimpangan ini dapat dilihat dari karakteristik (red flag) si penerima maupun si pemberi. Berdasarkan 3 (tiga) penyimpangan tersebut maka menurut Rezaee (2002) dapat diidentifikasi beberapa atribut dalam fraud yaitu : (1) Identifikasi symptom dan red flags; (2) Identifikasi peluang; (3) Assessment symptom, red flags dan peluang; dan (4) Pelaporan.
Symptoms of Fraud
Symptom diterjemahkan menjadi gejala. Gejala tindakan fraud terdiri dari ketidaknormalan catatan akuntansi, internal control yang rendah, ketidaknormalan dalam menganalisis, perubahan gaya hidup, perilaku yang tidak biasa dan tips serta keluhan. (Albercht and Albercht,2003). Gej ala yang terjadi dalam tindakan penyimpangan laporan keuangan terdiri dari ketidaknormalan laporan keuangan, pertumbuhan yang cepat, laba yang tidak biasa, kelemahan dalam pengendalian internal, sifat agresif dari eksekutif manajemen, obsesi atas harga jual saham dari eksekutif manajemen dan micromanagement yang dilakukan oleh eksekutif managemen. Redflag yang biasanya terjadi dalam bentuk penyimpangan ini disebabkan karena gaya managemen atau karakter dari eksekutif utama. Tipe fraud lainnya adalah asset misappropriation, dimana gej ala yang terjadi pada umunya adalah perubahan tingkah laku, melihat atau memandang sesuatu hanya yang terlihat secara fisik, Perasaan mudah marah yang semakin meningkat, latar belakang pekerjaan yang tidak biasa, masalah karakter, amarah yang tidak hilang, kecenderungan menyalahkan orang lain dan perubahan gaya hidup. Redflag yang biasanya terjadi dalam bentuk ini dilakukan oleh pekerja. Tipe kecurangan yang ketiga yaitu korupsi, pada umumnya gejala yang terjadi adalah hubungan yang erat antara manajemen utama dan pemilik vendor, transaksi dengan pihak ketiga secara rahasia, kurangnya review dari manajemen atas persetujuan transaksi dengan pihak ketiga, ketidanormalan pencatatan transaksi dan kejanggalan dalam pemilihan vendor. Korupsi biasanya dilakukan oleh orang yang ada dalam lingkungan organisasi bekerjasama dengan orang yang ada diluar organisasi atas hubungan keduanya menyebabkan kerugian yang diderita organisasi. (Singleton,2010). Sedangkan Rezaee (2003) mengemukakan bahwa gejala dari penyimpangan laporan keuangan dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu struktur organisasi, kondisi keuangan serta lingkungan bisinis dan industri. Gej ala yang berhubungan dengan struktur organisasi pada umumnya adalah struktur organisasi yang tidak memiliki pemisahan fungsi serta belum memadainya internal kontrol yang ada. Gej ala yang berhubungan dengan kondisi keuangan pada umumnya terkait dengan anomaly
pada laporan keuangan seperti penentuan laba yang tidak realisitis, tujuan yang tidak realistis dan atau kekurangan modal kerja, dimana hal itu memicu seseorang untuk melakukan fraud atas laporan keuangan. Gej ala yang terkait li ngkungan bisnis dan industri disebabkan karena perubahan di li ngkungan organisasi yang tidak menguntungkan atau mengancam kelangsungan usaha.
Peran Auditor Internal
Audit internal merupakan aktivitas independen yang memberikan jaminan objektif dan konsultasi yang dirancang untuk memberi nilai tambah dan meni ngkatkan operasi organisasi. Aktifitas ini membantu organisasi mencapai tuj uannya dengan membawa pendekatan yang sistematis dan disiplin untuk mengevaluasi dan meni ngkatkan efektifitas manaj emen risi ko, pengendalian, dan proses tata kelola (The IIA Research Foundation, 2011:2). Audit internal dilaksanakan oleh pihak internal dalam organisasi yang dikenal dengan auditor internal.
Dana, et al (2008), menyatakan auditor internal adalah pakar dalam tata kelola, manajemen risiko dan pengendalian intern. Audit internal berusaha untuk meningkatkan operasi organisasi dan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hal negatif termasuk pelaporan keuangan yang tidak dapat diandalkan. Auditor internal membantu manajemen dalam mendisain serta memelihara kecukupan dan efektifitas struktur pengendalian intern. Auditor internal juga bertanggungjawab untuk menilai kecukupan dan keefektifan dari masing-masing sistem pengendalian yang memberikan jaminan kualitas dan integritas dari proses pelaporan keuangan.
Sesuai Interpretasi Standar Profesional Audit Internal (SPA I) – standar 120.2 tahun 2004, tentang pengetahuan mengenai penyimpangan, dinyatakan bahwa auditor internal harus memiliki pengetahuan yang memadai untuk dapat mengenali, meneliti dan menguji adanya indikasi penyimpangan. Selain itu, Statement on Internal Auditing Standards (SIAS) No. 3, tentang Deterrence, Detection, Investigation, and Reporting of Fraud (1985), memberikan pedoman bagi auditor internal tentang bagaimana melakukan pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian terhadap fraud. SIAS No. 3 tersebut juga menegaskan tanggung jawab auditor internal untuk membuat laporan audit tentang fraud.
Detection of Fraud
Upaya untuk mengurangi tindakan fraud dibagi kedalam 3 (tiga) fase. Pada fase pertama yaitu fase pencegahan tindakan fraud. Cara yang paling efektif adalah melalui perubahan perilaku dan budaya organisasi yang memberikan perhatian lebih atas tindakan kecurangan. Upaya yang dilakukan adalah melalui struktur corporate governance, tone at the top, penentuan tujuan yang realistis dan kebijakan serta prosedur yang dapat mencegah tindakan penyimpangan (Singleton,2010). Pendapat lain mengemukakan bahwa cara untuk mencegah tindakan fraud dapat dilakukan melalui upaya untuk menciptakan budaya kejujuran, sikap keterbukaan dan meminimalisasi kesempatan untuk melakukan tindakan fraud (Albercht,2003).
Pada fase kedua yaitu pendektesian tindakan fraud, dapat dilakukan dengan cara pengamatan (surveillance), anonymous tips, Audit mendadak, melakukan tuntutan hukum, penegakan etika dan kebijakan atas tindakan fraud. Hal lainnya yang dapat mengurangi tindakan fraud adalah memberikan penghargaan kepada pegawai yang telah berkontribusi dalam mendeteksi perilaku kecurangan serta menegakan budaya anti fraud (Singleton,2010). Tahap deteksi atas tindakan fraud berbeda dengan investigasi, pada tahap ini berupaya mengidentifikasi gej ala yang sering terjadi dan mengarah pada tindakan fraud. Sedangkan pada tahap investigasi sudah dilakukan upaya untuk menentukan siapa yang melakukan fraud, skema apa yang digunakan dalam tindakan fraud, kapan melakukannya, apa motivasinya dan berapa jumlah uang atau asset yang telah diambil. Pendeteksian fraud dapat dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan yaitu metode induktif dan metode deduktif. Metode induktif dilakukan dengan cara commercial data-mining software dan digital analysis of company databases. Sedangkan metode deduktif dilakukan dengan tahapan-tahapan berikut ini a)memahami bisnis proses organisasi; b)memahami jenis fraud yang mungkin terjadi; c) menentukan gej ala yang sering terjadi ; d)menggunakan database dan system informasi untuk mencari gej ala tersebut; e)berdasarkan gejala yang ada kemudian ditentukan apakah terjadi tindakan fraud atau terdapat faktor lain yang menyebabkan gej ala tersebut terjadi (Albercht,2003).
Fase terakhir adalah investigasi tindakan fraud, terdapat 2 (dua) pendekatan yang dapat dilakukan yaitu 1 )the evidence square approach dan 2)the fraud triangle plus inquiry approach. Dalam pendekatan fraud triangle plus inquiry dapat dibedakan menj adi a)Methods for theft investigantion (Surveillance and covert operation, invigilation and physical evidence); b) Methods for concealment investigations (Document examination, audits, computer search and physical asset count; c) Methods for inquiry investigations (interviews and interrogation, honesty testing); d)Methods for conversion investigations (public records search and net worth method) (Albercht,2003).
METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah Symptom of Fraud dan Peran Auditor Internal dalam mendeteksi fraud. Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif. Sumber data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data primer. Penentuan sumber data dalam penelitian kualitatif menggunakan nonprobability sampling. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling.
Setelah sumber data ditentukan, selanjutnya diperlukan teknik pengumpulan data agar mendapatkan data sesuai dengan tujuan dari penelitian dan memenuhi standar data yang diharapkan. Individu-individu yang akan menjadi informan dalam penelitian ini terdiri atas auditor internal pada lingkungan Perguruan Tinggi, dosen dilingkungan perguruan tinggi yang pernah menjabat sebagai pengelola keuangan dan ahli internal audit.
Tabel 1. Responden Penelitian
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara,observasi dan dokumentasi. Dalam penelitian ini, analisis data yang digunakan adalah Analisis Data Lapangan Model Miles and Huberman. Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2010:246) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data displays, dan conclusion drawing/ verification. Dalam teknik pemeriksaan keabsahan data, peneliti menggunakan teknik triangulasi dengan teori. Dimana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moleong, 2004:330).
HASIL PENELITIAN
Symptom of Fraud
Jenis fraud yang telah dikelompokan oleh para ahli menjadi tiga macam yaitu fraudulent financial statement, misappropriation asset dan korupsi, ketiganya memiliki karakteristi k berbeda mengenai motif dan pelaku fraud tersebut atau yang dikenal dengan istilah Fraudster. Bagi organisasi yang tidak berorientasi pada laba maka misappropriation asset berpotensi lebih sering terj adi dibandi ngkan dengan jenis fraud lainnya. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Informan1 dalam wawancara :
“Jenis fraud yang berpotensi mungkin terjadi dilingkungan Perguruan Tinggi adalah terkait dengan pengelolaan asset karena jumlah asset yang ada dilingkungan universitas itu cukup banyak sedangkan pengendalian internal atas asset tersebut relative masih rendah sehingga hal ini menjadi peluang bagi pihak yang ada dalam lingkungan organisasi maupun yang ada diluar organisasi untuk memanfaatkan kelemahan tersebut. Terutama dalam pengadaan barang dan jasa atau proses markup barang dan jasa. U ntuk creative accounting j arang terj adi”.
Hal senada seperti yang diungkapkan oleh Informan 2 bahwa missaprropriation asset berpotensi terjadi lebih sering dibandingkan dengan fraudulent financial report pada Institusi Perguruan Tinggi, seperti yang dikuti p dalam wawancara berikut ini :
“Pada umumnya pemisahan fungsi dan bagian yang khusus menangani asset dilingkungan Perguruan Tinggi telah dimiliki akan tetapi bahaya penyalahgunaan asset masih mengancam institusi – institusi Perguruan Tinggi. Seperti masalah inventarisasi asset yang dimiliki Perguruan Tinggi masih terdapat perbedaan antara pencatatan dengan bukti fisik atas asset tersebut, hal ini terjadi karena sistem akuntansi yang ada pada tahun – tahun sebelumnya belum mampu menghasilkan informasi yang berkualitas, akhirnya berpengaruh pada penyajian neraca pada tahun-tahun berikutnya. Akan tetapi saya melihat kecenderungan upaya akuntabilitas dan transparansi publik mendorong pencatatan asset serta pengendalian intern atas asset di li ngkungan perguruan tinggi menjadi lebih baik”.
Potensi terj adinya penyalagunaan asset j uga sangat mungkin terj adi pada kas. Jumlah dana yang dikelola Institusi Perguruan tinggi sangat besar. Dimana unit satuan terkecil dalam entitas pengguna dana adalah fakultas/jurusan/program studi. Kelemahan pengendalian intern atas kas juga menyebabkan pel uang bagi fraudster untuk melakukan tindakan fraud. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh
Informan 2, 3 dan 4, dimana mereka juga beberapa kali pernah mendapatkan penugasan audit investigasi atas kasus pengelapan kas. Skema larceny atau pencurian uang yang paling berpotensi terj adi apabila pengendalian internal kas sangat rendah. Selain itu, skema fraudulent disbursment j uga dapat berpotensi terjadi dengan sistem perencanaan anggaran yang tidak matang.
Berdasarkan uraian diatas bahwa potensi fraud yang paling mungki n terj adi dilingkungan Perguruan Tinggi terkait penyalahgunaan asset, walaupun tidak menutup kemungkinan kedua jenis fraud lainnya terjadi dilingkungan Perguruan Tinggi. Apalagi ditambah dengan pandangan sebagian masyarakat yang meragukan bersi hnya i nstitusi pemeri ntah dari ti ndakan korupsi .Hal ini sej alan dengan pendapat Informan 4 :
“Potensi terbesar dalam tindakan korupsi adalah pada pengadaan barang dan jasa yang tidak transparan dan akuntabel. Apabila hal tersebut terjadi di lingkungan perguruan tinggi maka kekecewaan masyarakat akan semakin meningkat karena institusi pendidikan yang diharapkan mampu menanamkan nilai-nilai moral pada mahasiswa ternyata dapat menjadi pelaku tindakan yang tidak sesuai nilai moral tersebut”.
Hasil penelitian ini mengenai potensi penyalahgunaan asset sejalan dengan penelitian yang dilakukan The Association Certified Fraud Examiners (ACFE ) 2010 berdasarkan data dari 1843 kasus fraud yang terj adi di seluruh dunia antara Januari 2008 sampai dengan Desember 2009. Semua informasi didapat dari para Certified Fraud Examiners (CFEs) yang menginvestigasi kasus-kasus ini di 106 negara. Estimasi dari para CFEs, organisasi kehi langan 5% kekayaan pada laporan keuangan akhir tahun disebabkan karena fraud. Asset misappropriation merupakan bentuk kasus fraud terbanyak yaitu 90% kasus meskipun akibat kerugian adalah yang paling sedikit yaitu sebesar $135.000.
Setelah diuraikan mengenai skema fraud yang berpotensi terj adi di lingkungan Perguruan Tinggi maka perlu diketahui secara dini gejala-gejala yang terj adi atas tindakan fraud tersebut. Berikut ini adalah tabel perbandi ngan hasil wawancara dengan teori mengenai gejala fraud.
Tabel 2 Perbandi ngan hasil wawancara dengan teori mengenai gejala fraud
Lack of Internal Control
Gejala fraud yang paling sering terjadi di lingkungan perguruan tinggi adalah lemahnya pengendalian internal seperti yang diungkapkan oleh Informan 3 :
“Kewajiban melakukan pengendalian intern yang dilakukan oleh pihak manajemen, melalui dekan fakultas atau ketua program studi masih belum dapat dilakukan secara penuh terkait dengan tumpang tindihnya jabatan struktural dan fungsional serta beban kerja yang cukup banyak. Disamping itu hasil rekomendasi yang diberikan audit internal atas pengendalian internal yang bel um memadai tersebut belum sepenuhnya dapat dilakukan”.
Informan 5 mengungkapkan bahwa pemisahan fungsi di level program studi belum dilaksanakan sepenuhnya. Seperti yang diungkapkan berikut ini :
“Pemisahan fungsi belum dilakukan secara memadai di level program studi yang memiliki tanggung jawab sebagai pelaksana anggaran. Ketua program memiliki beban kerja yang cukup banyak, sebagai pengguna anggaran dia juga yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan”.
Pengendalian intern selain dilakukan oleh pihak manajemen melalui dekan fakultas atau ketua program, seharusnya pula dilakukan pengendalian intern oleh pihak yang independen dengan membentuk Satuan Pengendalian Internal. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan (Rozmita & Nelly, 2012) menunj ukan 21% Perguruan tinggi dari sampel yang ada belum memi li ki bagian yang khusus melakukan pengendalian internal dalam keuangan padahal j umlah dana yang dikelola Perguruan Ti nggi tidaklah sedikit. Penelitian tersebut juga menunjukan masih rendahnya upaya perwujudan transparansi dan akuntabilitas perguruan tinggi terbukti 42,1% dari sampel yang ada, laporan keuangan yang dimiliki oleh perguruan tinggi yang dijadikan sampel tidak diaudit oleh Auditor Eksternal (Kantor Akuntan Publik).
Accounting Anomaly
Selain dari lemahnya pengendalian internal, gejala lainnya yang terjadi adalah ketidaknormalan data akuntansi. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan Informan 5 :
“Dana yang dikelola pada unit entitas terkecil pada umumnya dilakukan di level program studi/fakultas, dimana dibeberapa Perguruan Tinggi tugas pengelolaan kas dibebankan kepada dosen sehi ngga terj adinya penambahan beban kerj a secara struktural. Oleh karenanya keterlambatan dalam penyampaian laporan pertanggungjawaban penggunaan kas sering terjadi. Sehingga gejala yang ada selain lemahnya pengendalian internal adalah Accounting Anomaly yang ditandai dengan adanya penundaan pencatatan.Hal ini menurut saya dapat disebabkan karena pengelola kas yang tidak memiliki latar belakang dalam bidang keuangan serta beban pekerjaan yang cukup tinggi.Sedangkan gejala lainnya yaitu perencanaan anggaran yang belum matang dapat memicu terjadinya transaksi fiktif karena adanya kegiatan yang penting untuk dilakukan akan tetapi tidak tercantum pada anggaran tahun berjalan. Meskipun mekanisme
perubahan anggaran telah ada namun hal tersebut tidak dapat mengatasi secara keseluruhan atas perencanaan anggaran yang tidak matang. Perencanaan anggaran yang belum matang selain disebabkan oleh penyusun anggaran itu sendiri dapat pula disebabkan oleh belum adanya standar harga barang dan jasa, kalaupun sudah ada tetapi standar tersebut belum sepenuhnya dapat mengakomodir kegiatan yang akan dilakukan”
Gejala fraud lainnya juga dapat terjadi akibat keterlambatan pencairan dana. Seperti yang dikutip dari hasil wawancara dengan Informan 4 :
“Persoalan keterlambatan pencairan dana pun masih menjadi hambatan dalam penyerapan anggaran. Jika dana yang disampaikan tidak tepat waktu terutama apabila penyerahan dana yang dilakukan untuk kegiatan akhir tahun dalam jumlah yang banyak, hal ini dapat memicu terjadinya transaksi fiktif”.
Hal yang dinyatakan Informan 4 senada dengan yang dinyatakan Informan 5, yang menyebutkan bahwa keterlambatan pencairan dana j uga merupakan permasalahan yang sering dihadapi. Seperti yang dikuti p dalam wawancara berikut ini :
“Keterlambatan pencairan dana pada awal tahun menyebabkan terjadinya kesulitan dalam pelaksanaan kegiatan. Transaksi fiktif dapat muncul akibat hal tersebut. Masalah lain juga yang dihadapi adalah pada saat pelaporan dana tersebut, jika komitmen pengguna dana dalam melaksanakan anggaran tidak tepat waktupun dapat memicu terjadinya transaksi fiktif”.
Walaupun anggaran masih menjadi permasalahan dalam pengelolaan keuangan, akan tetapi beberapa Perguruan tinggi yang kami jadikan sampel penelitian menunjukan fenomena positif yaitu peni ngkatan komitmen Perguruan Tinggi dalam mewuj udkan transparansi dan akuntabilitas sektor publik. Sistem penyusunan anggaran yang sudah memadai pun banyak dimiliki oleh berbagai perguruan tinggi diantaranya seperti yang diungkapkan oleh Informan 4 :
“Penyusunan anggaran pada perguruan tinggi kami sudah dilaksanakan dengan system online mulai dari perencanaan, pengajuan dana sampai dengan pelaporan penggunaan dana, hal ini sudah dilaksanakan sebelum tahun 2008. Pada tahun tahun kedepan upaya peningkatan akurasi pencatatan dapat terus ditingkatkan dengan system yang ada”
Hal senada diungkapkan oleh Informan 3 mengungkapkan bahwa :
“Sistem akuntansi keuangan yang terintegrasi pada web universitas sudah dimiliki pada perguruan tinggi kami sejak tahun 2010, dimana semua Program Studi wajib untuk mengisi anggaran secara online serta menyampaikan laporan pertanggungjawaban dana secara online. Hal ini meningkatkan proses verifikasi bagian anggaran atas pagu yang telah ditetapkan.” Hal yang diungkapkan dalam wawancara diatas mengenai system penganggaran yang berkuaitas dapat memacu dalam proses transparansi dan akuntabilitas sejalan dengan yang diungkapkan (Prof.Dr.Azhar Susanto, 1998) bahwa sistem akuntansi yang memadai akan mampu menghasilkan informasi yang berkualitas yaitu informasi yang memenuhi unsur relevan, tepat waktu, akurat dan reliable. Sehingga hal tersebut dapat mencegah terj adinya accounting anomaly.
Peran Auditor Internal
Pada umumnya Perguruan Tinggi Negeri memiliki bagian yang bertugas melaksanakan audit laporan keuangan dan operasi manajemen yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah. Kondisi serupa juga terj adi pada perguruan tinggi swasta, walaupun tidak ada aturan khusus akan tetapi cukup banyak perguruan tinggi swasta yang menyadari akan kebutuhan adanya auditor internal, sehingga mereka sudah memiliki bagian atau departemen audit internal. Auditor internal memiliki peran dalam upaya mendeteksi terj adi nya fraud Berikut ini merupakan tabel perbandingan hasi l wawancara dengan teori mengenai Peran Auditor Internal dalam mendeteksi fraud.
Tabel 3 Perbandingan hasil wawancara dengan teori mengenai Auditor Internal dalam mendeteksi fraud.
Pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian fraud dilakukan dalam upaya untuk mengeliminasi tindakan fraud. Pencegahan fraud yang paling efektif harus dikembalikan kepada moral dan etika masing-masing pihak dalam organisasi, seperti yang dikutip dalam wawancara dengan Informan 1 :
“Moral dan etika adalah hal yang penting dalam upaya untuk mencegah terjadinya fraud. Fungsi manajemen adalah POAC. Pengendalian manajemen adalah proses yang dikerjakan semua orang dalam organisasi agar kegiatan efektif,eisien dan ekonomis agar informasi baik financial dan non financial akurat, agar patuh terhadap peraturan dan hukum. Jika pengendaliannya bagus maka secara akademik diberi WTP oleh eksternal auditor. Pengendalian Internal juga memiliki kelemahan jika sudah ada kolusi, niat jelek. Jadi terj adinya fraud karena orang tidak patuh disebabkan ada keinginan jelek. Akibatnya terjadi boros/tidak efisien. Fraud tidak dapat dicegah oleh Auditor internal karena auditor internal tidak mampu melihat tindakan pegawai yang banyak. Fraud terjadi karena adanya Niat, kesempatan dan peluang. Pimpinan harus memiliki fungsi untuk menteladani, jika pimpinan rusak maka seluruhnya akan rusak”.
Auditor internal memiliki peran dalam upaya mendeteksi terj adinya fraud akan tetapi peran manajemen puncak j auh lebih penting dalam upaya mendeteksi bahkan mencegah terj adinya fraud. Seperti yang diungkapkan I nforman 1 :
“Auditor internal membantu dalam upaya pendeteksi fraud. Dalam organisasi yang paling bertanggung jawab adalah pimpinan. Kunci utamanya dari pimpinan. Sehingga review dari manajemen puncak adalah hal yang paling penting untuk mendeteksi fraud. Auditor jangan hanya menjadi asesoris bagi perguruan tinggi tetapi harus dapat berfungsi dengan bantuan manajemen puncak untuk melakukan fungsinya dalam upaya meminimalisasi tindakan fraud”.
Pendapat ini sejalan dengan yang diungkapkan Informan 3 bahwa fungsi manajemen sangat berperan dalam pendeteksian fraud :
“Auditor internal memiliki peran dalam mendeteksi terjadinya fraud, akan tetapi esensi yang penting dari keberadaan auditor internal adalah peran pimpinan unit terkecil dalam upaya memastikan bahwa rekomendasi yang diberikan oleh auditor internal telah dilaksanakan. Sebaik apapun yang dilakukan oleh auditor internal dalam pelaksanaan tugas namun apabila integritas manajemen dalam upaya perbaikannya tidak ada, maka hal tersebut menj adi sia-sia”.
Informan 2 mengungkapkan fenomena lain yaitu auditor internal di Perguruan tinggi masih berfokus dalam upaya peningkatan kualitas informasi sehingga upaya yang dilakukan dalam penilaian atau penaksiran resiko kecurangan masih jarang dilakukan oleh auditor internal :
“Pendeteksian terjadinya fraud dilakukan oleh auditor internal dengan upaya secara regular melakukan pemeriksaan laporan pertanggung jawaban keuangan. Akan tetapi penilaian atau penaksiran resiko kecurangan masih j arang dilakukan karena masih berfokus dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas penyajian laporan keuangan”.
Selain dari auditor internal, whistleblower j uga berperan dalam pendeteksian fraud. Seperti yang dikuti p dari Informan 2 :
“Whistleblower juga berperan dalam memberikan informasi terjadinya tindakan kecurangan dili ngkungan Perguruan Tinggi. Berdasarkan informasi tersebut manajemen puncak memberikan penugasan secara langsung kepada auditor internal untuk melakukan investigasi”
Peranan auditor internal dilingkungan perguruan tinggi j uga menghadapi berbagai tantangan selain keterlibatan manajemen puncak dalam upaya mendeteksi fraud. Beberapa perguruan tinggi yang menjadikan dosen sebagai bagian dari audit internal juga merupakan salah satu kendala dalam upaya mengeliminasi tindakan fraud. Seperti yang diungkapkan oleh Informan 5 : “Auditor internal sangat berperan dalam medeteksi terjadinya tindakan fraud, akan tetapi suasana senioritas dan junioritas di lingkungan perguruan tinggi menyebabkan auditor internal menjadi canggung untuk mengungkapkan kekurangan yang dimiliki program studi. Masalah lain yang dihadapi auditor internal yang sekaligus dosen adalah konfik peran yang dihadapi sebagai bagian dari program studi atau sebagai bagian dari auditor internal itu sendiri.Upaya yang dilakukan auditor internal untuk medeteksi fraud dilakukan secara berkala dengan melakukan peni laian atas kecukupan system serta pengendalian internal. Selain itu dukungan dari manajemen puncak untuk membahas isu pencegahan fraud misalnya dengan menerapkan reward and punishment. Kepedulian atas tindakan fraud dan penegakan peraturan harus lahir dari masing-masing individu dalam perguruan tinggi, agar menj adi control social yang efektif”
Pentingnya auditor internal dalam mendeteksi fraud sejalan dengan hasil laporan ACFE tahun 2010 menj elaskan bahwa 60% responden mengatakan bahwa auditor internal memiliki peran yang sangat penting dalam upaya untuk mendeteksi terjadinya fraud. Seperti yang digambarkan dalam table berikut ini Tabel 4 Importance of Control in Detecting or Limiting Fraud
Penelitian ini sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh (Rozmita&Nelly,2012) yang mengungkapkan bahwa 62,5% responden mengatakan bahwa manajemen review memiliki peran terpenting dalam upaya pendeteksian dan pembatasan tindakan fraud. Hal ini disebabkan karena prinsip ―tone at the top‖ artinya apa yang dilakukan oleh atasan merupakan contoh bagi bawahan. Manajemen puncak di Perguruan Tinggi dalam hal ini rektor memiliki tanggungjawab untuk menanamkan kepedulian yang tinggi kepada bawahan akan bahaya fraud dan rektor juga harus melakukan review atas pengendalian internal serta menjamin bahwa unit terkecil dalam organisasi melaksanakan rekomendasi yang disarankan oleh auditor internal atas pengendalian internal yang rendah.
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN KETERBATASAN PENELITIAN
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
1. Gejala fraud yang berpotensi timbul di lingkungan perguruan tinggi adalah lack of internal control yang disebabkan oleh belum adanya pemisahan fungsi pada level terkecil pengguna anggaran, kurangnya pengendalian internal yang dilakukan oleh pimpinan unit terkecil dekan terhadap pelaporan pertanggungjawaban dana. Keterlibatan dosen sebagai auditor internal dapat berpotensi menurunkan independensi.Gejala lainnya adalah accounting anomaly yang ditandai dengan perencanaan anggaran yang tidak matang, pencairan dana yang terlambat dapat berpotensi terjadinya transaksi fiktif. Dosen yang dijadikan pemegang kas menghadapi konflik peran serta pemegang kas yang tidak memiliki latarbelakang keuangan menyebabkan keterlambatan dalam pencatatan pelaporan keuangan.
2. Auditor internal berperan dalam mendeteksi tindakan fraud akan tetapi peran manajemen puncak dalam melakukan review atas pengendalian internal memberikan peran yang lebih penting dalam upaya pendeteksian tindakan fraud sesuai dengan konsep ―tone at the top ‖. Tugas Auditor internal untuk melakukan penilaian resiko tindakan fraud belum sepenuhnya dilakukan oleh auditor dilingkungan Perguruan Tinggi.
Implikasi Penelitian
Implikasi penelitian ini adalah Rektor melalui auditor internal senantiasa dapat mengidentifikasi syptom,redflag dan peluang terjadinya fraud di lingkungan perguruan tinggi serta melakukan fraud risk assessment secara berkala sehingga tindakan fraud dapat dieliminasi. Auditor internal hendaknya diberikan wewenang yang tidak terbatas dalam melakukan audit pada area yang beresiko. Selain itu perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap dual peran yang dijalankan dosen yang menjabat sebagai auditor internal dan dosen yang berperan mengelola keuangan sehingga dapat diminimalisasi konflik peran sebagai fungsional maupun struktural. Komitmen dari manajemen puncak untuk merealisasikan anggaran dan mempertanggungjawabkan dengan tepat waktu serta menindaklanjuti rekomendasi dari auditor internal atas setiap temuan yang ada. Rektor harus mampu untuk menciptakan kesadaran dan pemahaman budaya anti korupsi kepada seluruh elemen dalam organisasi dalam upaya mencegah terjadinya tindakan fraud . Piagam kesepakatan anti korupsi perlu dilakukan sebagai bentuk komitmen dalam pemberantasan tindakan kecurangan.
Keterbatasan peneitian
Penelitian ini tidak mampu melihat gej ala yang berkaitan dengan perubahan perilaku dan gaya hidup, karena hal tersebut lebih bersifat personal serta tips dan complain sebagai gej ala lainnya. Oleh karena itu peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan hasil penelitian ini dengan menggunakan kajian tersebut. Kesulitan dalam mencari informan yang bersedia untuk menjelaskan mengenai tindakan fraud sangat dirasakan oleh peneliti, karena bagi sebagian orang menganggap bahwa data keuangan merupakan bagian yang rahasia. Oleh karena itu bagi peneliti selanjutnya dapat menambah informan yang lebih banyak agar diperoleh informasi yang lebih berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Abdel-khalik,et al. 1983 .The Effects of Certain Internal Audit Variables on the Planning of External Audit Program. The Accounting Review. April:215-227
Albrecht, W. S. 2003. Fraud Examination. South western: Thomson.
Anis Charierie. (2011). Workshop Metode Penelitian Kualitatif. Disampaikan pada acara diskusi ilmiah : aplikasi metode penelitian kualitatif dalam menjawab dinamika ilmu ekonomi dan akuntansi. Bandung. Prodi Akuntansi UPI
Arens, et al. 2010. Auditing and Assurance Services: An Integrated Approach. 13th Edition. Pearson Prentice Hall
Association of Certified Fraud Examiner (ACFE). 2010. Report to the Nations on Occupational Fraud and Abuse.
Azhar Susanto (2008). Sistem Informasi Akuntansi (Struktur-Pengendalian ResikoPengembangan).Bandung.Lingga Jaya
Bryan K., Church., et al. 2001. Factors Affecting Internal Auditors’ Consideration of Fraudulent Financial
Reporting during Analytical Procedures. A Joumai of Practice S Theory Vol. 20, No. 1.
Colbert, Janet L. 1993. Discovering Opportunities for a New Working Relationship Between
Internal&External Auditors. The Nation Public Accountant. Jan, Vol 38, iss 1;pg 40
Washington.
Dana R Hermanson., et al. 2008. Building an Effective Internal Audit Function: Learning from SOX Section 404. Review of Business. Winter Vol.2;pg.28.
Desai, Vikram., et al. 2010. An Analytical Model for External Auditor Evaluation of the Internal Audit Function Using Belief Functions*. Contemporary Accounting Research. Vol. 27 No.2 pp. 537- 575.
Duane M. Brandon. 2010. External Auditor Evaluations of Outsourced InternalAuditors. Auditing. A Journal of Practice &Theory .Vol. 29 No. 2; pp.159–173.
Edge, W.R.,and A.A.Farley.1991.External Auditor Evaluation of the Internal Audit Function. Accounting and Finance;69-83
Kevin L. James. 2003. The Effects of Internal Audit Structure on Perceived Financial Statement Fraud Prevention. Acounting Horizon. Vol.17, No.4; pp.315-327.
KPMG. 2010. India Fraud Survey.Melalui http://www.in.kpmg.com.
KPMG. 2010. Fraud and Misconduct Survey Australia and New Zealand. Melalui http://www.kpmg.au
Krishnamoorthy,Ganesh. 2002. A Multistage Approach to External Auditor’s Evaluation of the Internal Audit Function. Auditing.Sarasota,Vol 21,Iss I, pg. 95
Lisa M Perry and Barry J Bryan. 1997. Heightened Responsibilities Of The Auditor Internal In The Detection Of Fraud. Managerial Finance. Vol .23 No. 12.;Pg.38.
Maletta, M.J, 1993. An Examination of Auditors’ Decisions to Use Internal Auditors as Assistants:The Effect of Inherent Risk. Contemporary Accounting Research (Spring) ;508-525
Margheim, L .L . ,1986. Further Evidence on External Auditor’s Reliance on Internal Auditors.,Journal of Accounting Research (Spring); 194-205
Mautz. R.K and Hussein. A Sharaf. 1993. The Philosophy of Auditing. American Accounting Association. 5717 Bessie drive Sarasota Florida 34233
Messier, W. F.,Jr. ,and A. Schneider. 1 988.A Heirarchical Approach to the External Auditor’s Evaluation of the Internal Audit Function. Contemporary Accounting Research (Spring) ;337-353
Moleong, Lexi J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaj a Rosdakarya
Nicholas Bahr.,et al. 2010. The Report On Fraudulent Financial Reporting: An Internal Audit Perspective. Internal Auditing. Vol.8 No.7;pg. 4
Peraturan Pemerintah (PP ) No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP),
Render, B. et.al. 2006. Quantitative Analysis for Management, 9th edition. Prentice Hall, New Jersey. Rezaee.2002 Fraudulent Financial Report.
Rozmita & Nelly. 2012.Analisis faktor-faktor yang dapat mencegah fraud di lingkungan Perguruan Tinggi dalam upaya menciptakan good university governance.(Studi Kasus Pada Perguruan Tinggi di Bandung)
Sawyer, B Lawrence.et al. 2005. Internal Auditing. The IIA: Salemba Empat.
Schneider,A. 1984. Modeling External Auditors’ Evaluations of Internal Auditing. Journal of Accounting Research (Autumn) ;657-678.
Singleton & Singleton. 2010. Fraud Auditing and Forensic Accounting.Fourth Edition Wiley Corporate F&A
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Penerbit Alfabeta. Bandung.
The Institute of Internal Auditors Inc. 1995. Standards for Profesional Practice of Internal Auditing.
The Institute of Internal Auditors Research Foundation. 2011. International Professional Practices Framework. The Institute of Internal Auditors Research Foundation 247 Maitland Avenue Altamonte Springs, FL 32701-4201. USA
Wells, J. T. 2001. Irrational Ratios: The Number Raise a Red Flag. AICPA. www.iia2007.com
www.theiia.org/certification/certified-internal-auditor
Zack., Gerard M. 2009. Fair Value Accounting Fraud: New Global Risks&Detection Techniquues. John Wiley & Sons. Inc. Hoboken , New Jersey