Seharusnya Tak Terpaku pada Nilai dan Soal Akademik
Proses pendidikan harus memasukkan unsur budaya kepada yang dididik. Hal tersebut dilakukan supaya esensi pendidikan tidak hanya berbicara soal akademik saja dan terpaku pada nilai. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Wakil Rektor IV, Univeristas Sanata Dharma (USD) Jogjakarta, T Sarkim menjelang puncak kegiatan dies ke-58 USD, kemarin (10/12).
“Di lingkup sekolah terlalu mengejar nilai dan di perguruan tinggi lebih difokuskan pada mencari kerja setelah lulus, sehingga melupakan esensi pendidikan. Padahal makna pendidikan adalah membangun karakter manusia tersebut,” kata Sarkim.
Maka tak heran, meski bukan kampus seni, USD sering menggelar even seni seperti tari, sastra, teater dan kesenian lainnya. Keberadaan seni maupun budaya yang ditanamkan dalam pendidikan menjadikan manusia yang terdidik dan tidak kaku. Di USD, kata Sarkim, pengembangan pendidikan menekankan pada semangat dari pendiri USD, Driyarkara. Inti dari pendidikan adalah pengembangan karakter manusia seutuhnya.
Meski mata kuliah yang diajarkan sama dengan kampus lain, di USD memiliki kekhasan. Selain aktivitas pembelajaran, kampus menyediakan pendampingan dalam belajar. “Seperti pada mata kuliah akuntasi, yang dipelajari sampai pada pedagogik ignasian. Sehingga mereka mengerti maksud dari belajar akuntasi tersebut,” jelas Sarkim.
Dia, yang juga menjabat ketua panitia Dies Ke-58 USD mengungkapkan, dies kali ini fokus pada aktualisasi pemikiran Driyarkara. Yakni pada pendidikan dan nasionalisme kebangsaan. Dies ini juga bertepatan dengan 100 tahun kelahiran Driyarkara. “Selain seminar, kami juga akan mengundang mantan Presiden RI Megawati. Ini bisa menjadi napak tilas beliau, sebab anak dari presiden pertama RI Sukarno yang pernah berkunjung ke USD,” kata Sarkim.
Sementara itu, Albertus Bagus Laksana mengatakan, saat ini dunia dalam kondisi yang serba cair. Sehingga untuk mendidik guru sudah sangat tidak tepat lagi dengan menggunakan cara-cara IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) yang lama. “Membentuk guru dengan model IKIP sudah tidak bisa lagi sekarang. Yang harus diciptakan saat ini adalah ilmu dengan semangat keguruan,” kata Bagus.
Menjelang pelaksanaan AFTA 2015, menurut Bagus, Driyarkara sudah mempersiapkan metodologi mengajar menghadapi AFTA. Sebab, yang ingin dibangun dalam pendidikan Driyarkara adalah pendidikan manusia pada dunia yang berubah-ubah. “Tidak hanya menciptakan manusia yang bisa pada satu keahlian saja. Tetapi mampu menguasai berbagai keahlian,” kata Bagus. (bhn/iwa/nn).
http://www.radarjogja.co.id/esensi-pendidikan-dilupakan/