Diposting oleh : Henry Praherdhiono
(Eksperimen Kuasi Model Pembelajaran Kontekstual Bidang Studi Bahasa Indonesia Kelas VI Sekolah Dasar) Oleh: Mohammad Efendi *)
Menyusul diterapkannya tambahan jam belajar di sekolah sebagai upaya meningkatkan kualitas hasil belajar siswa ternyata tidak memberikan dampak secara sugnifikan. Hasil penelitian tersebut mengisyaratkan bahwa perbaikan yang bersifat kuantitas dan parsial, tanpa perbaikan kualitas instrumen pembelajaran hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Pembelajaran kontekstual memberikan alternatif pembelajaran yang berbasis pengetahuan, pertumbuhan kecerdasan, sosialisasi dan pemahaman sistuasi. Berdasarkan hasil pengembangan dan ujicoba secara terbatas pada bidang studi bahasa Indonesia diperoleh kesimpulan, bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual mampu meningkatkan kemampuan siswa mencapai rentangan 10 % – 27 %, serta tingkat efisiensi antara 0,06 % – 0,15 % per-menit. Untuk itu perlu dipertimbangkan penerapannya dalam skala yang lebih luas.
Kata kunci: Efektivitas, Pembelajaran Kontekstual, Sekolah Dasar
PENDAHULUAN
Salah satu issu yang berkembang bertahun-tahun di dunia pendidikan kita adalah rendahnya kualitas prestasi belajar siswa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal, khususnya di tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Kondisi ini ditengarai sebagai akibat dari iklim akademik yang tidak kondusif. Implikasi dari merosotnya kualitas prestasi belajar siswa berdampak pada kurang siapnya para lulusan pada level-level tersebut untuk berkiprah secara mandiri di masyarakat. Mereka cenderung menunggu keadaan atau uluran tangan pihak lain, khususnya orang tua atau pihak lain daripada berinisiatif untuk berbuat. Praktis karenanya para lulusan yang dihasilkan dari lembaga pendidikan formal tersebut hanya menjadi beban masyarakat dan menambah panjangnya polemik yang mewarnai kualitas kehidupan pendidikan di Indonesia.
Menyikapi kondisi tersebut, berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk melakukan berbagai perbaikan yang dipandang cukup mendasar, dengan maksud agar kualitas yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dapat terangkat dengan baik. Upaya atau langkah-langkah perbaikan dari sisi akademik misalnya, dilakukan peningkatan kualitas tenaga pengajar (studi lanjut, lokakarya, workshop dan lain-lainnya), pengangkatan guru bantu, perbaikan kurikulum, perbaikan proses belajar mengajar, maupun perbaikan yang bersifat non akademik seperti pembenahan/peningkatan fasilitas dan perangkat pendukung pembelajaran. Semua itu dilakukan dengan harapan agar prestasi belajar dicapai oleh siswa dapat memenuhi kualitas kemampuan yang mumpuni, sehingga mereka dapat berbuat sesuatu sesuai dengan kapasitasnya.
Wacana lain yang berkembang, bahwa salah satu determinan turunnya kualitas hasil belajar siswa, dikarenakan minimnya waktu yang diperlukan untuk meningkatkan daya serap siswa,. Atas dasar itulah pada tahun-tahun belakangan ini upaya berbagai sekolah untuk memacu daya serap siswa tersebut dengan memodifikasi jam belajar, yakni memaksakan tambahan jam belajar formal berikisar 8 – 15 jam per minggu, meski secara eksplisit efektivitasnya masih dipertanyakan. Sebuah studi kasus pada sekolah dasar unggulan yang menerapkan penambahan jam belajar untuk bidang studi keilmuan, ternyata hasilnya menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa yang diberikan penambahan jam belajar sekitar 10 jam perminggu, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan prestasi belajar siswa yang tidak diberikan tambahan jam belajar (Padmanthara dkk., 1999). Hasil penelitian tersebut mengisyaratkan bahwa perbaikan yang bersifat kuantitas dan parsial, tanpa dibarengi perbaikan kualitas pada instrumen pembelajaran, hasil yang dicapai tentu saja masih jauh dari apa yang diharapkan.
Salah satu instrumen pembelajaran alternatif yang dipandang cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan siswa secara paripurna, dalam arti pengembangan secara fisik, psikologis dan sosial siswa, dan cukup sukses dalam uji coba di beberapa negara maju yakni pembelajaran kontekstual. Esensi pembelajaran kontekstual sebagai instrumen pembelajaran secara teoritik didukung oleh berbagai penelitian dalam bidang cognitive science maupun behavioral theories. Bila kita cermati secara seksama, penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran banyak memberikan keuntungan, karena landasan pembelajarannya berbasis pada pengetahuan, pertumbuhan kecerdasan, sosialisasi dan pemahaman sistuasi. Dengan demikian pembelajaran kontekstual, merupakan bentuk pembelajaran yang penyajiannya dengan mengkaitkan meteri yang dipelajari siswa dengan konteks di mana materi tersebut digunakan, serta berhubungan dengan bagaimana atau gaya siswa belajar. Selanjutnya siswa dapat memanfaatkan kembali pengetahuan dan kemampuannya dalam berbagai konteks di sekolah untuk menyelesaikan permasalahan dunia nyata, yang terkadang lebih kompleks dari apa yang dipelajari di sekolah, baik secara mandiri maupun dengan berbagai kombinasi struktur kelompok.
Pendekatan pembelajaran kontekstual sebagai salah satu inovasi pendidikan, meskipun secara empirik telah terbukti keterandalannya dalam membangun potensi psiko-fisik dan sosial siswa, untuk implementasinya di Indonesia perlu dilakukan adaptasi seperlunya menurut setting karakter sosio-budaya di Indonesia. Karena itulah dalam rangka memperoleh sebuah model pembelajaran kontekstual yang relevan dengan kondisi setempat, penelitian ini mencoba mengembangkan prototipe pembelajaran kontektual yang beracuan dengan kondisi dan situasi setempat, khususnya untuk daerah Malang dan sekitarnya. Seberapa efektif model pembelajaran kontekstual mampu meningkatkan hasil belajar siswa?, penelitian ini mencoba untuk menformulasikan jawabannya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini di dirancang dalam 2 tahap, yaitu tahap pengembangan instrumen penelitian dan tahap eksperimentasi instrumen peneltian. Tahap pengembangan istrumen adalah tahap di mana instrumen penelitian itu dirancang dan divalidasi sesuai dengan keperluan penelitian. Untuk itu siklus langkah yang lazim dilakukan dalam tahap ini meliputi: studi pendahuluan untuk menemukan aspek-aspek yang berhubungan dengan produk yang akan dikembangkan, mengembangkan produk yang didasarkan pada hasil studi sebelumnya, ujicoba dengan setting yang relevan dengan situasi lapangan, revisi untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan pada ujicoba (Borg dan Gall. 1983).
Studi pendahuluan ini dilakukan untuk menjaring informasi sebanyak-banyaknya dari sekolah yang akan dijadikan kolaborasi pengembangan, serta hasilnya kelak dapat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan perangkat stimulasi, alat ukur penilaian, serta seberapa penting masalah ini harus dipecahkan. Dengan menyimak hasil studi pendahuluan, selanjutnya dikembangkan program dan prototipe pembelajaran dari bidang studi yang telah direncanakan bersama dengan guru yang menjadi partner pengembangan. Validasi instrumen penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan penilaian, kritik, saran, atas produk yang dirancang. Validasi instrumen tersebut direncanakan meliputi: (1) validasi tahap I dengan subyek penilainya adalah ahli dalam bidang rancangan pembelajaran, (2) Validasi tahap II dengan subyek penilai pelaksana/guru kelas/guru bidang studi.
Tahap eksperiementasi adalah tahap di mana instrumen penelitian hasil revisi siap untuk diimplementasikan dalam eksperimen. Tujuan dari eksperimen ini yaitu untuk menilai efektivitas instrumen penelitian. Sesuai dengan karakteristik variabel dan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka jenis penelitian kuasi ini menggunakan rancangan penelitian one group pretest and posttest design (Cozby, 1985; Creswell, 1994; Pratiknya, 2001).
Berdasarkan hasil identifikasi karakteristik sekolah, ditetapkan SDN Tunjungsekar I – Malang sebagai partner ujicoba pengembangan model. Sesuai dengan kesepakatan, pelaksanaan uji coba dilakukan pada tanggal 13 Oktober s/d 14 Nopember 2003. Namun sebelum ujicoba itu dilakukan, persiapan teknis lain yang dilakukan, yaitu sosialisasi model kepada guru bidang studi yang akan mengimplementasi rancangan pembelajaran kontekstual ini, melalui penataran singkat yang dilakukan pada tanggal 10 & 12 Oktober 2003.
HASIL PENELITIAN
Data Hasil Ujicoba Instrumen
Penilaian instrumen pembelajaran menggunakan pedoman penilaian yang telah dipersiapkan dalam bentuk terbuka dan tertutup. Penilaian dalam bentuk tertutup, yakni validator memberikan justifikasi dengan cara memilih rentang nilai terhadap berbagai aspek yang ditanyakan dalam prototipe program pembelajaran. Justifikasi hasil penilaian validator yang ditampilkan pada sajian berikut ini tidak dihitung secara kuantitas, akan tetapi hanya bersifat “kecenderungan” validator dalam memberikan justifikasi terhadap prototipe program yang dinilai.
Ada beberapa aspek yang menjadi perhatian para penilai untuk menilai instrumen stimulasi ini, antara lain: penulisan rasional, tujuan, materi, media pembelajaran, evaluasi, dan koherensi antar berbagai aspek yang disajikan dalam panduan kegiatan pembelajaran. Dari sisi rasional, penilaian difokuskan pada kajian empirik dan pokok pikiran yang diuraikan sebagai dasar pengembangan pembelajaran kontekstual. Pada bagian ini, pada umumnya penilai menyarankan agar mengetengahkan urgensi pembelajaran kontekstual untuk mengembangkan ketrampilan kognitif, afektif dan psikomotorik bagi siswa di sekolah dasar.
Penilaian terhadap tujuan pembelajaran difokuskan pada kesesuaian tujuan dengan tingkat perkembangan siswa, kejelasan kalimat yang dirumuskan dalam tujuan, serta tingkat operasionalisasi untuk aplikasi di lapangan. Untuk aspek tujuan, instrumen ini mendapatkan penilaian “baik” dari para validator. Saran yang terkait dengan tujuan adalah perlunya dibedakan antara tujuan panduan program dan tujuan khusus kegiatan pembelajaran. Dari sisi materi, hampir semua penilai sepakat bahwa aspek-aspek penilaian pada materi pembelajaran cukup memadai. Penilaian itu meliputi: sistematika petunjuk, kesesuaian dengan disiplin kajian, organisasi materi pembelajaran, subtansi materi untuk pengembangan ketrampilan kognitif siswa, manfaat materi sebagai sarana pengembangan diri, serta kontribusi materi untuk meningkatkan ketrampilan berpikir. Saran yang berkaitan dengan materi ini, adalah agar tingkat kesukaran materi, ketepatan penggunaan bahasa, kemenarikan gaya bahasa perlu diperbaiki, dan disesuaikan dengan karakteristik perkembangan kelompok sasaran. Demikian pula buku rujukan dan lingkungan rujukan yang dijadikan sebagai sumber inspirasi penyusunan, menurut para penilai sudah “baik dan kredibel”.
Instrumen evaluasi formatif yang digunakan sebagai alat untuk menilai ketrampilan kognitif siswa setelah mengikuti pembelajaran cukup memadai, terutama dilihat dari sisi prosedur dan jenis evaluasi yang ditampilkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Namun dari sisi kejelasan petunjuk untuk mengerjakan tugas atau latihan sebagai tindak lanjut pembelajaran perlu perbaikan. Perbaikan itu dapat dilakukan misalnya dengan pemberian contoh bagaimana cara mengerjakan tugas/latihan yang harus dilakukan oleh siswa dan variasi latihan/tugas.
Penilaian terhadap kohesivitas antar komponen tujuan dengan materi, tujuan dengan kegiatan, tujuan dengan evaluasi, materi dengan kegiatan, materi dengan evaluasi, kegiatan dengan evaluasi, serta kegiatan dengan media penunjang, pada umumnya para penilai sepakat untuk menilai “baik atau relevan” namun perlu sedikit perbaikan. Alokasi waktu yang dirancang dalam 12 kali pertemuan @ 45 menit dianggap sudah “memadai” untuk sub sajian materi tersebut.
Berdasarkan kaidah instruksional, instrumen program pembelajaran kontekstual menurut penilaian para guru bidang studi yang relevan dinilai sudah memadai, dilihat dari sisi kedalaman dan pengalaman belajar yang diterima siswa. Dari sisi keterbacaan, materi yang ditampilkan dalam prototipe program pembelajaran menurut penilian para guru bidang studi yang relevan dinilai cukup jelas dan mudah dipahami. Dalam skala yang lebih luas, subtansi pengalaman belajar dikembangkan dalam prototipe program pembelajaran kontekstual tersebut dapat digunakan sebagai sarana pengembangan diri siswa.
Hasil Pengukuran Prestasi Belajar
Bidang studi yang yang diujicoba untuk pembelajaran kontekstual ini adalah Bahasa Indonesia. Ada 3 sub pok bahasan yang dirancang dalam pembelajaran ini yaitu pertunjukan, permainan dan menjaga kesehatan. Masing-masing sub pokok dirancang untuk 2 kali pertemuan. Selengkapnya nilai hasil belajar siswa sebelum dan sesudah belajar: dapat disimak pada bagian berikut:
Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis hasil belajar 3 sub pokok bahasan
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa analisis hasil belajar siswa untuk sub pokok bahasan pertunjukkan (uji I) diketahui bahwa nilai rerata sebelum dan sesudah dilakukan ujicoba rancangan pembalajaran masing-masing 48,75 dan 70,37 sedangkan nilai standar deviasinya masing-masing 14,31 dan 8,50. Dengan menggunakan uji-t sampel berpasangan sebagaimana nampak pada tabel di atas di mana hasil p = 0,00 (p < 0,05) berarti prestasi belajar siswa sebelum dan sesudah diujicobakannya rancangan pembelajaran untuk sub pokok bahasan pertunjukkan dalam penelitian ini ada perbedaan yang signifikan. Hasil belajar siswa untuk sub pokok bahasan permainan (uji II) diketahui bahwa nilai rerata sebelum dan sesudah dilakukan ujicoba rancangan pembalajaran masing-masing 61,15 dan 71,80, sedangkan nilai standar deviasinya masing=masing 9,84 dan 8,52. Dengan menggunakan uji-t sampel berpasangan sebagaimana nampak pada tabel di atas di mana hasil p = 0,00 (p < 0,05) berarti prestasi belajar siswa sebelum dan sesudah diujicobakannya rancangan pembelajaran untuk sub pokok bahasan permainan dalam penelitian ini ada perbedaan yang signifikan. Sedangkan hasil belajar siswa untuk sub pokok bahasan permainan (uji III) diketahui, bahwa nilai rerata sebelum dan sesudah dilakukan ujicoba rancangan pembalajaran masing-masing 61,15 dan 71,80, sedangkan nilai standar deviasinya masing-masing 9,84 dan 8,52. Dengan menggunakan uji-t sampel berpasangan sebagaimana nampak pada tabel di atas di mana hasil p = 0,00 (p < 0,05) berarti prestasi belajar siswa sebelum dan sesudah diujicobakannya rancangan pembelajaran untuk sub pokok bahasan permainan dalam penelitian ini ada perbedaan yang signifikan
Repons Umpan Balik Pembelajaran
Untuk mengetahui gambaran rangkaian ujicoba rancangan pembelajaran tersebut, berikut ini akan disajikan tanggapan siswa terhadap instrumen materi pembelajaran, unjuk kerja guru dalam mengimplementasikan rancangan pembelajaran, serta situasi lingkungan saat berlangsungnya ujicoba.
Berdasarkan hasil rekapitulasi tanggapan siswa terhadap serangkaian ujicoba rancangan pembelajaran diperoleh tanggapan bahwa dari 40 responden yang diikutsertakan dalam ujicoba: (1) 97,5% responden menyatakan dapat memahami dengan baik materi bacaan yang disajikan pada materi 1 (sub pokok bahasan pertunjukkan), (2) 82,5% responden menyatakan dapat memahami dengan baik materi bacaan yang disajikan pada materi 2 (sub pokok bahasan permainan), (3) 82,5% responden menyatakan dapat memahami dengan baik materi bacaan yang disajikan pada materi 3 (sub pokok bahasan menjaga kesehatan), (4) 97,5% responden menyatakan bahwa contoh-contoh yang disajikan dalam materi pembelajaran dapat memberi pengetahuan baru, (5) 57,5% responden menyatakan waktu yang disediakan untuk membaca dan mempelajari materi pembelajaran cukupdan selebihnya memandang kurang, (6) 72,5 % responden menyatakan waktu yang disediakan untuk mengerjakan tugas-tugas terstruktur dianggap sudah cukup, (7) 75 % responden menyatakan waktu yang disediakan untuk menjawab soal-soal dianggap sudah cukup, (8) 80% responden menyatakan bahwa tugas atau pertanyaan yang diberikan sesuai dengan materi yang disajikan, (9) 60% responden menyatakan bahwa soal-soal yang diberikan untuk melengkapi bacaan mudah dipahami, (10) 92,5% responden menyatakan, bahwa waktu yang disediakan untuk tanya jawab dan diskusi dianggap cukup, (11) 95% responden menyatakan, bahwa penjelasan langkah-langkah belajar yang diberikan guru sudah dipahami oleh siswa, (12) 92,5% responden menyatakan, bahwa mereka telah memahami petunjuk secara jelas untuk mempelajari materi, (13) 90 % responden menyatakan bahwa media atau alat peraga yang digunakan mampu mempermudah pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran, (14) 97,5% responden menyatakan bahwa guru banyak memberikan kesempatan pada siswa untuk berpendapat, (15) 80% responden menyatakan bahwa situasi selama pembelajaran sangat akrab dan menyenangkan, (16) 97,5% responden menyatakan bahwa secara umum materi yang disajikan dalam pembelajaran sangat bermanfaat untuk kepentingan sehari-hari
PEMBAHASAN
Hakekat belajar itu sendiri menurut Hilgard (1948), biasanya selalu menunjukkan kepada suatu proses perubahan dari perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan pengalaman tertentu. Demikian pula Gagne (1977), Morgan (1978), menilai perbuatan belajar adalah perubahan yang relatif menetap dalam perilaku individu yang terjadi sebagai hasil belajar, sehingga perbuatan individu sebelum mengalami situasi dan sesudah mengalami situasi nampak berbeda, dan pola-pola baru yang nampak sebagai reaksi sesudah mengalami situasi belajar berupa sikap, kecakapan, kebiasaan, kepandaian atau suatu pengertian (dalam Makmun, 2003).
Jadi, adakalanya perubahan itu mungkin merupakan suatu penemuan atau penguasaan ketrampilan baru sama sekali maupun perubahan itu terjadi dengan bertambahnya atau perkayaan informasi/pengetahuan yang ada. Bahkan mungkin pula merupakan reduksi atau menghilangkan sifat-sifat kepribadian atau perilaku tertentu yang tidak dikehendaki (negatif). Misalnya seorang anak yang belajar merokok, senang bersepeda kebut-kebutan di jalanan, atau suka menari-narik ekor binatang, keadaan ini cenderung bertahan sebagai hasil proses belajar, kecuali apabila ada usaha dari pendidik untuk mengubah sikap yang kurang baik itu menjadi sikap yang lebih positif, seperti ; berolah raga, menyayangi binatang peliharaan, dan lain-lainnya (Winkel, 1987).
Dengan memahami esensinya, maka aktivitas belajar sebenarnya merupakan suatu upaya membawa atau mengarahkan anak agar mampu berbuat sesuai dengan kapasitas dan berperan aktif terhadap lingkungannya. Atas dasar itulah dukungan ketrampilan kognitif, afektif, dan psikomotorik menjadi bagian penting, yang dapat mendorong mereka untuk berbuat dan berperan aktif. Kulminasi dari semua proses belajar yang telah diupayakan, nilai kontribusinya indikasinya dapat disimak pada prestasi belajar. Jadi, prestasi belajar siswa pada hakekatnya merupakan perolehan hasil dari kegiatan belajar yang diwujudkan dalam bentuk angka/nilai, dan melalui angka/nilai yang diperoleh tersebut dapat diketahui, apakah yang bersangkutan berhasil mencapai kelulusan yang dipersyaratkan, atau tujuan yang telah direncanakan.
Fakta lainnya yang masih disikapi secara kurang bijaksana, yakni sejumlah bidang studi keilmuan yang diajarkan di sekolah masih disikapi sebagai suatu mata pelajaran yang berat dan sulit oleh guru dan siswa, khusus bidang studi rumpun eksakta. Atas dasar itulah, maka dalam implementasi pembelajarannya cenderung bersifat transfer of knowledge sebagai produk (fakta, hukum dan teori) yang harus dihafal, sehingga aspek pengembangan keilmuan yang lain sebagai proses dan sikap cenderung terabaikan (Drost, 1998; Chaille & Britain, 1991). Bidang studi keilmuan masih diajarkan secara mekanistik (Cain & Evan, 1990). Ujungnya materi yang ditampilkan dalam bidang studi tersebut, penuh dengan konsep-konsep abstrak yang tidak mudah untuk dipahami, sebab kaidah pembelajarannya menggunakan hafalan dan mekanistik, sehingga belum menyentuh bagian yang subtansial dalam pembentukan konsep-konsep yang bermakna pada diri anak.
Pembelajaran di sekolah dasar progresif yang diilhami oleh Piaget, menganut kurikulum dan metodologi yang bepusat pada anak, serta belajar individual di mana anak bisa bekerja sesuai dengan tingkat kemampuan dan kecepatan masing-masing. Beberapa sekolah yang menerapkan model ini terlihat adanya integrated day, dimana tidak terdapat jadwal pelajaran yang tersekat secara kaku. Dengan cara ini diharapkan anak akan mengembangkan kemandirian (autonomy) dan disiplin diri (self dicipline) dalam merencanakan agenda belajar, dan mereka dapat menentukan pilihan sendiri dari sekian pilihan yang tersedia. Pembelajaran yang berpusat pada anak inilah yang pada akhirnya juga melahirkan pembelajaran berdasarkan topik atau tema, yang menekankan keterpaduan aspek-aspek kurikulum yang berbeda misalnya matematika dan IPA atau IPS atau yang lainnya. Metode pembelajaran yang dipakai menekankan pada learning by doing atau problem solving, serta melibatkan belajar kelompok (cooperative learning) sebagai perwujudan dari ienteraksi sosial dan sarana pemerolehan pengalaman belajar.
Aspek-aspek belajar di atas secara implisit menjadi pola dasar pembelajaran kontekstual, dimana siswa dibekali dengan pengetahuan secara fleksibel yang dapat diterapkan atau ditransfer dari suatu masalah ke permasalahan lain, dan dari suatu konteks ke konteks lain. Transfer dapat terjadi dalam suatu konteks melalui pemberian tugas yang terkait erat dengan materi pelajaran, antar dua atau lebih konteks dimana pengetahuan itu diperlukan dalam suatu situasi tertentu, dan kemudian digunakan di dalam konteks yang lainnya (Depdiknas, 2002).
Sesuai dengan kurikulum yang diberlakukan saat ini, secara eksplisit memberikan peluang kepada guru untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan agar siswa mampu belajar dan berbuat dalam konteks belajar anak (konteks kognitif) dan mengedepankan lingkungan sehar-hari (konteks sosial). Hal ini berarti kreatifitas guru untuk mengembangkan tema-tema pembelajaran yang relevan kondisi dan situasi setempat menjadi bagian sangat penting, akan tetapi sejauh ini nampaknya para guru masih sulit untuk beranjak dan berbuat untuk menyusun secara serius pembelajaran yang didasarkan pada premis belajar (Drost, 1998). Mereka pada umumnya masih berkutat dengan cara-cara mengajar yang lama, dan cenderung mematikan potensi kreatif siswa. Permasalahan ini telah mengakar di alam sekolah kita dan telah membentuk sikap guru menjadi sangat konservatif, akibatnya keyakinan guru tampak sulit diubah, untuk mengubahnya membutuhkan waktu yang lama (Tangyong, 1989).
Atas dasar itulah, maka dalam implementasi pembelajarannya cenderung bersifat transfer of knowledge sebagai produk (fakta, hukum dan teori) yang harus dihafal, sehingga aspek pengembangan keilmuan yang lain sebagai proses dan sikap cenderung terabaikan (Drost, 1998; Chaille & Britain, 1991). Bidang studi keilmuan masih diajarkan secara mekanistik (Cain & Evan, 1990). Ujungnya materi yang ditampilkan dalam bidang studi tersebut, penuh dengan konsep-konsep abstrak yang tidak mudah untuk dipahami, sebab kaidah pembelajarannya menggunakan hafalan dan mekanistik, sehingga belum menyentuh bagian yang subtansial dalam pembentukan konsep-konsep yang bermakna pada diri anak.
.
Naskah lengkap hubungi hp. 081333052032