Oleh Rebecca E. Laia
[Dosen IKIP Gunung Sitoli].
Abstrak
Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan hasil belajar Bahasa Inggris antara kelompok yang menggunakan pendekatan kontekstual dengan kelompok yang tidak menggunakan pendekatan kontekstual dan untuk mengetahui seberapa besar efektivitas penggunaan pendekatan kontekstual yang diberikan oleh guru dalam memberikan mata pelajaran Bahasa Inggris. Metode penulisan menggunakan metode library research. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model pembelajaran CTL hasil belajarnya berbeda dan lebih efektif daripada siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model pembelajaran konvensional.
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Didukung oleh kemajuan ilmu dan teknologi, dunia pendidikan secara nyata telah berkembang pesat, terlihat dengan adanya pendidikan Bahasa Inggris dimulai sejak di Sekolah Dasar. Selama ini, memang kita akui bahwa siswa tingkat dasar di Indonesia masih lemah dalam penguasaan Bahasa Inggris, juga tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan lanjutan dibanding siswa negara lain yang bahasa ibunya bukan Bahasa Inggris juga. Laporan Human Development Report United Development Program (UNDP) tahun 1997 menyatakan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (HDI) yang meliputi pendidikan, kesehatan dan perekonomian dari 173 negara, Indonesia berada pada peringkat 102 di tahun 2001 dibandingkan dengan Jepang pada peringkat ke-8, dan Thailand ke-47.
Mengikuti era globalisasi dan AFTA sejak tahun 2003, tidak dapat diragukan bahwa bahasa asing merupakan alat komunikasi terpenting sekaligus merupakan salah satu ketrampilan hidup (life skill) yang harus dikuasai oleh seseorang, khususnya siswa. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas 2000-2004 dengan tujuan untuk mengantisipasi era globalisasi dunia pendidikan.
Untuk itu, anak usia dini lebih baik telah diajarkan bahasa asing. Ditinjau dari kondisi psikologis anak, saat anak berumur 4 tahun, perkembangan kapasitas otak hanya 50%. Namun, akan melaju cukup pesat ketika ia di atas 4 tahun menjelang 8 tahun. Saat itu, perkembangan otaknya bisa mencapai 80%. Memang, tak salah bila pakar linguistik yang menyebutkan usia 6-12 tahun merupakan masa emas atau paling ideal untuk belajar bahasa selain bahasa ibu (bahasa pertama). Pada masa ini anak lebih berhasil pada penguasaan fonologi (tata bunyi) bahasa Inggris. Sedangkan pada anak lebih tua 6-15 tahun lebih berhasil pada penguasaan morfologi (satuan bentuk bahasa terkecil) dan sintaksisnya (susunan tata kalimat) (Kompas, 14 September 2002).
Dalam proses belajar mengajar di sekolah, siswa Sekolah Menengah Pertama seringkali masih merasa sulit belajar Bahasa Inggris bahkan cenderung bosan mengikuti proses belajar mengajar di kelas karena strategi pelajaran yang digunakan oleh guru kurang variatif dan menyenangkan. Pada saat sedang belajar di kelas, mereka sering bermain atau minta izin keluar dengan berbagai alasan. Tentunya sistem pembelajaran yang dilakukan di kelas bagi sekolah dengan sistem full day, tentu bisa menimbulkan kejenuhan. Bila dibiarkan dapat berakibat fatal yaitu anak menjadi malas belajar bahkan mogok sekolah.
Untuk menjawab kebutuhan terhadap penguasaan Bahasa Inggris, kurikulum di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan (Dardjowidjojo, 2000). Dimulai dengan pendekatan tata bahasa dan terjemahan (1945), oral (1968), audio-lingual (1975), komunikatif (1984) dan kebermaknaan (1994). Perubahan drastis dalam tahap perumusan kurikulum standar terjadi di tahun 1984 saat pengajaran bahasa asing bergeser dari behaviorism menuju konstruktivisme. Bahasa dipandang sebagai suatu fenomena sosial, dan pengajaran bahasa seharusnya lebih menekankan pada penggunaan, bukan pada struktur bahasa. Mengacu paradigma baru ini, kurikulum 1984 dan 1994 bercita-cita membangun kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam Bahasa Inggris secara aktif. Akan tetapi, cita-cita dalam kurikulum 1984 dan 1994 sama sekali tidak mendarat dan terlaksana. Sebagian besar guru Bahasa Inggris di Indonesia belum kompeten dan lancar berbahasa Inggris. Kesulitan dalam ujian listening Bahasa Inggris bukan hanya disebabkan oleh alasan teknis tetapi juga mismatch (ketidakterkaitan) antara apa yang diajarkan dengan apa yang diujikan.
Pengajaran Bahasa Inggris di sekolah lebih banyak berfokus pada pengajaran tata bahasa dan kurang memberikan kesempatan pada siswa untuk berlatih berbicara dalam Bahasa Inggris. Akibatnya muncul keluhan siswa bahwa Bahasa Inggris merupakan bahasa kebatinan karena hanya dibatin saja dan tidak dapat berbicara, mengapa siswa SMP tidak dapat berbicara Bahasa Inggris sebaik lulusan kursus dan mengapa tidak dapat berbicara dalam Bahasa Inggris seperti orang asing yang sedang berbicara dalam Bahasa Indonesia walaupun terpatah-patah. Sehingga konsep yang harus diusahakan antara lain meningkatkan kesadaran akan pentingnya menyajikan pembelajaran Bahasa Inggris dengan mengikutsertakan siswa secara aktif, interaktif dan komunikatif melalui berbagai alat bantu kegiatan atau tugas yang dapat mendorong siswa untuk berlatih menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Akan tetapi pemahaman yang kurang sempurna atas konsep-konsep tersebut membuat tujuan pengajaran kurang berhasil. Selain itu, perlunya sarana atau buku yang bervariasi, bergambar dapat menarik siswa untuk memiliki minat baca yang tinggi. Misalnya mencoba menerapkan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Kelebihan konsep belajar ini yaitu hasil pembelajaran diharapkan alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
1.2. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan hasil belajar Bahasa Inggris antara kelompok yang menggunakan pendekatan kontekstual dengan kelompok yang tidak menggunakan pendekatan kontekstual dan untuk mengetahui seberapa besar efektivitas penggunaan pendekatan kontekstual yang diberikan oleh guru dalam memberikan mata pelajaran Bahasa Inggris.
2. Uraian Teoritis
2.1. Konsep Bahasa
a. Bahasa dan Berbahasa
Bahasa dan berbahasa adalah dua hal yang berbeda. Bahasa adalah alat verbal yang digunakan untuk berkomunikasi, sedangkan berbahasa adalah proses penyampaian informasi dalam berkomunikasi itu.
Bahasa itu adalah satu sistem, sama dengan sistem-sistem lain, yang sekaligus bersifat sistematis dan bersifat sistemis. Jadi, bahasa itu bukan merupakan satu sistem tunggal melainkan dibangun oleh sejumlah subsistem. Sistem bahasa ini merupakan sistem lambang, sama dengan sistem lambang lalu lintas, atau sistem lambang lainnya. Hanya, sistem lambang bahasa ini berupa bunyi, bukan gambar atau tanda lain. Dan bunyi itu adalah bunyi bahasa yang dilahirkan oleh alat ucap manusia.
Fungsi bahasa adalah alat interaksi sosial, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan (Chaer, 1995).
Wardhaugh (1972), seorang pakar sosiolinguistik juga mengatakan bahwa fungsi adalah alat komunikasi manusia, baik lisan maupun tulisan. Namun, fungsi ini sudah mencakup lima fungsi dasar. Kelima fungsi dasar ini mewadahi konsep bahwa bahasa alat untuk melahirkan ungkapan-ungkapan batin yang ingin disampaikan seorang penutur kepada orang lain. (Michel, 1967 : 51)
Dalam setiap analisis bahasa ada dua buah konsep yang perlu dipahami, yaitu struktur dan sistem. Struktur menyangkut masalah hubungan antara unsur-unsur di dalam satuan ujaran, misalnya antara fonem dengan fonem di dalam kata, antara kata dengan kata di dalam frase, atau juga antara frase dengan frase di dalam kalimat. Sedangkan sistem berkenaan dengan hubungan antara unsur-unsur bahasa pada satuan-satuan ujaran yang lain.
b. Pembelajaran Bahasa Inggris
Bahasa Inggris adalah bahasa asing yang dianggap penting diajarkan untuk tujuan penyerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni budaya serta pengembangan hubungan antar bangsa (Depdiknas, 2004 : 1).
Mata pelajaran Bahasa Inggris diajarkan di Sekolah Menengah Pertama dianggap perlu oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan dan didukung oleh adanya guru yang berkemampuan untuk mengajarkan mata pelajaran tersebut. Adapun pelaksanaan pengajaran Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran dapat mulai diajarkan pada kelas I SMP.
Mata pelajaran Bahasa Inggris berfungsi sebagai wahana pengembangan diri siswa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni budaya, sehingga pertumbuhan mereka tetap berkepribadian Indonesia. Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran Sekolah Menengah Pertama kelas I, II dan III. Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran yang mengembangkan ketrampilan berkomunikasi lisan dan tulisan untuk memahami dan mengungkapkan informasi, pikiran, perasaan serta mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya. (Depdiknas, 2004 : 1).
Tujuan belajar Bahasa Inggris :
a) Mata pelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Menengah Pertama bertujuan agar siswa memiliki ketrampilan menyimak, membaca, memberikan pendapat dan menulis secara baik.
b) Mata pelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Menengah Pertama diajarkan pengetahuan mengenai ragam bahasa dalam konteks sehingga para siswa dapat menafsirkan isi berbagai bentuk teks lisan maupun tertulis dan meresponnya dalam bentuk kegiatan yang beragam dan interaktif.
c) Alokasi waktu mata pelajaran Bahasa Inggris disediakan waktu 4 (empat) jam pelajaran setiap minggu (disesuaikan dengan ketentuan sekolah setempat).
d) Pola pembinaan mata pelajaran Bahasa inggris di Sekolah Menengah Pertama dikembangkan dengan menekankan keterpaduan dan keterkaitan (link and match) antara keluarga, sekolah, dan masyarakat dengan memperhatikan faktor bakat, minat dan kemampuan siswa.
e) Penilaian, tujuan penilaian adalah untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa dalam menguasai bahan pelajaran yang diberikan dalam kurun waktu tertentu.
Ada tiga cara dalam penilaian, yaitu test tertulis, test lisan, dan test perbuatan. Sedangkan jenis penilaian terbagi atas penilaian harian (tiap pokok bahasan), penilaian satuan bahasan (gabungan beberapa pokok bahasan), penilaian akhir semester dan penilaian akhir tahun. (Depdiknas 2004 : 3)
Belajar Bahasa Inggris di sekolah Dasar dan Menengah memenuhi dua tujuan. Pertama, siswa perlu menyiapkan diri agar bisa membaca buku teks dalam bahasa Inggris di tingkat perguruan tinggi. Kedua, kemampuan berbahasa Inggris masih digunakan sebagai faktor penentu guna mendapatkan pekerjaan dan imbalan menarik. Tetapi, meskipun anak sudah belajar Bahasa Inggris selama bertahun-tahun di sekolah, umumnya kompetensi dalam bahasa ini di kalangan lulusan sekolah menengah secara umum masih tergolong sangat rendah.
Kurikulum 2004 berkeinginan membangun siswa untuk mampu berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Siswa perlu memahami dan menggunakan Bahasa Inggris untuk mengembangkan rasa percaya diri dan memiliki kompetensi dalam berbahasa tersebut, sehingga dapat memenuhi tuntutan lingkungan sekolah, pekerjaan, dan pendidikan selanjutnya. Dengan kurikulum tersebut, hasil yang ingin dicapai ialah para siswa yang mampu menguasai Bahasa Inggris secara aktif serta memiliki wawasan yang luas. Ketidakmampuan sekolah mengajarkan bahasa asing, terutama Bahasa Inggris mendorong munculnya kursus – kursus bahasa. Mulai dari kursus yang dikelola perwakilan resmi negara asing seperti The British Council, Goethe Institut, Netherlands Education Centre (NEC), sampai kursus privat milik perseorangan. Sementara sekolah-sekolah secara de fakto masih mengacu pada pengajaran tata bahasa dan hafalan aturan bahasa, kursus-kursus justru menekankan ketrampilan berbicara yang mampu mengungkapkan pendapat dan pikirannya. Beberapa kursus tidak segan-segan mempromosikan program “lancar berbicara dalam tiga bulan” untuk menarik konsumen. Bahkan untuk mempercepat ketrampilan berbicara, beberapa kursus menyediakan guru penutur asli (native speaker). Pada kenyataannya, mayoritas kursus Bahasa Inggris ditujukan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dalam kehidupan sehari – hari, bukan untuk tujuan lain. Tidak untuk mengejar nilai atau prestasi tetapi untuk memenuhi kebutuhan pelipatgandaan intelegensi yang belum bisa dipenuhi di sekolah, oleh karena itu cara belajar eksperimental tidak sekadar duduk, dengar, catat, pasti ditekankan. Aktivitas di luar ruangan, seperti kemah, tinggal di rumah penduduk, mendengarkan kaset dan menonton film perlu diperkenalkan. “Belajar harus ada unsur menyenangkan, bukan paksaan, “tutur Gerda K. Wanei, Ketua Jurusan Bimbingan konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. (Kompas, 8 Juli 2004)
Bobot penilaian saat ujian pun amat berbeda dengan yang terjadi di sekolah. Di kursus, kemampuan membaca, mendengarkan, menulis dan berbicara mendapat bobot paling tinggi sementara gramatika dianggap sebagai penunjang. Pendekatan yang berbeda ini mampu melahirkan pembelajar bahasa yang fasih berbahasa asing. Proses pembelajaran bahasa asing mencakup dua hal yang seharusnya saling menunjang, yaitu ketepatan dan kelancaran (accurancy dan fluency). Pengajaran di sekolah formal terlalu menekankan ketepatan. Meskipun kurikulum Bahasa Inggris telah berganti beberapa kali, kenyatannya siswa tetap saja menghafalkan daftar panjang kata kerja beraturan dan tidak beraturan tanpa konteks dan rumusan sekian banyak tenses. Penekanan berlebihan pada ketepatan berbahasa ternyata bukan hanya penghambat kelancaran berkomunikasi tetapi juga mematikan rasa senang dan motivasi belajar.
Sebaliknya di jalur informal (kursus), kelancaran berkomunikasi dijadikan fokus. Secara ekstrem kursus yang menjajikan “lancar berbicara dalam tiga bulan” akan mengabaikan ketepatan aturan berbahasa (struktur bahasa, pelafalan, dan kosakata). Berbeda dengan kegiatan pembelajaran di sekolah formal, aktivitas belajar bahasa asing di kursus dibuat menarik dan menyenangkan. Ada banyak permainan dan kesempatan untuk menggunakan bahasa asing. Tetapi memang mustahil mengajar seseorang untuk bisa lancar berbahasa asing dalam waktu singkat.
2.2. Konsep Contextual Teaching and Learning
Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas berfokus pada guru sebagai sumber pengetahuan utama, kemudian ceramah sebagai pilihan utama strategi belajar. Maka perlu strategi baru yang lebih memberdayakan siswa, sebuah pendekatan pembelajaran yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta tetapi mendorong siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalami” apa yang yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dalam upaya pencapaiannya, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.
Pembelajaran konstektual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sesuai dengan mottonya yang berbunyi : Student Learn Best By Actively Constructing Their Own Understanding (CTL Academy Fellow, 1999).
CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama yaitu :
1. Konstruktivisme (Constructivism)
Constructivism merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyongkonyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Siswa dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu mengkonstruksikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dalam pandangan konstruktivis, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.
Untuk itu tugas guru adalah menfasilitasi proses tersebut dengan :
a. menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa
b. memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri
c. menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar
2. Menemukan (Inquiri)
Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya.
3. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Dalam kelas CTL guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang ahli ke kelas.
5. Pemodelan (Modeling)
Dalam sebuah pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Model itu berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melempar bola dalam olah raga, contoh : karya tulis, cara menghafal bahasa Inggris, dan sebagainya. Atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu. Dengan begitu, guru memberi model tentang bagaimana cara belajar. Model juga dapat didatangkan dari luar. Seorang penutur asli berbahasa Inggris sekali waktu dapat dihadirkan di kelas untuk menjadi model cara berujar, cara bertutur kata, gerak tubuh ketika berbicara, dan sebagainya.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Siswa mengendapkan dengan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Kunci dari semua itu adalah, bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa. Siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana menerapkan ide-ide baru.
7. Penilaian Yang Sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian authentic adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Kemacetan belajar siswa harus diketahui sejak awal dengan cara mengidentifikasi data.
3. Pembahasan
Sistem pengelolaan kurikulum 2004 menuntut kegiatan belajar mengajar yang memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diharapkan. Pemberdayaan ini diarahkan untuk mendorong individu belajar sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar. Model pembelajaran CTL yang dikaji dalam penelitian ini diduga merupakan model pembelajaran yang efektif. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Melalui strategi CTL, siswa diharapkan belajar melalui mengalami bukan menghafal. Sesuatu yang baru (pengetahuan dan ketrampilan) datang dari menemukan sendiri, bukan dari apa kata guru (Departemen Pendidikan Nasional, Pendekatan Kontekstual : 2).
“Students learn best by actively constructing their own understanding” (Cara belajar yang terbaik adalah siswa mengkonstruksikan sendiri secara aktif pemahamannya) (CTL Academy Fellow, 1999). Oleh karena itu, kelas tidak selalu berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar yang biasa dilaksanakan di kelas konvensional.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan pendekatan CTL guru mampu menyajikan ide-ide atau konsepkonsep yang sulit disampaikan secara lisan maupun tulisan agar lebih dimengerti oleh siswa.
Pendekatan kontekstual di kelas, pelaksanaannya diwujudkan dengan menerapkan berbagai strategi dan metode pembelajaran yang efektif, kontekstual dan bermakna. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan dan meningkatkan kompetensi, kreativitas, kemandirian, kerjasama, solidaritas, kepemimpinan, empati, toleransi dan kecakapan hidup siswa yang dapat membentuk watak serta meningkatkan peradaban dan martabat bangsa. Pada pembelajaran Bahasa Inggris pendekatan kontekstual mengajak siswa secara aktif, interaktif, dan komunikatif melalui berbagai alat bantu atau tugas yang dapat mendorong siswa untuk berlatih menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Sehingga pemahaman yang sempurna terhadap konsep pengajaran berhasil dengan baik. Dengan melatih siswa menjadi pembaca yang efisien melalui membaca cepat (speed reading) dan meningkatkan minat baca serta penguasaan kosakata melalui pendekatan self access learning yang mengarah pada kemandirian siswa sebagai pembelajar Bahasa Inggris (autonomous language learners) (Syamsudin, 2001). Selain itu pemanfaatan sarana atau buku-buku yang bervariasi, berwarna dan bergambar untuk menarik siswa agar memiliki minat baca yang tinggi terhadap pelajaran Bahasa Inggris.
Selama ini kita menyadari bahwa kelas-kelas kita tidak produktif. Sehari-hari kelas hanya diisi dengan ceramah, sementara siswa dipaksa menerima dan menghafal materi pelajaran yang diberikan. Dengan pendekatan kontekstual (CTL) yang mengutamakan strategi belajar daripada hasil, siswa diharapkan belajar melalui ‘mengalami’ dengan mengkonstruksi pengetahuan yang dimilikinya dan menerapkan pada situasi dunia nyata siswa, dapat mengubah anggapan kelas yang kurang produktif menjadi kelas yang aktif dengan pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning). Proses pembelajaran di kelas menjadi aktif dan kreatif, karena siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif di kelas, jadi siswa menjadi pusat kegiatan bukan guru. Kegiatan inquiry dan bertanya merupakan salah satu strategi dalam CTL untuk menggali sifat ingin tahu siswa. Selain itu keberadaan masyarakat belajar menjadi nilai plus dalam pembelajaran karena siswa tidak belajar sendiri tetapi saling bekerja sama (belajar dengan kelompok-kelompok) agar pengetahuan dan pemahaman lebih mendalam. Sehingga menimbulkan kegairahan belajar siswa karena adanya kebersamaan dalam memecahkan masalah, siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang lemah. Kemudian adanya pemodelan sebagai contoh pembelajaran dapat meningkatkan semangat siswa untuk mencoba meniru seperti apa yang telah dilihatnya, dengan demikian siswa tidak mengalami kesulitan dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Dalam pendekatan kontekstual refleksi merupakan peranan penting, yaitu siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Dengan begitu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru saja dipelajarinya. Yang terakhir, adanya authentic assessment untuk menilai kemampuan yang dimiliki siswa tidak hanya dari hasil ulangan tetapi dari kegiatan yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran di kelas. Guru yang ingin mengetahui perkembangan belajar Bahasa Inggris bagi para siswanya harus mengumpulkan data dari kegiatan nyata saat para siswa menggunakan Bahasa Inggris bukan pada saat para siswa mengerjakan tes Bahasa Inggris. Jadi siswa semakin tertarik dengan pembelajaran model CTL karena mereka memperoleh nilai tambahan dari kegiatan pembelajarannya di kelas yang dapat mempengaruhi nilai akhirnya.
Dengan demikian, hasil belajar siswa sebagai tolak ukur yang harus diuji kebenarannya. Untuk hal ini hasil belajar siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model pembelajaran CTL diperbandingkan dengan hasil belajar siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model pembelajaran konvensional.
4. Penutup
Guru wajib mengembangkan naluri anak dalam mempelajari hal-hal yang baru. Usaha tersebut perlu dilakukan sejak usia dini, mengingat pengertian yang terbentuk diharapkan akan mewarnai persepsi mereka di jenjang pendidikan yang berikutnya. Untuk keperluan teresebut guru dituntut untuk mengenal lebih dekat sisi kejiwaan anak, terutama taraf perkembangan intelegensinya. Siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model pembelajaran CTL hasil belajarnya berbeda dan lebih efektif daripada siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model pembelajaran konvensional.
Daftar Pustaka
Artsiyanti, Diba. 2002. Bagaimana meningkatkan Mutu Hasil Pelajaran Bahasa Inggris di Sekolah. http ://www. Artikel. us/Artsiyanti.html.
Budiardjo, Syukur. 2002. Metode Peningkatan Kemampuan Bahasa. Jakarta : Kompas Edisi 24-5-2002.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik. Jakarta : Rineka Cipta.
Darsono, Max, et al. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang : IKIP Semarang Press.Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta : Depdiknas.
Johnson, Elaine. 1996. Contextual Teaching and Learning. California : Corwin Press. Inc.
John. A. Glover, Roger H. 1987. Educational Psychology Principles and Application. Boston Toronto : Little, Brown and Company.
Margono, S. 1999. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nurlina, Nina. 2002. Perlukah Pengajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar. Pikiran Rakyat Cyber Media.Com
Poerwodarminto, Wjs. 1984. Kamus Besar Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : PN Balai Pustaka.
Rianto, Yatim. 1996. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya : SIC Surabaya.
Rosdijati, Nani. 2004. Contextual Teaching and Learning. Semarang : Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Jawa Tengah.
Russefendi & Sanusi, Achmad. 1994. Dasar – Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta lainnya. Semarang : IKIP Semarang Press.
Rusyam, A. Tabrani, et al. 1989. Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remadja Rosdakarya.
Sumardi, Mulianto. 1974. Pengajaran Bahasa Asing. Jakarta : Bulan Bintang.
Suminarsih. 2004. Contextual Teaching and Learning. Semarang : Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Jawa Tengah.
Tim Pengadaan MKDK IKIP Semarang. 1990. Psikologi Perkembangan. Semarang : IKIP Semarang Press.
Widodo, Wahono. 2003. Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual. Semarang : Depdiknas.