
Bekasi – Penyelerasan dunia pendidikan dengan dunia kerja merupakan salah satu arah kebijakan pembangunan pendidikan nasional. Dunia pendidikan seharusnya memberikan kontribusi pada dunia usaha, begitu juga sebaliknya dunia usaha harus mendorong dunia pendidikan. “Dunia pendidikan bisa menjadi lokomotif pembangunan ekonomi,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional Mansyur Ramli, saat membuka Seminar Nasional Penyelarasan Pendidikan Dengan Dunia Kerja, di Hotel Horison, Bekasi, Kamis (14/10).
Mansyur mengungkapkan, dari pengamatan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) Kementerian Tenaga Kerja, dunia industri belum mampu memetakan secara detail keahlian apa yang diperlukan dari dunia pendidikan. Indikasinya, ketika rekrutmen masih meminta jurusan yang bersifat tidak spesifik dari apa yang dibutuhkan dunia industri. “Dunia pendidikan mesti mampu membantu dunia industri untuk memetakan keahlian konkret yang dibutuhkan untuk meningkatkan dunia usaha dan industri,” kata Mansyur.
Salah satu penilaian yang terbaik dari Lemhanas mengenai penyelarasan dunia kerja dan industri adalah link and match. Dunia usaha sangat mengharapkan lahirnya sumber daya manusia yang berkualitas dari dunia pendidikan, tetapi dunia usaha tidak boleh melepaskan tanggung jawab investasi terhadap kualitas pendidikan. “Salah satu link and match yang bisa dilakukan saat ini misalnya dengan cooperative education, mahasiswa keluar untuk magang di dunia usaha/industri,” kata Mansyur.
Menurut Ketua Umum Kowani Dewi Motik Pramono, sumber daya manusia yang siap kerja harus memiliki seribu akal, tata krama, dan networking. Dan, sedini mungkin, setiap murid diajarkan untuk menjadi pemimpin, agar pengimplementasian teori ke lapangan akan lebih mudah. “Dari 10 anak, 1-2 orang di antaranya sudah menjadi teknologi addict. Itulah mengapa tata krama penting untuk ditanamkan, karena sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusianya,” kata Dewi Motik.
Wartanto, Direktur Pembinaan Kursus dan Kelembagaan Balitbang Kemdiknas, ada kesenjangan kompetensi yang dikarenakan tingginya angka lulusan SMP yang tidak lanjut, drop out SMA, dan lulusan SMA yang tidak lanjut ke perguruan tinggi. “Ada 1,7 juta siswa putus sekolah yang turut berpartisipasi pada besarnya jumlah pengangguran yang mencapai angka 8,5 juta jiwa,” kata Wartanto.
Wartanto menambahkan, sampai saat ini belum ada institusi yang menjembatani Peraturan Pemerintah Nomor 31/1996 tentang Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. Namun, konsep untuk penyelarasan telah diupayakan secara komprehensif untuk menyinkronkan analisa kebutuhan dan proyeksi kebutuhan ke depan terhadap kompetensi yang ada. Dan, kesulitan terbesar adalah mengubah mindset. (aline)
Sumber: http://www.kemdiknas.go.id/list_berita/2010/10/link-and-match.aspx