KELAS cerdas istimewa (CI) yang menampung anak-anak memiliki intelejensi di atas rata-rata bukan tanpa kendala. Tanpa sumber daya pengajar dan infrastruktur yang memadai program kelas CI hanya sia-sia hasilnya. Pasalnya, anak-anak yang memiliki kecerdasan istimewa memiliki perilaku yang berbeda dengan siswa yang ada di sekolah reguler. Siswa dengan kecerdasan istimewa, cenderung lebih agresif, kreatif, dan kritis dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas.
Penyelenggaraan sekolah CI baru dilaksanakan di SDN Ungaran 1 Jogja. Sebanyak 24 murid dengan kecerdasan istimewa ini setiap hari berinteraksi bersama dalam satu kelas. Memerlukan dua orang guru pembimbing untuk menyampaikan materi kepada para siswa tersebut.
Salah seorang guru CI SDN 1 Ungaran, Lestari mengatakan, awalnya kewalahan menghadapi para murid. Maklum, pada saat ditunjuk untuk menjadi guru bagi murid CI, dia belum mendapat pelatihan apapun dari sekolah maupun disdik.
”Ketika ditugasi belum ada persiapan apa-apa. Saya banyak belajar dari browsing di internet tentang bagaimana menangani siswa dengan kecerdasan istimewa. Barulah setelah CI berjalan, saya mendapatkan pelatihan,” kata Lestari kepada Radar Jogja.
Lestari menuturkan, dari pengalaman mengajar murid CI selama setahun, 90 persen siswa memiliki keaktifan luar biasa. Keaktifan tersebut berbeda dengan siswa dari kelas reguler.
Selain itu, siswa kelas CI cukup kritis mengikuti pelajaran. Siswa lebih senang sistem belajar yang lebih mengedepankan praktik dan eksperimen daripada hanya mendengarkan teori. Mereka senang mengerjakan soal-soal yang memiliki kesulitan tinggi.
Seperti pada bidang matematikan, murid sudah meminta pelajaran perkalian dan pembagian dengan dua bilangan. Padahal, materi tersebut diberikan untuk siswa kelas dua ke atas.
”Materi ajar yang diberikan pun tidak mau diulang, karena mereka akan protes bila materi yang telah diajarkan diulang kembali,” kata Lestari.
Dia mengatakan, kendala yang dihadapi sekolah dalam mengajar siswa CI adalah belum tersedinya sarana yang memadai untuk memfasilitasi kreatifitas siswa. Saat ini, sekolah masih terbatas adanya media pembelajaran. Padahal, keberadaan media pembelajaran dapat dimanfaatkan di saat murid memiliki waktu luang setelah mempelajari pokok bahasan tertentu.
”Siswa selalu ingin melakukan sesuatu setelah belajar usai, untuk mengarahkannya baru sekadar kegiatan menggambar dan menulis puisi ataupun cerita,” katanya.
Menurut Lestari, anak-anak dengan kecerdasan tinggi menghabiskan materi belajar lebih cepat dari siswa lain. Oleh karenanya harus dikelola dengan baik dan bijaksana karena mereka kelak bisa menjadi aset-aset bangsa.
Dari segi usia, kelas CI justru didominasi oleh anak-anak yang secara usia belum layak untuk bersekolah di SD. Hampir sebagian besar anak CI, saat masuk sekolah memiliki usia di bawah 6 tahun. Dari catatan yang ada di SD Ungaran, usia termuda CI di sekolah tersebut 5,7 tahun dan tertua tujuh tahun. Ini berbeda dengan SD reguler, termuda berusia 6 tahun 11 bulan.
”Sebagai pembuat kebijakan, kami berharap dinas memberikan perhatian khusus terhadap siswa kelas CI. Terutama dalam menyediakan alat-alat edukasi bagi siswa,” jelas Lestari. (bhn/iwa)
http://radarjogja.co.id/berita/utama/29804-diperlukan-pengajar-yang-memadai.html