BAB DEFINISI
01. Istilah ”kemiskinan” berkonotasi pendapatan yang rendah, tetapi kemiskinan sebagai isu politik (misalnya) berpusat pada perilaku lebih dari masalah ekonomi. Istilah kemiskinan itu berkenaan dengan orang-orang yang tidak hanya pendapatan rendah tetapi gagal untuk fungsi secara sosial dalam cara-cara yang diharapkan. Yaitu, mereka putus sekolah, mengganggu hukum, atau hidup dalam sejahtera tanpa pekerjaan, walaupun dapat bekerja (Mead, 1996:2).
02. Kemiskinan, dalam pengertian istilah yang lebih luas, adalah bentuk kekurangan dalam bidang ekonomi, sosial, dan pasikologis yang terjadi diantara penduduk yang kurang kepemilikan secara memadai, pengawasan atau akses terhadap sumber-sumber untuk mempertahankan atau memberikan tingkat penghidupan individual atau kolektif (Hye, 1996). Dengan kata lain, Kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memberikan nutrisi minimum, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, keamanan, liburan, dan aspek-aspek kehidupan yang lain. (Husain, 1998:76)
03. Poverty may be defined as a lack of freedom to meet one’s basic needs. Hunger, lack of shelter and clothing, disease, and vulnerability (Freece & Singh, 2003:1).
04. Husain (1998:76) mengatakan bahwa definisi yang lebih sempit tentang kemiskinan adalah diukur dengan persentase penduduk yang memiliki pendapatan di bawah pengeluaran yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
05. Bertahun-tahun, teori yang paling menonjol dan kontroversial tentang budaya dan kemiskinan adalah “Budaya Kemiskinan” Lewis (1969). Lewis berargumentasi bahwa budaya ini muncul ketika penduduk yang dimarginalkan secara sosial dan ekonomi dari masyarakat kapitalis yang mengembangkan pola-pola berilaku berkenaan dengan status mereka yang rendah. Tingkah laku ini dikarakteristiki oleh aspirasi yang rendah, apatis politik, keadaan tidak berdaya, disorganisasi, picik, dan penghinaan dari apa yang disebut kelas-menengah (Lewis, 1969:190-192). Sekali budaya ini melekat, Lewis berargumentasi, hal itu mengembangkan mekanisme yang cenderung mengekalkannya, walaupun kondisi budaya berubah. (Lamont, 2006: 4).
06. Seseorang itu miskin dalam suatu peiode mana pun jika, dan hanya jika, aksesnya terhadap sumber-sumber ekonomi tidak memadai … (untuk) memperoleh komoditas-komoditas yang cukup guna memenuhi kebutuhan material dasarnya secara memadai (Lipton, 1997:127) dalam Shaffer, (2008: 195).
07. (Professor Muhammad Yunus is the Managing Director of Grameen Bank.) First thing to remember is that poverty is not created by the poor people. It is created by the institutions and the policy environment created by the designers and managers of those institutions. There is nothing wrong with poor people. They can get out of poverty by themselves. All they need are opportunities. That’s what State must provide. They need opportunities for earning income. That’s all.
http://www.sdnbd.org/sdi/issues/IT-computer/prsp-yunus.htm
08. Kemiskinan merupakan suatu fenomena sosial tidak hanya memiliki dimensi ekonomi tetapi berdimensi banyak termasuk dimensi psikologis, struktural, politis, dan lain sebagainya. Hal tersebut bukan hanya menunjukkan penghasilan yang rendah, kekurangan pangan, kondisi kesehatan yang buruk, dan lingkungan yang kumuh, tetapi juga ketidakberdayaan dan ketergantungan pada pihak lain (Awan Setya Dewanta, 1995:67).
09. Kemiskinan memiliki variasi manifestasi mencakup kekurangan pendapatan, sumberdaya produktif untuk menjamin kehidupan yang layak dan langgeng, kelaparan dan gizi kurang, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan layanan dasar, morbiditas dan mortalitas karena penyakit meningkat, perumahan yang tidak layak bahkan tidak memiliki rumah, lingkungan tidak aman, diskriminasi dan eksklusi sosial (Sudiman, 2008:3).
10. Sen (Krogstrup, 2000:4) mendefinisikan kemiskinan sebagai kehilangan kapabilitas, di mana kapabilitas mengarah pada kombinasi fungsi-fungsi alternatif dari mana seseorang dapat memilih. Menurut Sen bahwa pendapatan itu sangat penting dalam pengentasan kemiskinan – tetapi hanyalah secara instrumental. Pendapatan adalah salah satu alat bagi kapabilitas, yang pada gilirannya memiliki manfaat intrinsik.
11. Biasanya, garis kemiskinan didefinisikan dalam istilah-istilah pendapatan atau konsumsi per kapita, dan mereka yang berada di bawah garis ini diklasifikasikan sebagai penduduk miskin (Krogstrup, 2000:3).
12. BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. [Jurnal Ekonomi Rakyat – Maret 2005] Gregorius Sahdan
13. Menurut Robert L. Buntin bahwa kemiskinan kultural merupakan suatu istilah yang dibikin untuk menggambarkan kondisi finansial yang diduga disebabkan oleh status kepercayaan-kepercayaan kultural dan bahwa suatu kultural kelompok berkontribusi pada kondisi finansial mereka.
Salah satu masalah utama bahwa banyak kemiskinan merupakan suatu kondisi tekanan pemerintah atau faktor-faktor eksternal sehingga tidak memiliki sesuatu untuk dilakukan dengan kultural.
14. From the point of view of sustainable development, poverty reduction is the central concern of the economic element, but must be understood in relation to the other three elements: social, environmental and cultural. In other words, economic considerations, while key to sustainable development, are a contributing factor rather than an overarching goal.
15. Kemiskinan absolut – mereka yang tidak punya apa-apa, orang yang hidupnya senantiasa di tengah bahaya berupa kekurangan sumber daya pokok untuk bertahan hidup (Jeremy Seabrook, 2006:31).
16. Kemiskinan relatif – kita membandingkan diri kita dengan orang sekitar kita, khususnya orang yang lebih beruntung ketimbang kita (Jeremy Seabrook, 2006:43).
17. Kemiskinan itu sendiri dapat didefinisikan ulang sebagai suatu keadaan ketidakberdayaan. Kemudian pemberdayaan itu didiskusikan dalam istilah-istilah akses rumah tangga pada basis-basis kekuasaan sosial, dan implikasi-implikasi interpretasi ulang ini ditelusuri untuk pembangunan alternatif dan peranan pemerintah (Friedmann, 1992:54).
18. Friedmann (1992: 89) sebagai berikut:Powerty line (garis kemiskinan). Yaitu tingkat konsumsi rumah tangga minimum yang dapat diterima secara sosial. Ia biasanya dihitung berdasarkan income yang dua pertiganya digunakan untuk “keranjang pangan” yang dihitung oleh ahli statistik kesejahteraan sebagai persediaan kalori dan protein utama yang paling murah.
19. Kemiskinan struktural: (a) ciri utama kemiskinan struktural ialah tidak terjadinya—kalaupun terjadi sifatnya lamban sekali—apa yang disebut sebagai mobilitas sosial vertikal. Mereka yang miskin akan tetap hidup dengan kemiskinannya (Bappeko Surabaya, 2006:16). (b) Ciri lain kemiskinan struktural adalah timbulnya ketergantungan yang kuat pihak si miskin terhadap kelas sosial-ekonomi di atasnya (Bappeko Surabaya, 2006:17).
20. Ada tiga ciri yang menonjol dari kemiskinan di Indonesia. Pertama, banyak rumah tangga yang berada di sekitar garis kemiskinan nasional, yang setara dengan PPP AS$1,55-per hari, sehingga banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak miskin tetapi rentan terhadap kemiskinan. Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan, sehingga tidak menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong «miskin dari segi pendapatan» dapat dikategorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia. Ketiga, mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia (World Bank, 2006:xi).
BAB DIMENSI
21. Poverty is a multidimensional phenomenon. It is not only about lack of income, but it is also about human deprivations in areas of health, education, participation and security. (Jahan, Selim & Robert McCleery, 2005:3).
22. Poverty is a multi-dimensional concept covering human, social, economic and psychological aspects (Husain, 1998:76).
23. Poverty, in a broader sense of the term, is the form of economic, social, and psychological deprivation occurring among people lacking sufficient ownership, control or access to resources to maintain or provide individual, or collective minimum levels of living (Hye, 1996). In other words, it is the inability to provide minimum nutrition, health, education, shelter, security, leisure, and other aspects of life. Poverty with its narrower definition is measured by the percentage of population having income below the minimum expenditure required for meeting the basic needs (Husain, 1998:76).
24. Poverty has many dimensions. In addition to low income (living on less than $1 a day), illiteracy, ill health, gender inequality, and environmental degradation are all aspects of being poor. This is reflected in the Millennium Development Goals (WDR 2004: 2).
25. Aspek-aspek kemiskinan menurut John Friedman (Bappeko, 2006:22): Aspek primer: asets, organisasi sosial, politik. Aspek sekunder: jaringan sosial, keuangan, informasi.
26. Kemiskinan bukan hanya mencakup dimensi pendapatan, tetapi juga keamanan dan kerentanan identitas dan integrasi, juga budaya (Ambler, 1999:26).
27. Kemiskinan ada dua, yakni kemiskinan pendapatan (income poverty) dan kemiskinan non-pendapatan. Kemiskinan pendapatan (income poverty) dapat didefinisikan sebagai akses yang tidak cukup pada sumber-sumber dan akibatnya pemenuhan kebutuhan material dasar tidak memadai. Kemiskinan non-pendapatan ditunjukkan dengan indikator-indikator seperti melek hurup, mortalitas, harapan hidup dan antropometrik (Krogstrup, 2000:3).
28. Pada keseluruhannya, kemiskinan pendapatan dan non-pendapatan mencakup dimensi-dimensi ganda kemiskinan. Jelasnya, ada banyak hubungan antara dimensi-dimensi kemiskinan yang berbeda. Dikenali secara luas – dan terbukti secara empiris – bahwa pendapatan dan aspek-aspek pembangunan (seperti pendidikan dan kesehatan) sangat berhubungan secara kausalitas (Krogstrup, 2000:4).
BAB GARIS KEMISKINAN
29. Pada dasarnya, tolok ukur kemiskinan adalah pendapatan untuk memenuhi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) berupa makan, sandang, rumah, kesehatan, pendidikan, tranportasi dan lain-lain. Siapa yang maksimal hanya mampu memenuhi KHM digolongkan orang miskin dan sebaliknya
30. Indonesia menggunakan tolok ukur kemiskinan dengan Upah Minimum Regional (UMR). Bulan Juli 2000 UMR di Jakarta naik dari Rp. 286.000,- menjadi Rp. 344.287,- per Kepala Keluarga per bulan atau Rp. 2.650,-per kapita per hari (l KK= 4,3 jiwa). Apalah artinya pendapatan Rp. 2.650,- /orang/hari untuk hidup di Jakarta. Jelas tidak akan mencukupi.
31. Bank Dunia yang menggunakan pendapatan $ 2 /orang/hari dan berbeda pula dengan data jumlah penduduk dari data Pemerintah Daerah.
32. BPS menggunakan kalori sebagai tolok ukur kemiskinan sebesar 2.100/kapita/hari. Sedang Bank Dunia menggunakan kalori sebagai tolok ukur kemiskinan sebesar 2.200/orang/hari.
33. Garis kemiskinan membedakan golongan orang kaya dan kelompok orang miskin dengan tolok ukur pendapatan per kapita per hari atau jumlah kalori yang dikonsumsi setiap orang perharinya. Tepat pada garis kemiskinan itu sendiri, si kaya dan si miskin tidak dapat dibedakan. Tetapi apabila makin menjauhi garis kemiskinan, jurang perbedaan si kaya dan si miskin makin lebar.
34. Seiring dengan perubahan harga kebutuhan hidup sehari-hari dan perubahan tingkat hidup masyarakat, maka garis kemiskinan juga ikut berubah dan cenderung terus meningkat. Garis kemiskinan juga berbeda antara kota dan desa, desa dengan desa lain, negara dan negara, tergantung dari tolak ukur yang digunakan.
BAB ANGKA KEMISKINAN
35. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka penduduk miskin yang telah berhasil ditekan hingga mencapai 11,34 persen jumlah penduduk pada akhir tahun 1996, dengan adanya krisis ekonomi pada tahun 1997, melonjak kembali mencapai 24,23 persen pada tahun 1998. Selanjutnya, sejalan dengan upaya-upaya pemerintah untuk meredam dampak krisis, angka kemiskinan dapat terus ditekan hingga mencapai sebesar 18,95 persen dari jumlah penduduk pada akhir tahun 2000.
36. Semua pihak memahami bahwa kemiskinan bersifat multidimensional. Ia tidak hanya disebabkan masalah ekonomi semata, tetapi juga terkait dengan kemunduran di bidang politik, kebudayaan, dan keamanan
37. Ada dua macam kemiskinan yang kita kenal yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut ini memang merupakan masyarakat yang benar-benar miskin sehingga upaya pengentasannya pun akan lebih banyak tergantung pada upaya pemerintah melalui kebijakan sektoral dan fiskal. Sementara itu, kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang masih memiliki potensi untuk produktif sehingga bisa dirangsang melalui dunia usaha, baik melalui kebijakan kredit maupun bantuan teknis sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatannya.
38. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, sebelum ada kenaikan harga BBM, angka kemiskinan di Jatim menunjukkan tren penurunan, dari 20,73% pada tahun 2001 menjadi 20,34% (7.181.755 jiwa) tahun 2002. Penurunan juga terjadi pada tahun 2003 menjadi 19,52% (7.064.289 jiwa), dan terus menurun pada tahun 2004 menjadi 6.979.565 jiwa (19,10%) dari total penduduk Jatim 36.398.345 jiwa (berdasarkan Susenas 2004).
39. Namun, kenyataan ini berbalik pada tahun 2005 yang cenderung mengalami peningkatan setelah harga BBM naik. Pendataan BPS Jatim tahun 2005, jumlah keluarga miskin mencapai 2.728.629 KK, termasuk keluarga miskin penganggur sebesar 320.623 KK. Jika diasumsikan tiap KK keluarga miskin anggotanya empat orang, jumlah penduduk miskin Jatim tahun 2005 mencapai 10.914.516 jiwa. (Sinar Harapan, Rabu, 11 Januari 2006).
40. Banyak penduduk Indonesia rentan terhadap kemiskinan. Angka kemiskinan nasional «menyembunyikan» sejumlah besar penduduk yang hidup sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional. Hampir 42 persen dari seluruh rakyat Indonesia hidup di antara garis kemiskinan AS$1- dan AS$2-per hari-suatu aspek kemiskinan yang luar biasa dan menentukan di Indonesia (World Bank. 2006:xi).
BAB SEBAB KEMISKINAN
41. Chambers – setelah melakukan penelitian di kalangan orang miskin di beberapa negara Asia dan Afrika – menyimpulkan bahwa inti dari masalah kemiskinan terletak pada apa yang disebut sebagai deprivation trap atau jebakan kekurangan (Chambers, 1983:111). Selanjutnya, Chambers mengatakan bahwa deprivation trap itu terdiri dari lima katidakberuntungan yang melilit kehidupan keluarga miskin. Kelima ketidakberuntungan itu adalah: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Lima ketidakberuntungan itu saling berkait satu sama lain sehingga merupakan deprivation trap. Dari lima jenis ketidakberuntungan ini, Chambers menganjurkan agar dua jenis ketidakberuntungan yang dihadapi keluarga miskin diperhatikan, yakni: (1) kerentanan, dan (2) ketidakberdayaan. Hal ini disebabkan karena dua jenis ketidakberuntungan itu sering menjadi sebab keluarga miskina menjadi lebih miskin (Dewanta, dkk., 1995: 19).
42. Kemiskinan merupakan hasil proses ekonomi, politik, dan sosial yang berinteraksi satu sama lain dan seringkali memperkuat satu sama lain dalam cara-cara yang memperburuk kerugian di mana penduduk miskin itu hidup (World Bank, 2001:1).
43. ‘Powerlessness’ is a form of poverty and a major cause of poverty (Eberlei, 2007:12).
44. Ada banyak sebab terjadinya kemiskinan. Diantaranya adalah gagalnya pertanian, kurangnya tanah atau kepemilikan aset, pengangguran, tingkat pendapatan yang rendah, ukuran keluarga yang besar (Dawra, 2005:12)
45. Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.[i] (Gregorius Sahdan – Jurnal Ekonomi Rakyat, – Maret 2005).
46. Selanjutnya aspek-aspek lain seperti sosial, ekonomi, psikologi dan politik juga menjadi faktor-faktor penyebab kemiskinan. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Akibat ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa teresolir. Sedangkan dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambilan keputusan.
47. (Robert L. Buntin) We label it as a condition of their culture, when most often it is because of local government failure in providing an infrastructure or system whereby economic growth is encouraged or even possible. One major problem is that many times poverty is a condition of oppression in government or external factors that have nothing to do with culture.
Kamiskinan itu karena kondisi budaya mereka, ketika paling sering karena pemerintah lokal gagal dalam memperbaiki infrastuktur atau sistem dengan jalan mana pertumbuhan ekonomi didorong dan bahkan mungkin. Satu masalah utama adalah bahwa lama sekali kemiskinan itu merupakan suatu kondisi tertekan dalam faktor-faktor eksternal dan pemerintahan sehingga tidak memiliki sesuatu untuk dilakukan dengan budaya.
48. (Katherine J. Scott) “One of the most disturbing trends is that government taxes and transfers are no longer stemming the inequality of income between rich and poor households.”
49. Bagaimanapun kemiskinan tidak dapat dengan mudah dipisahkan dari keadilan sosial (Jeremy Seabrook, 2006:11).
50. Orang yang tertimpa kemiskinan bukanlah kelompok statis. Mereka terpuruk dalam kemiskinan dia bangkit lagi, tidak hanya dalam semusim, melainkan juga dengan berubahnya waktu kehidupan (Jeremy Seabrook, 2006:41-42).
51. Mereka mungkin menjadi korban lingkungan eksternal, perang, banjir, kekeringan, tetapi hal itu berbeda dengan perbudakan dalam pasar global yang dikendalikan dari mana-mana (Jeremy Seabrook, 2006:61).
52. Eksistensi kemiskinan di masyarakat, sebenarnya, sama dengan eksistensi pilek. Walaupun orang-orang ikutserta dalam tingkah laku yang meningkatkan atau menurunkan resiko pilek mereka, ini naif untuk percaya bahwa tidak seorangpun akan kena pilek jika melakukan sesuatu yang benar. Sama benarnya dengan kemiskinan. Orang-orang bisa jadi berperilaku yang meningkatkan atau menurunkan resiko mereka menjadi miskin atau lama waktu mereka menjadi miskin, tetapi ini bodoh untuk percaya bahwa kemiskinan adalah semata-mata kesalahan masyarakat miskin itu sendiri (Sandefur, 1998:2).
53. Mengeritik program-program pemerintah yang membantu orang miskin karena program-program itu tidak menghilangkan maslaah seperti mengeritik obat (aspirin) karena tidak menghilangkan penyakit kepala (Sandefur, 1998:1).
54. Individu-individu memiliki resiko (sebab) kemiskinan yang berbeda dalam beberapa kondisi kehidupan mereka. Beberapa faktor resiko utama adalah pendidikan yang terlalu sedikit (rendah), ketrampilan yang sedikit, dan untuk wanita adalah orangtua tunggal. Kedua, sebagian besar orang-orang menjadi miskin dalam priode waktu yang pendek karena pekerjaan yang hilang atau perubahan-perubahan dalam situasi keluarga mereka, sementara mereka yang lain menjadi miskin dalam priode waktu yang lama. Situasi yang terakhir terjadi umumnya karena beberapa keluarga atau kepala keluarga memiliki karakteristik yang membuatnya sulit bagi kepala keluarga itu untuk memperoleh uang yang cukup dalam pasar tenaga kerja (labor market) untuk mendukung pendapatan keluarga di atas garis kemiskinan. Sebenarnya, sebagian mereka tidak mampu bekerja karena masalah fisik dan emosional. Dalam beberapa hal karena perilaku masa lalu mereka, seperti penyalahgunaan obat-obatan atau alkohol, telah menghasilkan berbagai masalah pada mereka (Sandefur, 1988:29-30).
55. Para pembaru sosial berargumentasi bahwa penduduk miskin bukan diri mereka sendiri untuk disalahkan karena kondisi mereka, yang seharusnya adalah dipandang sebagai hasil lingkungan yang tidak menguntungkan. Sementara para pembaru yang lain memperhatikan isu-isu pekerjaan dan lapangan kerja. Mereka mengatakan bahwa penduduk miskin menjadi miskin karena tidak cukupnya jenis pekerjaan yang tepat (Friedman, 1992: 56).
56. Titik awal model pemberdayaan kemiskinan adalah suatu asumsi bahwa rumah tangga miskin kekurangan kekuasaan sosial untuk memperbaiki kondisi kehidupan para anggotanya (Friedman, 1992: 66).
57. Kemiskinan kita akibat ketamakan para elite politik yang tidak malu-malu menyalahgunakan wewenang. Kita miskin karena dirongrong praktik KKN (Tajuk Rencana Kompas , 13/7/2004).
58. Pasar, sebagai alat pengendali adalah sesuatu yang berjalan tidak teratur, mampu menimbulkan penderitaan dan secara moral sering tidak dapat dipertahankan dalam pemerataan pendapatan (Anwarm, 1983:76).
59. Mereka nrimo. Sikap menerima ini bukan pertanda dari kelemahan watak. Sebaliknya, ia adalah satu jawaban yang sangat rasional. Mengetahui keperkasaan pengaruh keseimbangan kemiskinan di mana mereka hidup, maka penyesuaian diri adalah pilihan terbaik. Kemiskinan itu kejam. Usaha yang terus-menerus untuk keluar, dan terus-menerus gagal, adalah lebih kejam lagi (Anwar, 1983:46).
BAB DAMPAK
60. Rusaknya lingkungan berasal dari kemiskinan telah mencemari perdebatan sekitar pertumbuhan penduduk di Dunia Ketiga terdahulu (McMichael, 1996:230).
61. Kita semua berpikir kemiskinan menunjukkan sebagai salah satu ancaman terbesar terhadap stabilitas dunia.
Mr Koïchiro Matsuura, Director-General of UNESCO on International Day for the Eradication of Poverty – 17 October 2004
62. Gregorius Sahdan (dalam Jurnal Ekonomi Rakyat dan Kemiskinan – Maret 2005) mengetengahkan kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.
63. Sindrom yang menempel pada penerima bantuan adalah kapan bantuan serupa tiba, berapa jumlahnya. Hal ini disebabkan mindset penerima bantuan tidak terfokus pada potensi diri, tetapi lebih terarah kepada uluran tangan agen-agen pembangunan. Membantu orang tidak berdaya secara berkelanjutan identik dengan merusak mentalitas dan cara memahami hidupnya. Dengan demikian, apakah kriteria bagi orang miskin Indonesia itu (standar BPS atau BKKBN), yang dioperasionalisasikan di era Orde Baru, masih relevan saat ini?
John Haba, Sindrom Ketergantungan
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0510/04/opini/2103478.htm
BAB PROGRAM
64. Eliminating poverty is more than raising wages and incomes. It also requires changing beliefs and local institutions—both formal and informal–that retard development or restrict it from benefiting the poor. One approach that addresses these shortfalls is the community empowerment process (Reid, 2002:4).
Reid, J. Norman. 2002. Poverty, Race and Community in Rural Places: The Empowerment Approach. Prepared for presentation at the 2002 International Community Development Society Conference, Cleveland, Mississippi, July 23.
65. Ambler (1999:10) mengatakan bahwa keputusan-keputusan yang dibuat oleh masyarakat dan rumah tangga menghasilkan pemecahan yang berkelanjutan. Mengembangkan pembuatan keputusan yang berbasis masyarakat dan dialog yang transparan tidak dapat terjadi tanpa kemauan politik dari tingkatan yang lebih tinggi. Pemerintah perlu membantu mengkatalisasi rumusan organisasi penduduk melalui hak-hak yang meningkat dan membangun organisasi-organisasi lokal.
66. Mengembangkan lembaga-lembaga berbasis masyarakat yang efektif untuk pengelolaan sumber-sumber kolektif merupakan suatu faktor kunci dalam menentukan keberhasilan usaha-usaha yang dirancang untuk membantu penduduk miskin (Ambler, 1999:8).
67. Mengimplementasikan kebijak yang memihak kaum miskin dan lingkungan memerlukan pergeseran konseptual dan operasional, juga kebijakan-kebijakan spesisik yang baik (Ambler, 1999:9).
68. Pergeseran konseptual meliputi: (1) memberdayakan penduduk miskin untuk mengidentifikasi masalah-masalah mereka dan mencari pemecahan mereka sendiri – tidak mengasumsikan penduduk miskin adalah masalah, (2) menyertakan penduduk miskin sebagai mitra, bukan sebagai penerima warisan, dan menggunakan kerangka yang berpusat pada masyarakat untuk perencanaan dan implementasi, (3) menciptakan insentif untuk penduduk miskin juga untuk wirausahawan sektor swasta untuk memobilisir sumber-sumber untuk pengentasan kemiskinan, dan meninggalkan dari benar-benar mendesak penduduk miskin untuk memobilisir sumber-sumber mereka atau menyediakan semua sumber dari negara, dan (4) melihat nilai pemberian pada penduduk miskin hak-hak yang sebenarnya dan kepemilikan aset, bukan hanya rasa memiliki (Ambler, 1999:9).
69. Berkaitan dengan pendekatan kemitraan, pemerintah perlu bergeser ke arah pendekatan yang lebih pluralistik pada pembuatan keputusan. Pendekatan yang demikian dapat mengakomodasikan minat-minat yang berbeda dan konflik potensial, dan tidak perlu konsensus total sebelum bisa memajukan persoalan itu (Ambler, 1999:9).
70. Apabila keadilan juga merupakan bagian pemecahan yang diinginkan, pemerintah juga perlu mementingkan perhatian pada kebutuhan penduduk miskin apabila tidak semua minat dapat diakomodasikan secara dil (Ambler, 1999:10).
71. Pindah pada perencanaan yang didesentralisasikan mempermudah partisipasi dan memaksimalkan mobilisasi sumber. Pada gilirannya, hal ini meyakinkan bahwa layanan itu akan lebih relevan pada kebutuhan masyarakat dan rumah tangga. Desentralisasi yang menegaskan perencanaan lokal tentang tindakan, menempatkan akuntabilitas dan tanggung jawab pada tingkat yang cocok, dan memungkinkan tindakan yang cepat mengikuti pengawasan dan pemecahan masalah (Ambler, 1999:10).
72. Ada tiga cara dalam strategi penyerangan kemiskinan, yaitu: meningkatkan kesempatan, mempermudah pemberdayaan, dan meningkatkan keamanan (Worl Development Report 2000/2001:6).
73. Akses pada kesempatan pasar dan pada layanan sektor publik seringkali sangat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga negara dan sosial yang harus responsif dan bertanggung jawab pada penduduk miskin (World Development Report 2000/2001: 7).
74. Mencapai akses, tanggung jawab, dan akuntabilitas secara intrinsik bersifat politis dan memerlukan kerjasama aktif antara penduduk miskin, kelas menengah, dan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat. Kerjasama aktif dapat sangat dipermudah oleh perubahan-perubahan dalam pemerintahan yang membuat adiministrasi publik, institusi-institusi resmi, dan pemberian layanan publik yang lebih efisien dan dapat dipertanggungjawabkan pada semua warga negara – dan dengan memperkuat partisipasi penduduk kmiskin dalam proses politik dan pembuatan keputusan
75. Program-program kredit mikro telah dilakukan di berbagai negara berkembang beberapa tahun lamanya, dan keefektipannya dalam pembangunan dan pengentasan kemiskinan meningkat (Krogstrup, 2000:19).
76. Idealnya kredit mikro merupakan lapangan belajar, di mana penduduk miskin belajar bagaimana berpartisipasi dan mempengaruhi kehidupan mereka sendiri. Kredit mikro adalah cara memberdayakan penduduk miskin, seperti halnya desentralisasi, sekalipun pada skala yang lebih kecil dan latar organisasi yang berbeda (Krogstrup, 2000:19).
77. Partisipasi publik menciptakan kesempatan bagi penduduk miskin untuk menyatakan kebutuhan mereka pada pembuat keputusan, membuat implementasi, misalnya kebijakan yang berpihak pada penduduk miskin lebih efektif (Echeverri-Gent dalam Krogstrup, 2000: 7).
78. Penduduk miskin harus ambil bagian dalam penentuan kebutuhan mereka sendiri daripada hanya negara yang memecahkan masalah-masalah mereka (Friedmann, 1992:66).
79. Penduduk yang hidup di atau di bawah “garis” ini (kemiskinan absolut) mungkin tidak bisa keluar sendiri dari kemiskinan. Namun demikian, model itu (kemiskinan absolut) memperbolehkan setiap rumah tangga untuk membuat keputusannya sendiri mengenai bagaimana menggunakan sumber-sumbernya untuk memperoleh akses yang lebih besar terhadap beberapa basis kekuasaan sosial (Friedmann, 1992:69).
80. Kekuasaan sosial (social power) adalah kekuasaan yang terkait dengan masyarakat madani. Ini dibatasi dengan bentuk-bentuk kontras negara, ekonomi, dan kekuasaan politik (Friedmann, 1992:67).
81. “My government has adopted a comprehensive approach in the battle against poverty, composed of a market environment to create jobs, strong institutions of governance, social safety nets, and agricultural modernization founded on social equity,” she said. Education,” she added, “is key to all these components of the war against poverty.”
82. Laporan Pembangunan Bank Dunia 1990 mengeluarkan sebuah strategi ganda pengurangan kemiskinan. Bagian pertama meliputi “penggalakan pertumbuhan berbasis ekspor yang menggunakan secara efisien aset masyarakat miskin yang paling berlimpah: tenaga kerjanya.” Bagian kedua menyangkut “penyediaan akses pelayanan sosial dasar bagi masyarakat miskin”, termasuk kesehatan dan pendidikan. Bank Dunia telah memberi tambahan kepada strategi ganda tersebut dengan program yang ketiga, suatu rekomendasi bahwa jaring pengaman dan penetapan ukuran ganti rugi akan melindungi anggota masyarakat yang paling rentan dan mudah terserang kemiskinan (WDR 2000/2001:12).
83. …program-program pengurangan kemiskinan yang diorientasikan pada hasil dan digerakkan oleh negara (pemerintah), dikembangkan dengan keterlibatan efektif masyarakat madani dan agen-agen sektor swasta (World Development Report, 2000/2001:12).
84. Kemiskinan lebih dari pendapatan dan pembangunan manusia yang tidak memadai – kemiskinan juga adalah mudahnya kena serangan dan kurangnya suara, kekuasaan, dan representasi. Dengan pandangan kemiskinan yang multidimensional ini muncullah kompleksitas yang lebih besar dalam strategi pengurangan kemiskinan, karena banyak faktor – seperti kekuatan-kekuataan sosial dan kultural perlu dipertimbangkan. Cara menghadapi kompleksitas ini melalui pemberdayaan dan partisipasi lokal, nasional, dan internasional (World Development Report, 2000/2001:12).
85. Poverty is a multidimensional phenomenon. It is not only about lack of income, but it is lso about human deprivations in areas of health, education, participation and security (Jahan & McCleery, 2005: 3).
86. Pemerintah nasional harus dapat bertanggung jawab sepenuhnya pada warga negaranya untuk mencapai tujuan pembangunan. Mekanisme partisipasi dapat memberikan suara pada perempuan dan laki-laki, khususnya mereka dari kaum miskin dan bagian-bagian masyarakat yang tersisihkan. Rancangan agensi dan jasa yang disentralisasikan perlu untuk merefleksi kondisi lokal, struktur sosial, dan norma-norma serta warisan budaya (World Development Report, 2000-2001:12).
87. Untuk menciptakan perubahan kita harus mengubah secara individual untuk memungkinkan kita menjadi rekanan dalam memecahkan isu-isu kompleks yang sedang kita hadapi. Dalam kerjasama berdasarkan saling menghargai, perspektif yang beragam, dan visi yang berkembang, orang-orang bekerja ke arah pemecahan kreatif dan realistis. Sintesis perubahan individual dan kolektif ini merupakan pemahaman kita tentang proses pemberdayaan (Page & Czuba, 1999:3).
88. Echeverri-Gent mengembangkan tesis yang antara lain menyatakan bahwa partisipasi publik yang meningkat menciptakan kesempatan pada penduduk miskin untuk mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan mereka pada pembuat keputusan, membuat implementasi misalnya, kebijakan yang berpihak pada penduduk miskin menjadi lebih efektif (Krogstrup, 2000:7).
89. Ketahui bahwa penduduk yang hidup dalam kemiskinan secara bawaan lahiriah mampu bekerja dengan caranyanya sendiri untuk keluar dari kemiskinan secara bermartabat, dan dapat menunjukkan potensi kreatifnya untuk memperbaiki situasi mereka apabila lingkungan yang memungkinkan dan kesempatan yang benar itu ada.
90. UNESCO membantu, melalui strategi pembangunannya, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penanggulangan kemiskinan. UNESCO khususnya pendukung pendekatan-pendekatan informal dan berbasis masyarakat – dengan mempergunakan ketrampilan dan kesempatan penduduk miskin itu sendiri – yang ditujukan untuk membantu mereka menemukan strategi-streteginya sendiri untuk keluar dari kemiskinan.
91. Tenaga-tenaga administrasi negara harus terus dipelihara dan digunakan untuk mengurus keperluan-keperluan yang berfanfaat – transportasi,jaminan keamanan jiwa dan miliknya, komunikasi, tenaga listrik dan pendidikan yang mempersiapkan tenaga manusia yang trampil dan bertindak sebagai pencegah penyesuaian (Anwar, 1983:80).
BAB PENDIDIKAN
92. …dan pendidikan yang mempersiapkan tenaga manusia yang trampil dan bertindak sebagai pencegah penyesuaian (Anwar, 1983:80).
93. Teaching adults, especially training adult professionals, requires a unique set of skills, distinctly different from those often used in traditional educational settings. It is key to remember when planning adult education events that adults are voluntary learners. They have chosen on their own to participate in the event. This affects the educational interaction in two major ways: 1) Adults generally are most comfortable outside the traditional classroom setting; educational interactions with adults should incorporate involvement, participation and a variety of techniques; and 2) In a professional setting learners will come to the table with a host of their own experiences and knowledge, and will learn best when encouraged to share them (Ward & Loucks, 2001:xi).
Ward & Loucks (Eds.). 2001. Participation for Empowerment, A Manual for Development Agents. Hindi: CARE.
94. Education and training form perhaps the most important precondition for development. When a large part of the population is illiterate, this hinders economic and social development. Education is thus a key priority. (Freece & Singh, 2003:1).
95. This was clearly articulated in the Dakar Framework: Education, starting with the care and education of young children and continuing through lifelong learning, is central to individual empowerment, the elimination of poverty at the household and community level, and broader social and economic development. At the same time, the reduction of poverty facilitates progress towards basic education goals. There are evident synergies between strategies for promoting education and those for reducing poverty. A multi-sectored approach to poverty elimination requires that education strategies complement those of the productive sectors as well as those of health, population, social welfare, labour, the environment and finance, and be closely linked to civil society. (The Dakar Framework of Action April 2000). (Freece & Singh, 2003:1).
96. There is a strong correlation between education and poverty. The incidences of moderate and extreme poverty are highest among households with low level of education and lowest among households with the highest level of education. Proportion of households below poverty line is gradually reducing with improvement in the level of education. There is no consistent trend in the incidence of moderate and extreme poverty separately with improvement in the level of education. (Husain, 1998:)
Husain, A. M. Muazzam (Ed.). 1998. Poverty Alleviation And Empowerment The Second Impact Assessment Study Of Brac’s Rural Development Programme.
97. Suatu bentuk alternatif pengetahuan adalah praktis dan berakar dalam tradisi-tradisi kultural (McMichael, 1996:228).
98. The expansion of human knowledge and capabilities, for instance, has an indirect influence on economic and political empowerment (Malhotra and Mather 1997; Kishor 1995 and 2000; Hashemi et al 1996; Beegle et al 1998 dalam UNDP, 2004:125).
99. Rich et al mengatakan bahwa Knowledge is a critical human choice in its own right. It is also valued as a constituent of the human capabilities to do other things (contribute to productivity, self-respect and relative power or empowerment) and is encapsulated as instrumental empowerment (UNDP, 2004:127).
- Pendidikan orang dewasa yang baik cenderung sangat khas pada lingkungan lokalnya, sangat bersifat konteks-spesifik (Dukem 1990:9).
- Besides increasing the pace of growth, mass education can ensure that its benefits are more equitably distributed (HDR 1996:53).
- But education will not ensure equitable growth on its own. People also need the opportunity to use their skills. Otherwise, society loses valuable resources, and people will not invest in education in the first place(HDR 1996:53).
- Human capital refers to the skills, knowledge, beliefs, attitudes, ability to work and good health that enable people to persue defferent livelihood strategies (Embler, 1999:26).
- According to Human Capital theory, investment in education will increase “human capital”. This is good because educated workers are more productive workers. High investment in education will lead to higher rates of economic growth.
http://members.tripod.com/~phuakl/socio4.html. Diakses 5 Desember 2006
- “Economic development” can be defined as an increase in the GNP per capita (Gross National Product per capita) and also as a change in the structure of the economy from agricultural to an industrial and service economy.
According to Human Capital theory, investment in education will increase “human capital”. This is good because educated workers are more productive workers. High investment in education will lead to higher rates of economic growth.
Furthermore, money spent on R & D (research and development) in universities and research institutes will also lead to technological progress and economic development.
According to Modernisation Theory, education will change the traditional values and attitudes of the people which hinder economic development. Modern values and attitudes will lead to modern behaviour and economic development.
Structural-functionalists such as Davis and Moore believe that the education system can be used to select the most talented people to fill the most important jobs in the society. This system of meritocracy will contribute to economic development. Structural functionalists also believe that the education system can be used to promote common values and social solidarity. The resulting social stability will encourage more foreigners to invest in the local economy.
According to critics such as Ronald Dore, education spending can affect economic development in a negative manner. Dore talked about the “Diploma Disease” or credentialism, i.e., many students are not interested in learning but attend school just to earn more and more credentials and paper qualifications. This is a waste of economic resources and can lead to the problem of unemployed university graduates.
- World Development Report 1980 mengartikulasi pemahaman dan berargumentasi bahwa perbaikan dalam … pendidikan penting bukan hanya karena merupakan hak mereka tetapi juga untuk mendukung pertumbuhan pendapatan penduduk miskin (World Development Report 2000/2001:6).
- Haq (Krogstrup, 2000:3) berpegangan bahwa peranan pendidikan dalam mengentas kemiskinan menentukan, karena pencapaian pendidikan yang lebih baik memiliki keuntungan sosial dan ekonomi yang banyak.
- The role of education in poverty eradication, in close co-operation with other social sectors, is crucial. No country has succeeded if it has not educated its people. Not only is education important in reducing poverty, it is also a key to wealth creation.
(http://www.unesco.org/education/poverty/news.shtml)
- “Education is not a way to escape poverty – It is a way of fighting it.” Julius Nyerere, former President of the United Republic of Tanzania.
- Unlike economic strategies, the impact of education on poverty eradication tends to be less direct, although providing long term benefits. Nonetheless, education is pivotal in breaking the vicious cycle of poverty and social exclusion that is the reality for many people.
- In particular, educational and cultural concerns must continue to fuel international action as a whole because they are part of the very essence of development and the wealth of nations. http://portal.unesco.org/education/en/ev.php_URL_ID=35464&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.html. Mr Koïchiro Matsuura, Director-General of UNESCO on International Day for the Eradication of Poverty – 17 October 2004.
- Presiden Pilipina, Gloria Macapagal-Arroyo: Memberdayakan individu-individu memegang kunci untuk memenangkan peperangan terhadap kemiskinan. Pemerintahan saya telah mengadopsi pendekatan komprehensif dalam perang terhadap kemiskinan, yang mencakup lingkungan pasar untuk menciptakan pekerjaan, lembaga pemerintah yang kuat, jaringan keamanan sosial, dan modernisasi pertanian berdasarkan atas keadilan sosial. Pendidikan merupakan kunci untuk semua komponen itu dalam perang terhadap kemiskinan.
- There is a strong correlation between education and poverty. The incidences of moderate and extreme poverty are highest among households with low level of education and lowest among households with the highest level of education (Table C.3). Proportion of households below poverty line is gradually reducing with improvement in the level of education. There is no consistent trend in the incidence of moderate and extreme poverty separately with improvement in the level of education.
- Basic education (BE) for children, youth and adults, as defined at Jomtien and Dakar is really about the right to have one’s basic learning needs (BLN) met. This right is met:
in various settings (home, community, school, out-of-school educational, cultural and recreational centers,
workplace, mass media, everyday life and activities);
by various agents : family, local and broader community, State/government, civil society (including local
associations such as rural cooperatives, PTAs, etc.), and the market;
through various means, including education (formal, non-formal and informal) and training, self-directed and
experiential learning, making use of both traditional and modern media, face-to-face and distance modalities;
and
throughout life that is, not just during a specific period in the life of an individual, because BLN are
numerous, they change over time and must be updated as realities and knowledge also evolve.
From Torres, 2002 (Easton at al. 2003: 3).
- ANFE programs often constitute the best means for making local poverty reduction and economic development efforts – whether in agriculture, natural resource management, small industry or credit intermediation – more participant-driven, cost-effective and self-managed (Oxenham et al. 2002; Easton et al 1998). Staff in these sectors increasingly recognize that program objectives cannot be
durably attained without true local “ownership” of initiatives and related dispositions for capacity building – yet these are results that primary schooling alone cannot ensure. In addition, nonformal
education, literacy and training efforts may be highly instrumental to accomplishment of a series of
related goals:
Technology transfer: How to disseminate innovation and ensure that technologies used in
economic development are both consistent with best practice internationally and appropriate to
local contexts remains a major challenge – and one that is often best addressed through effective
(and participatory) nonformal training of stakeholders (Sidikou, 1994).
Indigenous knowledge – Incorporation of existing knowledge and traditional science into
development strategies in fields like agriculture and health constitutes a frontier only now being
explored and a major factor in promoting both the efficiency and the level of popular acceptance of
innovation. ANFE training programs have frequently constituted media for “inventorying” and
codifying this local knowledge, itself often embedded in local languages to which literacy
programs give voice.4 The World Bank is putting increased emphasis on the incorporation of
indigenous knowledge into development programming (e.g., World Bank et al., 2002.)
Local capitalization of resources – Effectively promoting growth with equity entails transferring
responsibility for program management into local hands and reinvesting surpluses at this level in
order to ensure genuine “ownership” and sustainability of initiatives. The key variable in such
strategies is locally-supervised capitalization – that is, the accumulation and reinvestment under
beneficiary control of the resources (intellectual as much as financial or material) that give local
actors greater control of their own future and increased margins of maneuver in building their own
economies… as well as enhanced ability to articulate and refashion their own cultural tradition (cf.
Oxenham et al. 2002; World Bank 2001; Easton et al 1998; Belloncle,1982).
Economic equity – If decentralization and local management policies are to benefit the poorest or
at least the mass of citizens at the local level, then means must be deployed or frameworks created
so that resources, entitlements and functions “penetrate” to their level and are not monopolized, as
is only natural, by those already holding power locally: men, the upper classes and the dominant
ethnic groups (WB 2002e). Social investment funds are one example of strategies that help the
poor “capitalize” themselves – and that require acquisition of new skills and knowledge on their
part. “Empowering” adult and nonformal education – that is, programs that blend development of
new technical capacity with enhanced understanding of the stakes and options – is a prime means
of promoting such investment.
Diffuse effects of literacy and basic education – In addition, correlational studies at the macro level
repeatedly suggest that literacy of parents is closely associated with health and successful
schooling of children, especially girls (see Aoki et al. 2001). Acquisition of literacy can lead to
other dimensions of improved quality of life like broadened communication and more effective
political participation. ANFE programs put these outcomes within the reach of motivated adults
who have insufficiently benefited from formal schooling or received a low quality version of it.
In these multiple respects, therefore, adult and nonformal education programming provides critical
support to poverty reduction efforts (World Bank 2001).
(Easton at al. 2003: 4-5).
- Maruatona found that there is a perception that graduates of a literacy programme would: enhance potential for economic development and democracy, empower, liberate and provide equal opportunities. ‘Illiteracy stood to hamper national development efforts’ (1995:80).
- Education is groking the reality, essence or being of humanity—‘to grok something is to grasp it: to get the marrow, the inner meaning, the crux, or the gist of it. To get the essence of a communication or sharing such that we are able to recreate it in our own language’ (Hunt 1991:194).
- For Lalita Ramdas (Irish Aid Advisory Committee, 1999) non-formal education (that includes adult education) has been used by many governments to perpetuate the gap between the rich and the poor. Governments use non-formal education and ignore issues of quality in non-formal education. This serves the interests of governments in that when they provide some sort of non-formal education they can feel good about themselves and point out that they are doing something for the out of school adults whilst on the other hand they can point to the poor quality of non-formal education graduate as an excuse not to reward them.
- It has been shown that primary schooling, for example, helps to increase the productivity of peasant farmers, […] It has been shown also that the earnings of the self-employed, including those in urban and informal sector activities, are higher for the educated than for the uneducated (Oxaal 1997:7).
- Frank Youngman has argued that education is an instrument of cultural imperialism whereby ‘educational measures reinforce dependence by marginal nations at an economic and ideological level’ (1991:2).
- Appleton (2001) found that high living standards and poverty reduction were influenced by education, which has a role in determining access to different sources of income.
- The role of education in poverty eradication, in close co-operation with other social sectors, is crucial. No country has succeeded if it has not educated its people. Not only is education important in reducing poverty, it is also a key to wealth creation.
(http://www.unesco.org/education/poverty/news.shtml
- “Education is not a way to escape poverty – It is a way of fighting it.”
Julius Nyerere, former President of the United Republic of Tanzania.”
(http://www.unesco.org/education/poverty/news.shtml)
- Unlike economic strategies, the impact of education on poverty eradication tends to be less direct, although providing long term benefits. Nonetheless, education is pivotal in breaking the vicious cycle of poverty and social exclusion that is the reality for many people.
(http://www.unesco.org/education/poverty/news.shtml).
- In particular, educational and cultural concerns must continue to fuel international action as a whole because they are part of the very essence of development and the wealth of nations.
Mr Koïchiro Matsuura, Director-General of UNESCO on International Day for the Eradication of Poverty – 17 October 2004
- Haq berpegangan bahwa peranan pendidikan dalam menghilangkan kemiskinan adalah menentukan karena pencapaian pendidikan yang lebih baik memiliki keuntungan sosial dan ekonomi yang banyak. (Krogstrup, Jens, 2000:3)
BAB PERNYATAAN
- Meningkatnya jumlah warga miskin di Jawa Timur sejak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) awal Oktober 2005 lalu, membuat Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengubah pola distribusi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pada APBD tahun 2006 ini, sekitar Rp 800 miliar anggaran didistribusikan melalui para camat dan lurah untuk mengentaskan kemiskinan di wilayah masing-masing. (Sinar Harapan, Rabu, 11 Januari 2006).
- “Para camat dan lurah kita serahi anggaran yang cukup besar untuk mengentaskan warga miskin di wilayahnya masing-masing. Sekitar Rp 800 miliar dari Rp 4,7 triliun kekuatan APBD Jatim, kami serahkan langsung ke camat dan lurah,” kata Dr Soekarwo, Sekdaprov Jatim saat dihubungi SH, pekan lalu. (Sinar Harapan, Rabu, 11 Januari 2006).
- Karena itu, lanjut Soekarwo, penyusunan APBD Jatim tahun 2006 lebih diprioritaskan pada aspek penanganan kemiskinan melalui upaya penciptaan lapangan kerja dan mengalokasikan bantuan sosial terhadap penduduk miskin kategori nonproduktif. (Sinar Harapan, Rabu, 11 Januari 2006).
- Efektivitas dari suatu kebijakan dan program pengentasan kemiskinan harus dilihat dari kemampuan program tersebut dalam mengubah berbagai kondisi (ekonomi, psikologis, struktural, politis, dan lain sebagainya) (Awan Setya Dewanta, dkk., 1995: 67).
BAB SITUASI
- That poverty is not inheritance for the poor and therefore poor people should take up the responsibility to be free (Kawawa, 1971:11; Dame 1999:51).
- Walaupun ada kemajuan dalam pembangunan manusia, kemiskinan – kemiskinan pendapatan dan non-pendapatan – kemiskinan tetap membandel karena kemiskinan itu melambung berbelit dengan kondisi ketidakberdayaan/hilangnya kapabilitas yang begitu menyolok dalam kesehatan, pendidikan, pengetahuan dan komunikasi, juga ketidakmampuan rakyat untuk menggunakan hak-hak sipil dan politik mereka serta tidakadanya suara, kekuasaan, harga diri dan kepercayaan diri dalam dunia publik (Nepal Human Development Repoert 2004:120).
- Itulah martabat manusia yang di lingkungan masyarakat Indonesia masih dililit dan dibelenggu dengan kondisi kemiskinan, kemelaratan dan kekuranga pelbagai informasi dan ilmu pengetahuan (Sumartana, 1995:260).
- Lebih dari satu milliar penduduk hidup dalam kemiskinan ekstrem – tanpa pekerjaan, tanpa kebutuhan dasar, tanpa harapan. Ketimpangan dan polarisasi sosial mendalam. Pekerjaan yang telah menjadi begitu langka di sebagian besar daerah di dunia yang penganggurannya tinggi bisa jadi berubah menjadi sifat permanen ekonomi modern, jumlah penduduk miskin membengkak dan stabilitas sosial runtuh (Seufert-Barr, Nancy. 1994).
- Para pimpinan dam delegasi nasional berkumpul antara tanggal 6 s.d. 12 Maret 1995 pada World Summit for Social Development di Copenhagen, Denmark, yang merupakan kali pertama bagi Amerika Serikat dan Persatuan Bangsa-Bangsa dengan mengangkat pembangunan sosial sebagai isu prioritas dalam agenda internasional itu, kata Ketua Persiapan Komisi tersebut, Juan O. Somavia (Seufert-Barr, Nancy. 1994)
- Orang yang tertimpa kemiskinan bukanlah kelompok statis. Mereka terpuruk dalam kemiskinan dia bangkit lagi, tidak hanya dalam semusim, melainkan juga dengan berubahnya waktu kehidupan (Jeremy Seabrook, 2006:41-42).
- Kemiskinan di negara miskin tidak mengizinkan terciptanya syarat dan alat bagi penduduknya untuk maju. Jika ini ada, maka kemajuannya ini masuk dalam kerangka bangunan kemiskinan yang kekuatan sosial dan biologinya menggugurkan kemajuan, sehingga kemiskinan tetap saja kekal (Anwar, 1983:44).
- Namun krisis ekonomi tahun 1997 agak mengganggu proses investasi sumber daya manusia.Krisis ekonomi itu tidak hanya mempengaruhi kemampuan masyarakat memperoleh penghasilan di masa sekarang namun juga ke depan, terutama kaum miskin karena hambatan dalam pendidikan (ILO, 2004:1).
BAB KEAMANAN
- “In rich countries and in poor countries, in large countries and in small, there is a prevailing sense of imminent social disorder”, Secretary-General Boutros Boutros-Ghali told the Summit’s Preparatory Committee at its first meeting in January. He opened the second session by telling delegates that “the global social crisis threatens many States as much as any foreign army”, and “without investment in social development, the foundations of peace will not be secured”. (Seufert-Barr, 1994).
BAB KEBIJAKAN
- Pemerintahan yang efektif tetap diperlukan. Tidak ada negara yang sudah terindustrialisasi pada zaman modern ini, telah begitu majunya tanpa adanya campur tangan yang kuat dan bantuan dari pemerintah (Anwar, 1983:78-79).
- Syarat-syarat pokok bagi campur tangan dan bantuan (pemerintah) itu wajar ditentukan: 1) Harus ada perlindungan yang cukup bagi rakyat terhadap ancaman pengrusakan miliknya, terhadap pengambilalihan atau taksiran semau-maunya atas pajak, 2) Harus ada sistem dasar yang bisa diandalkan mengenai jalan, pelabuhan, persedian tenaga listrik dan perhubungan, 3) harus ada persedian modal – dalam prakteknya banyak dari luar negeri di bawah pengawasan pemerintah – untuk investasi swasta dan peminjam-peminjam dari pemerintah, pengorganisasian yang rapi, jujur dalam penerimaan dan pemberian pinjaman, 4) kemungkinan perlunya pemerintah mensponsori beberapa industri-industri perintis perikanan, yang semula banyak ditentang, akirnya telah berjasa dalam membangkitkan yang lain (Anwar, 1983: 79).
- Karena itu tema pemberantasan kemiskinan, perbaikan lingkungan, dan partisipasi yang emansipatif selalu menjadi orientasi dan obsesi dari para pimpinan politik dan pemikir ekonomi Indonesia (Korten & Sjahrir, 1988: 318).
- Jadi Pemerintah memberikan prioritas tinggi terhadap pendidikan dalam mengalokasikan sumber-sumber pemerintah, merefleksi keinginan politik yang tinggi untuk menggeneralisasi akses terhadap pendidikan, dalam keyakinan bahwa hal itu membantu perkembangan kesatuan nasional (national unity) dan memuaskan keadilan sosial dan respek terhadap hak manusia yang penting, dan pada waktu yang sama kebutuhan yang mendesak untuk mengembangkan sumber daya manusia agar berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat (Hallak,1990: 7).
- Kebijakan-kebijakan harus meyakinkan akses rakyat miskin pada asset ekonomi. Tanpa asset, rakyat miskin tidak dapat berpartisipasi dalam pasar. Mereka perlu tanah, financial dan ketrampilan – dan tindakan public untuk memperoleh aset itu (HDR 2003: 81).
- Bagi negara-negara yang terperangkap dalam kemiskinan ada enam klaster kebijakan yang krusial, antara lain adalah: a) investasi pembanguna manusia – nutrisi, kesehatan (termasuk kesehatan reproduksi), pendidikan, air dan sanitasi — untuk mendukung tenaga kerja produktif yang dapat berpartisipasi aktif dalam ekonomi dunia. (HDR 2003: 18).
BAB PENDAPATAN
- Therefore income as the sole indicator of well-being is limited, if not, inappropriate as it typically does not (or cannot) incorporate and reflect such key dimensions of poverty as life expectancy (longevity), literacy, the provision of public goods and even, at the limit, freedom and security. The state of well-being is strongly correlated with the quality of life but less so with income. Note that the conventional definition of household or individual income according to the national income accounts and household surveys does not even include the imputed value of social benefits (e.g. health and education) (Thorbecke, 2005: 5).
- Perbedaan umum tentang kemiskinan dibagi menjadi dua, yaitu kemiskinan pendapatan (income overty) dan kemiskinan non-pendapatan (non-income poverty). Kemiskinan pendapatan didefinisikan sebagai akses yang tidak memadai terhadap sumber-sumber dan akibatnya pemenuhan kebutuhan material dasar tidak memadai. Normalnya, garis kemiskinan didefinisikan dalam istilah-istilah pendapatan atau konsumsi per kapita, dan mereka yang berada di bawah garis tersebut diklasifikasikan sebagai orang miskin. Banyak kritik yang telah diajukan terhadap persepsi kemiskinan dalam istilah-istilah pendapatan secara murni. Satu masalah kritis muncul ketika masalah tersebut hadir untuk mendefinisikan garis kemiskinan yang memadai. Karena pengukuran kemiskinan pendapatan sering diperoleh dari survey rumah tangga maka pengukuran itu juga diargumentasikan, bahwa disparitas intrarumahtangga, misalnya sebagai hasil diskriminasi jender, diabaikan. Lebih ari itu, ketidakmampuan pengukuran kemiskinan pendapatan untuk menghitung pendapatan non-keuangan bias jadi mengurangi reliabilitas pengukuran yang demikian. Kemiskinan Non-pendapatan. Kemiskinan non-pendapatan mengasumsikan bentuk-bentuk yang beragam. Indikator-indikator melek huruf, kematian, harapan hidup dan anthropometrik digunakan secara luas sebagai indikator-indikator kemiskinan non-pendapatan. Misalnya, Haq berpegangan bahwa “Peranan pendidikan dalam menyingkirkan kemiskinan adalah menentukan,” karena pencapaian pendidikan yang lebih baik memiliki keuntungan ekonomi dan sosial yang banyak. UNDP mengadopsi gagasan kemiskinan manusia (human poverty), mengenai kemampuan untuk “…mengarahkan kehidupan yang panjang, sehat dan kreatif untukmenikmati standar kehidupan yang wajar, kebebasan, harga diri, penghargaan terhadap diri sendiri (self-respect) dan penghargaan terhadap orang lain. Lebih dari itu UNDP telah mengembangkan indeks untuk kemiskinan manusia dan pembangunan, yang meliputi misalnya mortalitas, standar kehidupan, nutrisi, melek huruf dan pendapatan. Dalam kehidupan nyata, pengukuran kemiskinan pendapatan di atas umumnya ditandai oleh jumlah nasional yang sedang ada (being national aggregates). Khususnya, tidak ada informasi mengenai kemiskinan rumah tangga atau individual yang membuatnya sulit untuk menetapkan siapa yang miskin dan siapa yang tidak. Keberatan lain mengenai indeks UNDP untuk kemiskinan manusia dan pembangunan. Sementara mereka dapat dikatakan menangkap banyak aspek kemiskinan yang berbeda, pertanyaan metodologikal krusial adalah bagaimana mengukur aspek-aspek kemiskinan. Secara bersama-sama, kemiskinan pendapatan dan non-pendapatan mencakup dimensi-dimensi kemiskinan. Jelaslah, ada banyak hubungan antara dimensi-dimensi kemiskinan yang berbeda. Ini diketahui secara luas – dibuktikan secara empiris – bahwa pendapatan dan aspek-aspek pembangunan manusia (misalnya, pendidikan dan kesehatan) sangat berkorelasi, dengan kausalitas yang berlangsung dengan dua cara itu. Bagaimanapun juga ada penggarisbawah yang terkemuka terhadap kecenderungan ini dalam hubungan diantara dimensi-dimensi kemiskinan. Misalnya, pada tahun 1994 Sri Lanka mempunyai pendapatan per kapita sama dengan Nikaragua, Pakistan dan Guinea. Namun Sri Lanka menunjukkan pencapaian jauh lebih baik dalam indikator-indikator kesehatan daripa tiga negara lain tersebut. Ada disparitas-disparitas yang serius dalam tingkat intra-nasional juga – di India hubungan antara kemiskinan pendapatan dan mortalitas bayi pada tingkat-negara jauh dari liner. Akibatnya, the World Devellopment Report 2000/1 mengenali bahwa hubungan yang kuat antara indikator-indikator pendapatan dan non-pendapatan adalah kondisional, dan disparitas itu dalam sub-nasional dan bahwkan tingkat rumah tangga harus direalisasikan sepanjang garis dalam analisis kemiskinan. (Krogstrup, 2000: 3-4). Perbedaan umum tentang kemiskinan dibagi menjadi dua, yaitu kemiskinan pendapatan (income overty) dan kemiskinan non-pendapatan (non-income poverty). Kemiskinan pendapatan didefinisikan sebagai akses yang tidak memadai terhadap sumber-sumber dan akibatnya pemenuhan kebutuhan material dasar tidak memadai. Kemiskinan non-pendapatan mengasumsikan bentuk-bentuk yang beragam. Indikator-indikator melek huruf, kematian, harapan hidup dan anthropometrik digunakan secara luas sebagai indikator-indikator kemiskinan non-pendapatan (Krogstrup, 2000: 3-4).
- dd
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Hubungi: 081333052032