KAMUS DEFINISI DAN TEORI BAHASA
- [definisi berbicara]-Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyian artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan pesan, pikiran, gagasan, dan perasaan (Maidar dan Mukti US, 1991: 17).
- [definisi berbicara]-Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfaatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan-gagasan atau ide yang dikombinasikan (Djago Tarigan, 1998: 15).
- [definisi berbicara]-Berbicara dapat pula diartikan sebagai kemampuan mengungkapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekspresikan atau menyampaikan pikiran, gagasan, atau perasaan secara lisan (Brown G & G Yule, 1983: 2).
- [definisi berbicara]-Berbicara merupakan suatu proses penyampaian informasi, idea tau gagasan dari pendengar sabagai komunikan (Nuraeni, 2002: 87).
- [definisi berbicara]-Berbicara sesungguhnya merupakan kemampuan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan (Widdowson, 1978: 59)
- [definisi dongeng]-Dongeng adalah cerita yang tidak benar-benar terjadi (terutama tentang kejadian zaman dahulu yang aneh-aneh) (Poerwadarminto, 1985: 357).
- [definisi fabel]-Fabel adalah cerita pendek berupa dongeng, mengambarkan watak dan budi manusia yang diibaratkan pada binatang”. Fabel digunakan untuk pendidikan moral, dan kebanyakan fabel menggunakan tokoh-tokoh binatang, namun tidak selalu demikian. Disamping fabel menggunakan tokoh binatang ada yang menggunakan benda mati. Jadi fabel merupakan cerita pendek atau dongeng yang memberikan pendidikan moral yang menggunakan binatang sebagai tokohnya. Contoh : Dongeng kancil dan harimau (Poerwadarminto, 1985: 278).
- [definisi kemampuan berbicara]-Kemampuan berbicara sebagai kemampuan produktif lisan yang menuntut banyak hal yang harus dikuasai oleh siswa, meliputi penguasaan aspek kebahasaan dan nonkebahasaan (Isnaini Yulianita Hafi, 2000: 91).
- [definisi kemampuan]-Kemampuan (ability) mempunyai 3 arti yaitu (achievement) yang merupakan actual ability, yang dapat diukur langsung dengan alat atau tes tertentu; (capacity) yang merupakan potential ability, yang dapat diukur secara tidak langsung dengan melalui pengukuran terhadap kecakapan individu, di mana kecakapan ini berkembang dengan perpaduan antara dasar dengan training yang intensif dan pengalaman; (aptitude) yaitu kualitas yang yang hanya dapat diungkap/diukur dengan tes khusus yang sengaja dibuat untuk itu (Woodworth dan Marquis, 1957: 58)
- [definisi kemampuan]-Kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan atau kekuatan (Didik Tuminto, 2007: 423).
- [definisi kemampuan]-Kemampuan berarti kesanggupan; kecakapan; kekuatan kita berusaha dengan diri sendiri (Besar Bahasa Indonesia, 2007: 235).
- [definisi kemampuan]-Kemampuan yaitu mampu artinya kuasa (bisa, sanggup) melakukan sesuatu, sedangkan kemampuan artinya kesanggupan, kecakapan, kekuatan (Poerwadarminta, 2007: 742).
- [definisi kemampuan]-Mampu artinya (bisa, sanggup) melakukan sesuatu, sedangkan kemampuan artinya kesanggupan, kecakapan (Nurhasnah, 2007: 552).
- [definisi legenda]-Legenda adalah : “cerita dari zaman dahulu yang bertalian dengan peristiwa-peristiwa sejarah (Poerwadarminto, 1985: 578).
- [definisi legenda]-Legenda adalah: “Cerita yang isinya tentang asal-usul suatu daerah (Menurut sarikata Bahasa Indonesia, 2007: 21).
- [definisi lucu]-Lucu yaitu “menimbulkan tertawa” jadi dongeng yang lucu adalah cerita yang berisikan kejadian lucu yang terjadi pada masa lalu. Cerita dalam dongeng lucu dibuat untuk menyenangkan atau membuat tertawa pendengar atau pembaca. Contoh: Dongeng Abu Nawas (Poerwadarminto, 1985: 610).
- [definisi metode pembelajaran]-Metode pembelajaran adalah teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas agar pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami dan digunakan siswa dengan baik (Roestiyah, 1998: 1)
- Metode pembelajaran adalah cara-cara yang dipilih untuk menyampaikan materi pelajaran dan untuk memberikan kemudahan kepada siswa menuju tercapainya tujuan tertentu. Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran (Saliwangi, 1994: 1).
- [definisi mite]-Mite adalah cerita yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya (Poerwadarminto, 1985: 641).
- [definisi mite]-Mite sebagai dongeng yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat. Contoh: Nyai Loro Kidul (Sarikata Bahasa Indonesia, 2007: 20).
- [definisi pembicara]-Pembicara pada dasarnya terdiri atas empat hal yang kesemuanya diperlukan dalam menyatakan pikiran/pendapatnya kepada orang lain. Pertama, sang pembicara merupakan suatu kemauan, suatu maksud, suatu makna yang diinginkannya dimiliki oleh orang lain, yaitu: suatu pikiran. Kedua, sang pembicara adalah pamakai bahasa, membentuk pikiran dan perasaan menjadi kata-kata. Ketiga, sang pembicara adalah sesuatu yang disimak, ingin didengarkan, menyampaikan maksud dan kata-katanya kepada orang lain melalui suara. Terakhir, sang pembicara adalah sesuatu yang harus dilihat, memperlihatkan rupa, sesuatu tindakan yang harus diperhatikan dan dibaca melalui mata (Knower, 1958: 1331) dalam Encyclopedia of Educational Research.
- [definisi sage]-Sage menurut Poerwadarminto (1985: 848) adalah “Cerita yang mendasar peristiwa sejarah yang telah bercampur dengan fantasi rakyat”, sedangkan menurut sari kata Bahasa Indonesia (2007: 20) sage yaitu dongeng yang mengandung unsur sejarah. Jadi dapat disimpulkan bahwa sage merupakan cerita dongeng yang berhubungan dengan peristiwa atau sejarah. Contoh: Panji semirang.
- [definition of conversing]-That conversing more than just uttering of voices or words. The conversing is an appliance to communicate the idea compiled and also developed as according to requirement of the listener or audience. The converse is the speaker comprehend or do not, its discussion material goodness and also all audience; what is he take coolly adaptable and or not, at the time of the communicate its ideas, and what is he alert enthusiastic and or not” (Mulgrave, 1954: 3-4).
- [definition of speaker]-Knower (1958: 1331) dalam Encyclopedia of Educational Research, disebutkan sebagai berikut “a speaker is consisted of four matter which is all needed in expressing mind/its opinion to others. First, the speaker is an willingness, an intention, an meaning wanted is owned by other, that is: an mind (a thought). Second, the speaker is user the language, forming mind and feeling become the words. Third, the seaker is something that wish to attend, wish listened, submitting intention and its words to other pass the voice. Last, the speaker is something that have to be seen, showing the aspect, something action which must be paid attention and read to pass eye.”
- [jenis kemampuan]-Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge skill) (Kevin Davis dalam Mangkunegara, 2000: 67).
- [kemampuan komunikatif]-Kemampuan komunikatif terbentuk dari empat kompetensi, yaitu kompetensi gramatika, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi wacana, dan kompetensi strategi. Untuk mewujudkan tanggung jawab tersebut. Sarwiji Suwandi (2006: 49-51) mengatakan sejumlah peranan penting yang diemban guru dalam upaya mengefektifkan pembelajaran Bahasa Indonesia yaitu: (1) Guru berperan sebagai perencana pembelajaran yang efektif dan efisien, (2) Guru berperan sebagai fasilitator yang kreatif dan dinamis, (3) Guru berperan sebagai model, (4) Guru berperan sebagai motivator, (5) Guru berperan sebagai evaluator (Canale dalam Sarwiji Suwandi, 2006: 49).
- [manfaat dongeng]-Dongeng dapat meningkatkan kemampuan berbicara pada anak (Abdul Aziz Abdul Majid, 2002: 30).
- [peran guru]-Peran guru dalam pembelajaran meliputi: (1) Guru sebagai pendidik, (2) Guru sebagai pengajar, (3) Guru sebagai pembimbing, (4) Guru sebagai pelatih, (5) Guru sebagai penasihat, dan (6) Guru sebagai pembaharu (inovator) (Mulyasa, 2005: 37-44).
- [unsur dongeng]-Lustantini (1998: 16) penyebab ketertarikan audience pada dongeng tidak terlepas dari empat unsur penting dongeng yaitu: 1) Alur; a) Alur adalah konstruksi mengenai sebuah deretan peristiwa secara logis dan kronologis saling berkaitan yang dialami oleh pelaku. b) Alur ada dua macam, yaitu alur lurus dan alur sorot balik. Alur lurus adalah peristiwa yang disusun mulai dari awal, tengah, yang diwujudkan dengan pengenalan, mulai bergerak, menuju puncak dan penyelesaian. Alur sorot balik adalah urutan peristiwa yang dimulai dari tengah, awal, akhir atau sebaliknya. c) Alur dapat melibatkan ketegangan, pembayangan dan peristiwa masa lalu. Hal ini dimaksudkan untuk membangun cerita agar peristiwa ditampilkan tidak membosankan. d) Alur ditutup dengan ending, yaitu happy ending (bahagia) atau sad ending (sedih). 2) Tokoh; Setiap cerita memiliki paling sedikit satu tokoh dan biasanya ada lebih dari satu. Tokoh-tokohnya mungkin binatang, orang, obyek, atau makhluk khayal. Berikut penjelasan tentang penokohan dalam dongeng: a) Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa yang ada dalam cerita (Lustantini Septiningsih, 1998: 16). b) Tokoh dapat memiliki dua sifat, yaitu protogonis (karakter yang melambangkan kebaikan, menunjukkan sikap positif dan merupakan contoh yang layak ditiru) dan antagonis (karakterister yang berlawanan dengan tokoh protagonis, merupakan contoh karakter yang harus dijauhi sikap dan perbuatannya). c) Penokohan yang dipilih dipengaruhi oleh sifat, ciri pendidikan, hasrat, pikiran dan perasaan yang akan diangkat oleh pengarang untuk menghidupkan dongeng. 3) Latar / Setting; Istilah latar biasanya diartikan tempat dan waktu terjadinya cerita. Hal tersebut sebagian benar, tetapi latar sering berarti lebih dari itu. Di samping tempat dan periode waktu yang sebenarnya dari suatu cerita, latar meliputi juga cara tokoh-tokoh cerita hidup dan aspek kultural lingkungan. Berikut penjelasan tentang latar atau setting: a) Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacauan yang berkaitan dengan ruang, waktu dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra (Lustantini Septiningsih, 1998: 44). b) Latar ada dua macam, yaitu latar sosial (mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial dan sikapnya, adat kebisaaan, cara hidup, maupun bahasa yang melatari peristiwa) dan latar fisik atau material (mencakup tempat, seperti bangunan atau daerah). c) Latar adalah cerita akan memberi warna cerita yang ditampilkan, disamping juga memberikan informasi situasi dan proyeksi keadaan batin para tokoh. 4) Tema; Tema cerita merupakan konsep abstrak yang dimasukkan pengarang ke dalam cerita yang ditulisnya. Berikut penjelasan tentang tema: a) Tema adalah arti pusat yang terdapat dalam suatu cerita. b) Pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh pengarang dipengaruhi oleh pengalaman, jiwa, cita-cita dan ide yang diwujudkan lewat tema. c) Pengarang menampilkan sesuatu tema karena ada maksud tertentu atau pesan yang ingin disampaikan. Maksud atau pesan yang ingin disampaikan itu disebut amanat. Jika tema merupakan persoalan yang diajukan, amanat merupakan pemecahan persoalan yang melahirkan pesan-pesan.
- Berbicara adalah bercakap, berbahasa, mengutarakan isi pikiran, melisankan sesuatu yang dimaksudkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 165).
- Cerita rakyat dapat dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu (1) mite (myth), (2) legenda (legend), dan (3) dongeng (Folktale). Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat. James Danandjaja (1986: 86) berpendapat bahwa kata dongeng menurut pengertian yang sempit adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan, sedangkan pengertian dongeng dalam arti luas adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi (Wiliam R. Bascom dalam Danandjaja, 1986: 85)
- Dongeng adalah cerita yang tidak benar-benar terjadi (Poerwadarminta, 1985: 357).
- [metode membaca permulaan]-Beberapa metode yang digunakan dalam pengajaran membaca permulaan, yaitu: a. Metode abjad (alfabet). Metode ini meliputi proses pengenalan huruf, merangkai huruf menjadi suku kata, merangkai suku kata menjadi kata, dan kata menjadi kalimat. b. Metode bunyi. Metode ini memfokuskan pada lafalan dan prosesnya berjalan sama seperti metode abjad. c. Metode suku kata. Diawali dengan menyajikan suku kata, kemudian dirangkai menjadi kata, merangkai kata dengan kata menggunakan kata sambung, suku kata kemudian dilepas menjadi huruf, dan mensintesiskan kembali huruf menjadi suku kata. d. Metode lembaga kata. Metode ini menggunakan kata yang diurai menjadi lembaga – lembaga kata. Kata diurai menjadi suku kata, kemudian suku kata menjadi huruf, lalu huruf disatukan menjadi suku kata dan kembali lagi menjadi kata. e. Metode global. Metode ini melalui langkah – langkah sebagai berikut: 1) Membaca kalimat dengan gambar. 2) Membaca kalimat tanpa gambar. 3) Mengurai kalimat menjadi kata. 4) Mengurai kata menjadi suku kata. 5) Mengurai suku kata menjadi huruf. f. Metode SAS (Struktural Analitik Sintetik). Pada metode ini ditampilkan struktur kalimat secara utuh, kemudian dianalisis menjadi kata, suku kata, dan huruf. Pada tahap sintesis struktur kalimat kemudian dikembalikan ke bentuk semula (Supriyadi dalam Lestary, 2004: 12).
- [tahapan membaca]-Chall (Ayriza, 1995: 20) menyatakan bahwa tahap pertama membaca adalah tahap membaca permulaan yang ditandai dengan penguasaan kode alfabetik. Tahap kedua adalah tahap membaca lanjut di mana pembaca mengerti arti bacaan.
- [tahapan membaca]-Grainger (2003: 185) menyebutkan adanya tiga tahapan dalam proses membaca. Tahap prabaca dapat dilihat dari kesiapan anak untuk memulai pengajaran formal dan tergantung pada kesadaran fonemis anak. Anak yang dinyatakan siap (biasanya pada anak – anak yang baru memasuki usia prasekolah) kemudian akan melalui tahap pertama dalam proses membaca. Tahap pertama adalah tahap logografis, anak – anak taman kanak – kanak atau awal kelas 1 menebak kata – kata berdasarkan satu atau sekelompok kecil huruf sehingga tingkat diskriminasi sangat buruk. Kemudian setelah mendapat pengajaran, diskriminasi menjadi lebih baik. Anak dapat membedakan kata yang sudah dan belum dikenal, namun mereka belum dapat membaca kata – kata yang belum dikenal. Strategi membaca awal pada tahap logografis secara umum tidak bersifat fonologis, tetapi lebih bersifat pendekatan global atau visual di mana pembaca awal mencoba mengidentifikasi kata secara keseluruhan berdasarkan ciri – ciri yang bisa dikenali. Tahap kedua adalah tahap alfabetis, pada tahap ini pembaca awal memperoleh lebih banyak pengetahuan tentang bagaimana membagi kata-kata ke dalam fonem-fonem dan bagaimana merepresentasikan bunyi-bunyi yang mereka baca dan eja dengan ortografi alfabet. Tahap ketiga dilalui ketika anak sudah lancar dalam proses dekoding. Anak pada tahap ini mampu memecahkan kata – kata yang beraturan dan tak beraturan dengan menggunakan konteks. Biasanya tahap ini berlangsung ketika anak berada pada pertengahan sampai akhir kelas 3 dan kelas 4 sekolah dasar.
- [tahapan membaca]-Mercer (dalam Abdurrahman, 2002: 201) membagi tahapan membaca menjadi lima, yaitu: 1) Kesiapan membaca. 2) Membaca permulaan. 3) Ketrampilan membaca cepat. 4) d. Membaca luas. 5) e. Membaca yang sesungguhnya.
- [teori]-Dalam hal baca tulis, lemahnya daya konsentrasi anak akan berpengaruh terhadap kemampuan membaca pada anak karena atensi dan motivasi perlu ditumbuhkan untuk mengembangkan kemampuan membaca (Dardjowidjojo, 2003: 300).
- [teori]-Kemampuan membaca anak tergantung pada kemampuan dalam memahami hubungan antara wicara, bunyi, dan simbol yang diminta (Grainger, 2003, h. 174).
- [tujuan KBK]-Tujuan KBK adalah memantapkan perkembangan fisik, emosi, dan sosial untuk siap mengikuti pendidikan berikutnya (Megawangi, 2005: 97).
- [tujuan]-Pengajaran membaca permulaan memiliki tujuan yang memuat hal – hal yang harus dikuasai siswa secara umum, yaitu: a) a. Mengenalkan siswa pada huruf – huruf dalam abjad sebagai tanda suara atau tanda bunyi. b) Melatih ketrampilan siswa untuk mengubah huruf – huruf dalam kata menjadi suara. c) Pengetahuan huruf –huruf dalam abjad dan ketrampilan menyuarakan wajib untuk dapat dipraktikkan dalam waktu singkat ketika siswa belajar membaca lanjut (Soejono dalam Lestary, 2004: 12).
- “Membaca” berarti melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis, atau mengeja dan melafalkan apa yang tertulis (KBBI, 1999: 72).
- Adanya 2 kelompok metode pengajaran membaca, yaitu pengajaran membaca bagi anak pada umumnya dan metode pengajaran membaca khusus bagi anak berkesulitan belajar. A) Metode pengajaran membaca bagi anak pada umumnya, antara lain: 1) Metode membaca dasar. Metode membaca dasar pada umumnya menggunakan pendekatan eklektik yang menggabungkan berbagai prosedur untuk mengajarkan kesiapan, perbendaharaan kata, mengenal kata, pemahaman, dan kesenangan membaca. Metode ini umumnya dilengkapi rangkaian buku yang disusun dari taraf sederhana hingga taraf yang lebih sukar, sesuai dengan kemampuan atau tingkat kelas anak – anak. 2) Metode fonik. Metode fonik menekankan pada pengenalan kata melalui proses mendengarkan bunyi huruf. Pada mulanya anak diajak mengenal bunyi – bunyi huruf, kemudian mensintesiskannya menjadi suku kata dan kata. Bunyi huruf dikenalkan dengan mengaitkannya dengan kata benda, misanya huruf “a” dengan gambar “ayam”. Dengan demikian, metode ini lebih bersifat sintesis daripada analitis. 3) Metode linguistik. Metode linguistik didasarkan atas pandangan bahwa membaca adalah proses memecahkan kode atau sandi yang berbentuk tulisan menjadi bunyi yang sesuai dengan percakapan. Anak diberikan suatu bentuk kata yang terdiri dari konsonan – vokal atau konsonan – vokal – konsonan, seperti “bapak” atau “lampu”. Kemudian anak diajak memecahkan kode tulisan itu menjadi bunyi percakapan. Dengan demikian, metode ini lebih bersifat analitik daripada sintetik. 4) Metode SAS (Struktural Analitik Sintetik). Metode ini pada dasarnya merupakan perpaduan antara metode fonik dan linguistik. Perbedaannya adalah jika di dalam metode linguistik kode tulisan yang dipecahkan berupa kata, di dalam SAS berupa kalimat pendek yang utuh. Metode ini berdasarkan asumsi bahwa pengamatan anak mulai dari keseluruhan (gestalt) dan kemudian ke bagian – bagian. 5) Metode alfabetik. Metode ini menggunakan dua langkah, yaitu memperkenalkan kepada anak berbagai huruf alfabetik dan kemudian merangkaikan huruf – huruf tersebut menjadi suku kata, kata, dan kalimat. 6) Metode pengalaman bahasa. Metode ini terintegrasi pada perkembangan anak dalam ketrampilan mendengarkan, bercakap – cakap, dan menulis. Bahan bacaan yang digunakan didasarkan atas pengalaman anak. B) Metode pengajaran membaca bagi anak berkesulitan belajar, antara lain: Metode Fernald. Fernald telah mengembangkan suatu metode pengajaran membaca multisensoris yang sering pula dikenal dengan metode VAKT (visual, auditory, kinesthetic, and tactile). Metode ini menggunakan materi bacaan yang dipilih dari kata – kata yang diucapkan oleh anak, dan tiap kata diajarkan secara utuh. Fernald (Yusuf, 2003: 95), beranggapan bahwa anak yang mempelajari kata sebagai pola utuh akan dapat memperkuat ingatan dan visualisasi. 2) Metode Gillingham. Metode ini merupakan pendekatan terstruktur taraf tinggi yang memerlukan lima jam pelajaran selama dua tahun. Aktivitas pertama diarahkan pada belajar berbagai bunyi huruf dan perpaduan huruf – huruf tersebut. Anak menggunakan teknik menjiplak bentuk huruf satu per satu. Yusuf (2003: 95) menyatakan perbedaan metode ini dengan metode Fernald, yaitu bahwa dalam metode ini huruf diberikan secara individual, bukan dalam bentuk kata. 3) Metode Analisis Glass. Metode ini memberikan pengajaran melalui pemecahan sandi kelompok huruf dalam kata. Ada dua asumsi yang mendasari metode ini. Pertama, proses pemecahan sandi (decoding) dan membaca merupakan kegiatan yang berbeda; kedua, pemecahan sandi mendahului proses membaca. Melalui metode ini, anak dibimbing untuk mengenal kelompok – kelompok huruf sambil melihat kata secara keseluruhan (Abdurrahman, 2002: 214).
- Ada 2 metode multisensori, yaitu yang dikembangkan oleh Fernald dan Gillingham. Perbedaan keduanya adalah, pada metode Fernald, anak belajar kata sebagai pola yang utuh sehingga akan memperkuat ingatan dan visualisasi; sedangkan metode Gillingham menekankan pada teknik meniru bentuk huruf satu per satu secara individual (Yusuf, 2003: 95).
- Anak usia dini berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat, baik fisik maupun mental (Suyanto, 2005: 5).
- Basis intervensi untuk anak-anak yang lemah membaca haruslah sistematis, terstruktur, koheren, kokoh, dan dapat dievaluasi. Anak – anak ini membutuhkan struktur. Mereka tidak dapat hanya diberi rangsangan dalam bahan cetak melainkan pengajaran berbasis ketrampilan yang berkelanjutan dan intensif (Menurut Grainger, 2003: 204).
- Beberapa praktik yang masih sering ditemui dalam pelajaran membaca dan menulis, adalah mengenal hurufhuruf tunggal, membaca alfabet, menyanyikan nyanyian alfabet, membentuk huruf di atas garis yang sudah ditentukan sebelumnya, atau menyuruh anak mengoreksi bentuk huruf di atas garis yang sudah dicetak merupakan contoh praktik yang tidak cocok diterapkan karena menekankan perkembangan ketrampilan secara terpisah (Santrock, 2002: 245).
- Beberapa proses belajar berasal dari latihan atau pengulangan suatu tindakan yang nantinya menimbulkan perubahan dalam perilaku (Hurlock, 1991: 29).
- Dalam metode multisensori, guru menulis setiap kata yang dipelajari, anak kemudian menelusuri dan melafalkan kata dengan keras. Proses ini menurut Smith dan Carnigan (dalam Myers, 1976: 287) memuat unsur yang penting dan esensial dalam belajar, karena proses tersebut menuntut perhatian yang maksimal dan menyediakan berbagai input sensoris yang mempercepat pemrosesan informasi.
- Dalam subtahap pemikiran simbolik tahap praoperasional, anak melambangkan suatu benda dengan benda lain. Anak dapat melakukan peniruan yang ditunda, di mana peniruan dilakukan setelah benda atau objek yang ditiru sudah tidak ada. Jadi, peniruan yang dilakukan tanpa kehadiran benda aslinya tersebut merupakan salah satu jenis simbolisasi atau bayangan mental (kemampuan akal) (Piaget dalam Chaer, 2003: 106).
- Demikian pula dengan ketrampilan mendengar (auditory skill). Ross (1984: 57) juga menyebutkan adanya 3 komponen dalam ketrampilan mendengar yang diperlukan saat membaca, yaitu persepsi auditoris (auditory perception), memori auditoris (auditory memory), dan diskriminasi auditoris (auditory discrimination). Ketiganya pun berperan penting dalam membaca, persepsi auditoris menentukan kemampuan mengenal bunyi – bunyi huruf; memori auditoris diperlukan untuk mengingat bunyi huruf; dan diskriminasi auditoris diperlukan dalam membedakan bunyi huruf satu dan yang lainnya.
- Doman (2005: 44) menyarankan sebaiknya anak mulai belajar membaca di periode usia 1 hingga 5 tahun. Menurutnya, pada masa ini otak anak bagaikan pintu yang terbuka untuk semua informasi, dan anak bisa belajar membaca dengan mudah dan alamiah.
- Fernald membagi programnya dalam 4 tingkatan pelaksanaan program remedial multisensoris adalah sebagai berikut (Mayers, 1976: 283). a. Tingkat satu. Anak diperbolehkan memilih satu kata yang ingin ia pelajari, panjangnya kata tidak diperhatikan. Guru menuliskan kata di atas kertas dengan krayon, kemudian anak menelusurinya dengan jari tangan (taktil-kinestetik). Saat menelusuri, anak melihat dan mengucapkan kata dengan keras (visual- auditoris). Proses ini diulang sampai anak mampu menulis kata tanpa melihat salinannya, waktu tidak dibatasi. Kata-kata yang telah dipelajari kemudian disatukan dalam sebuah cerita yang dikarang sendiri oleh anak dan dibacakan di depan guru (Myers, 1976: 283). b. Tingkat dua. Penelusuran dengan jari tidak lagi diperlukan jika anak sudah mampu mempelajari kata baru hanya dengan mengamati kata tersebut. Tidak ada batas waktu kapan penelusuran dihentikan, namun periode penelusuran rata – rata berlangsung selama 2 hingga 8 bulan. Meskipun anak tidak lagi menelusuri, ia tetap harus menulis kata sambil menyuarakannya (Myers, 1976: 284). c. Tingkat tiga. Anak belajar langsung dari kata – kata yang ditulisnya. Anak melihat kata, dan mampu menulisnya tanpa mengeja atau melihat salinannya. Di tingkat ini anak diberikan buku, yang isinya dibaca dan guru bertugas menjelaskan jika ada kata yang tidak diketahui anak. Saat membaca, guru membahas kata – kata baru dan diadakan evaluasi (recall) untuk mengetahui apakah kata – kata baru sudah disimpan dalam ingatan (Myers, 1976: 285-286). d. Tingkat empat. Tingkat empat dimulai saat siswa mampu menggeneralisasikan dan menemukan kata – kata baru berdasarkan kemiripan dengan kata – kata yang sudah dikenal. Di tingkat ini minat membaca anak sudah meningkat seiring dengan ketrampilan membacanya. Evaluasi terus menerus dilakukan dari tingkat ke tingkat. Jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa jumlah kata yang dikuasai berkurang, anak akan dikembalikan ke tingkat yang sebelumnya (Myers, 1976: 286).
- Havighurst (Hurlock, 1991: 30) menamakan kondisi kesiapan belajar yang ditentukan oleh kematangan ini sebagai teachable moment, atau saat yang tepat bagi anak untuk “diajar”.
- Hubungan antara bahasa dan pemikiran, bahwa meskipun dua hal tersebut awalnya berkembang sendiri – sendiri, tetapi pada akhirnya bersatu. Prinsip yang mempengaruhi penyatuan itu adalah pertama, semua fungsi mental memiliki asal – usul eksternal atau sosial. Anak – anak harus menggunakan bahasa dan menggunakannya pada orang lain sebelum berfokus dalam proses mental mereka sendiri. Kedua, anak – anak harus berkomunikasi secara eksternal menggunakan bahasa selama periode yang lama sebelum transisi kemampuan bicara eksternal ke internal berlangsung. Jadi, anak perlu belajar bahasa untuk mengasah ketrampilan mereka dalam melakukan proses mental seperti berpikir dan memecahkan masalah, karena bahasa merupakan alat berpikir. Demikian pula dengan membaca, yang merupakan salah satu komponen bahasa yang perlu dipelajari sejak dini (Lev Vygotsky dalam Santrock, 2002: 241).
- Indera yang kita miliki dapat disamakan sebagai jendela terhadap dunia luar. Indera pulalah yang menangkap informasi melalui proses yang disebut dengan penginderaan (sensasi). Masukan yang diterima oleh indera secara luar biasa akan diteruskan dan diubah sehingga kita dapat menghayati dunia luar. Proses mengorganisir dan menggabungkan data – data indera (hasil penginderaan) untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga kita dapat menyadari dan mengerti sekeliling termasuk diri kita sendiri inilah yang disebut dengan persepsi (Davidoff, 1988: 232).
- Jika anak belajar menulis dengan mengikuti titik – titik yang sudah dibuat guru, anak tidak mengerti apa yang ia tulis. Hal ini merupakan bentuk praktek pendidikan yang tidak patut (Megawangi, 2005: 89).
- Kemampuan untuk membaca dengan baik juga berdasar pada penyimpanan simbolik (iconic storage), yang memungkinkan pembaca untuk mengekstraksi hanya fitur – fitur inti dalam medan visual dan mengabaikan stimulus dari luar yang tidak perlu. Sama halnya, kapasitas seseorang untuk memahami pembicaraan akan berdasar pada penyimpanan suara (echoic storage) yang memungkinkan seseorang mempertahankan data pendengaran sementara yang baru datang menghampiri, sehingga abstraksi dapat dibuat berdasarkan konteks fonetis yang juga diperlukan dalam membaca dan mengeja (Solso, 1998: 48). Suara juga dinyatakan lebih memiliki manfaat dibanding penglihatan untuk jenis kegiatan yang membutuhkan kewaspadaan, karena rangsang pendengaran mempunyai kualitas yang lebih baik dalam pemusatan perhatian (Sanders, 1992: 50).
- Kesiapan untuk memulai pengajaran membaca tergantung pada kesadaran fonemis. Istilah ini meliputi banyak aspek kepekaan anak terhadap struktur bunyi kata lisan, menentukan kemampuan memetakan bunyi ke simbol yang penting untuk membaca, menulis, dan mengeja. Faktor ini pula yang nantinya menjadi dasar untuk membedakan kemampuan membaca pada anak normal dan pembaca lemah (Grainger, 2003: 185).
- Langkah – langkah pelaksanaan metode Gillingham – Stillman ini adalah sebagai berikut (Yusuf, 2003, h. 95): a. Kartu ditunjukkan pada anak, guru mengucapkan huruf dalam kartu, anak mengulang berkali – kali. Jika anak dirasa sudah mampu mengingat, guru menyebutkan huruf dan anak mengulangnya. b. Guru mengucapkan bunyi sambil bertanya huruf apa yang dibunyikan. Tahap ini dilakukan tanpa menunjukkan kartu huruf. c. Secara perlahan guru menulis dan menjelaskan bentuk huruf, anak menelusuri dengan jari dan menyalinnya. d. Guru meminta anak menuliskan huruf yang sudah dipelajari.
- Media – Pemakaian media dalam proses pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi, memberikan rangsangan kegiatan belajar, bahkan membawa pengaruh – pengaruh psikologis pada siswa (Hamalik dalam Arsyad, 2006: 16).
- Membaca hanya dapat dilakukan ketika anak sudah memenuhi prasyarat – prasyarat tertentu untuk berbicara. Prasyarat ini antara lain: menguasai sistem fonologis (bunyi), sintaksis (struktur kalimat), dan kemampuan semantik (kaitan makna antar kata) (Dardjowidjojo, 2003: 301).
- Membaca merupakan aktivitas sejumlah kerja kognitif termasuk persepsi dan rekognisi (Petty dan Jensen dalam Ampuni, 1998: 16).
- Membaca secara teknis juga mengandung makna bahwa dalam tahap ini anak belajar mengenal fonem dan menggabungkan (blending) fonem menjadi suku kata atau kata (Mar’at, 2005: 80).
- Membaca terkait erat dengan persepsi, yang berhubungan dengan visualisasi atau kepekaan alat indera terhadap stimulus visual serta rekognisi yang berarti pengenalan kembali hal – hal yang disimpan dalam ingatan (Walgito, 2002: 123).
- Mengajarkan membaca pada anak berarti memberi anak tersebut sebuah masa depan, yaitu memberi teknik bagaimana cara mengekplorasi “dunia” mana pun yang dia pilih dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan tujuan hidupnya (Bowman, 1991: 265).
- Menulis akan menambah hubungan antar neuron dan memperkuat jaringan syaraf, hal ini akan membentuk pola kompleks yang memungkinkan anak memiliki kemampuan untuk menerima informasi dari luar dan melakukan berbagai aktivitas (Tangada, 2003: 98).
- Menurut Montessori (Hainstock, 2002: 103), masa peka anak untuk belajar membaca dan berhitung berada di usia 4 – 5 tahun, karena di usia ini anak lebih mudah membaca dan mengerti angka.
- Metode – Suatu metode belajar belum tentu efektif untuk semua anak karena setiap anak mempunyai cara sendiri untuk belajar. Ada anak yang memiliki tipe belajar visual learners, auditory learners, kinesthetic learners, atau kombinasi (Ross, 1984: 99).
- Metode – Tidak ada metode khusus untuk mempercepat kemampuan membaca anak prasekolah, namun sebaiknya apapun metode yang digunakan sebaiknya memperhatikan kebutuhan dan gaya belajar anak (Puar, 1998: 30).
- Metode Fernald menggunakan kata sebagai pola yang utuh dalam belajar membaca, sedangkan metode Gillingham menggunakan huruf – hurif secara individual dan oleh karenanya memakan waktu yang lebih lama. Dengan kata lain, membaca dengan metode Fernald menggunakan proses top-down, dan Gillingham menggunakan proses bottom-up. Dalam kaitannya dengan persepsi, proses top-down memiliki peranan penting dalam membaca. Proses ini memiliki efek konteks, di mana kata memberikan konteks untuk huruf individual sehingga huruf menjadi lebih mudah ditangkap dan dipahami jika dipresentasikan sebagai bagian dari kata ketimbang jika dipresentasikan secara individual (Atkinson, 1999: 305).
- Metode Gillingham – Stillman merupakan suatu metode yang terstruktur dan berorientasi pada kaitan bunyi dan huruf, di mana setiap huruf dipelajari secara multisensoris. Metode ini digunakan untuk tingkat yang lebih tinggi dan bersifat sintesis, di mana kata diurai menjadi unit yang lebih kecil untuk dipelajari, lalu digabungkan kembali menjadi kata yang utuh (Myers, 1976, h. 279).
- Metode multisensori menurut Johnson (dalam Myers, 1976, h. 288) bertujuan menerapkan prinsip penguatan (reinforcement). Metode ini memastikan adanya perhatian aktif, menyajikan materi secara teratur dan berurutan, serta memperkuat, mengajarkan kembali, dan mengadakan pengulangan sampai kata tersebut dikuasai sepenuhnya.
- Metode multisensori yang dikembangkan oleh Grace Fernald merupakan sebuah metode membaca remedial – kinestetik yang dirancang untuk mengajari individu dengan kesulitan membaca yang ekstrim. Namun semua orang dengan inteligensi normal pun diterima dalam program ini dan dalam beberapa kasus mereka belajar membaca selama beberapa bulan hingga 2 tahun (Myers, 1976, h. 282).
- Multisensori terdiri dari dua kata yaitu multi dan sensori. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999: 671), kata “multi” artinya banyak atau lebih dari satu atau dua, sedangkan “sensori” (KBBI, 1999: 916) artinya panca indera. Maka gabungan kedua kata ini berarti lebih dari satu panca indera.
- Namun menurut Dardjowidjojo (2003: 301), dari segi neurologis pada usia 1 tahun otak baru berkembang 60% dari otak orang dewasa. Di usia ini anak belum dapat mengidentifikasi letak garis lurus dan setengah lingkaran apalagi kombinasinya, maka anak belum mungkin belajar membaca.
- Pada dasarnya metode membaca dibagi dalam dua jenis, yaitu sintesis dan analitis. Metode sintesis menyajikan kata yang diurai menjadi bagian yang lebih kecil, sementara metode analitis mengajari anak kata dalam bentuk yang utuh, baru kemudian mengurainya menjadi komponen – komponen. Metode Fernald bukan termasuk metode analitis, karena tidak berusaha mengajari anak mengurai kata menjadi bagian – bagian, namun metode ini dianggap lebih analitis daripada metode Gillingham karena memulai pengajaran dengan kata yang utuh (Myers, 1976: 279).
- Pendekatan lain yang ditujukan untuk anak yang mengalami kesulitan belajar atau tertinggal dari teman – teman sebayanya. Pendekatan – pendekatan ini digunakan dalam program remedial membaca, yaitu: a. Pendekatan multisensori. Pendekatan ini menganggap bahwa anak akan belajar lebih baik jika materi disajikan dalam berbagai modalitas seperti visual, kinestetik, taktil, dan auditoris. b. Modifikasi abjad. Pendekatan ini digunakan untuk menangani kesulitan membaca pada bahasa yang kaitan huruf dan bunyi tidak selalu konsisten. c. Kesan neurologis. Kegiatan utama dalam pendekatan ini adalah membaca cepat secara bersama – sama antara guru dan murid(Yusuf, 2003: 94)
- Pendekatan multisensori mendasarkan pada asumsi bahwa anak akan dapat belajar dengan baik apabila materi pengajaran disajikan dalam berbagai modalitas alat indera. Modalitas yang dipakai adalah visual, auditoris, kinestetik, dan taktil, atau disingkat dengan VAKT. Pendekatan membaca multisensori meliputi kegiatan menelusuri (perabaan), mendengarkan (auditoris), menulis (gerakan), dan melihat (visual). Untuk itu, pelaksanaan metode ini membutuhkan alat bantu (media) seperti kartu huruf, cat, pasir, huruf timbul, dan alat bantu lain yang sifatnya dapat diraba (konkret) (Yusuf, 2003: 95).
- Penelitian di negara maju pun menunjukkan sebaliknya, bahwa lebih dari 10% murid sekolah mengalami kesulitan membaca, yang kemudian menjadi penyebab utama kegagalan di sekolah (Yusuf, 2003: 69).
- Perangsangan taktil dalam metode multisensori menurut Ayres (dalam Myers, 1976: 288) juga mampu mengalihkan hal-hal yang memicu tingkah laku impulsif pada anak hiperaktif karena saat menelusuri kata, sistem protektif terhalangi, anak melibatkan dirinya dengan tugas perabaan di tangannya sehingga tidak lagi sensitif dengan pengaruh taktil di sekelilingnya. Pendapat ini pun dibuktikan dengan keberhasilan metode multisensori dalam menangani anak hiperaktif.
- Petty dan Jensen (Ampuni, 1998: 16) menyebutkan bahwa definisi membaca memliki beberapa prinsip, di antaranya membaca merupakan interpretasi simbol – simbol yang berupa tulisan, dan bahwa membaca adalah mentransfer ide yang disampaikan oleh penulis bacaan. Maka dengan kata lain membaca merupakan aktivitas sejumlah kerja kognitif termasuk persepsi dan rekognisi.
- Praktik pengajaran baca tulis di dalam kelas juga memuat beberapa kelemahan. Materi dalam buku penunjang lebih banyak menuntut anak untuk belajar menulis dengan menebalkan garis yang sudah ditentukan sebelumnya. Praktik ini jelas tidak sesuai dengan rekomendasi NAEYC maupun teori DAP yang telah dikemukakan di atas. Praktik ini pun justru bertentangan dengan prinsip pembelajaran konstruktivisme dan kontekstual dalam KBK itu sendiri yang mensyaratkan untuk memungkinkan siswa bereksplorasi dan menggali secara lebih dalam kemampuan, potensi, serta keindahan (Akhdinirwanto, 2003).
- Proses diskriminasi visual dan suara tersebut dapat dijelaskan menggunakan teori pengkodean ganda (dual coding theory) menurut Paivio (Mayer dan Sims, 1994: 390).
- Proses membaca melibatkan ketrampilan diskriminasi visual dan suara, proses perhatian, dan memori (Grainger, 2003: 180).
- Proses membaca mewajibkan pembaca menggunakan ketrampilan diskriminasi visual dan suara, proses perhatian, dan memori (Grainger, 2003, h. 180).
- Proses terjadinya persepsi diawali ketika stimulus mengenai alat indera dan kemudian akan diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak. Proses ini disebut sebagai proses fisiologis dalam persepsi. Selanjutnya, otak sebagai pusat kesadaran akan mengolah informasi sehingga individu menyadari apa yang dilihat, didengar, atau diraba. Proses di dalam pusat kesadaran inilah yang disebut proses psikologis. Fase terakhir dalam persepsi selanjutnya adalah individu menyadari apa yang diinderanya yang kemudian akan menghasilkan respon (Walgito, 2002: 71).
- Ross (1984: 56) menyebutkan adanya tiga komponen dalam ketrampilan visual (visualskill), yaitu persepsi visual (visual perception), memori visual (visual memory), dan diskriminasi visual (visual discrimination). Ketiganya berperan penting dalam membaca, persepsi visual menentukan kemampuan mengenal bentuk – bentuk huruf; memori visual diperlukan untuk mengingat bentuk huruf; dan diskriminasi visual diperlukan dalam membedakan bentuk huruf satu dan yang lainnya.
- Ross (1984: 59) menambahkan pula bahwa kemampuan mengontrol dan mengkoordinasi gerakan tubuh (ketrampilan kinestetik) memiliki efek yang positif bagi anak yang sedang belajar membaca dan menulis.
- Selain faktor yang berdasarkan ciri fisik stimulus, perhatian juga dipengaruhi variabel internal seperti motif, harapan, dan minat seseorang (Atkinson, 1997, h. 225).
- Selain ketrampilan visual dan auditoris, kepekaan taktil peraba juga dapat mempercepat proses membaca. Perabaan memberi informasi tentang bentuk, ukuran, dan berat sebuah benda. Perabaan juga memperjelas tekstur permukaan dan konsistensi mekanis dari suatu benda yang tidak jelas jika diamati secara visual (Sekuler, 1994: 379).
- Seleksi dan diskriminasi stimulus sangat ditentukan oleh perhatian. Sistem syaraf memiliki tempat di mana informasi sensorik yang masuk akan disimpan sementara dalam bentuk kasar dan tidak teranalisis, namun pada akhirnya hanya informasi yang relevanlah yang diperhatikan (Atkinson, 1997, h. 225).
- Sistem pendidikan bagi anak – anak yang mengalami kesulitan membaca telah mengembangkan suatu program remedial membaca yang salah satunya menggunakan metode multisensori (Yusuf, 2003: 69).
- Tahap ini ditandai dengan penguasaan kode alfabetik, di mana anak hanya sebatas membaca huruf per huruf atau membaca secara teknis (Chall dalam Ayriza, 1995: 20).
- Teori membaca yang amat berpengaruh adalah teori rute ganda. Teori rute ganda menjelaskan mekanisme yang terjadi pada pembaca awal dalam mencoba mengatasi kata – kata yang belum dikenal. Pembaca awal akan melalui dua rute yang akan menentukan suatu kata akan dikenali (berhasil dibaca) atau tidak. Rute pertama (rute visual), merupakan rute pengenalan yang tergantung pada pendekatan mencocokkan pola visual, di mana anak – anak menatap jalinan huruf cetak dan membandingkan pola itu dengan simpanan kata – kata yang telah mereka kenal dan pelajari sebelumnya. Rute kedua (rute fonologis), pembaca mengubah simbol (huruf) menjadi bunyi. Rute kedua mungkin hanya digunakan bila rute pertama gagal. Pembaca lemah sebagaimana pembaca awal menggunakan metode rute visual, namun mereka berbeda dalam hal kesadaran fonemis, karena anak – anak normal memiliki kesadaran fonemis yang memungkinkan mereka memanfaatkan asosiasi bunyi – simbol dan kemampuan memetakan bunyi ke dalam kata berdasarkan konsep mereka tentang bentuk huruf yang benar (Grainger, 2003: 190).
- Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam persepsi, yaitu objek yang dipersepsi; alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf; dan perhatian atau atensi (Walgito, 2002: 70). Objek yang ditangkap alat indera akan menimbulkan stimulus. Perhatian sebagai syarat psikologis persepsi memungkinkan individu untuk mengadakan seleksi terhadap stimulus (Walgito, 2002, h. 78). Seleksi tersebut dipengaruhi antara lain oleh intensitas atau kekuatan, ukuran, perubahan, ulangan, dan pertentangan atau kontras dari stimulus (Walgito, 2002: 92).
- Terdapat beberapa tahap dalam proses belajar membaca. Initial reading (membaca permulaan) merupakan tahap kedua dalam membaca menurut Mercer (Abdurrahman, 2002: 201).
- Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan anak dalam membaca. Secara umum, faktor – faktor tersebut datang dari guru, anak, kondisi lingkungan, materi pelajaran, serta metode pelajaran (Sugiarto, 2002).
- Waktu terbaik untuk belajar membaca kira – kira bersamaan waktunya dengan anak belajar bicara, dan masa peka belajar anak terjadi pada rentang usia 3 hingga 5 tahun (Doman, 2005: 13).Proses kematangan adalah terbukanya karakteristik yang secara potensial ada pada individu dan berasal dari warisan genetik (Hurlock, 1991: 28).
Kontak: 081 333 052 032