Oleh Cecep Rustandi
(Pegawai Negeri Sipil Pada Kementerian Keuangan)
Pandemi Corona Virus di Indonesia diawali dengan temuan penderita penyakit koronavirus 19 (Covid-19) pada 2 Maret 2020. Hingga 21 April 2020, telah terkonfirmasi 7.135 kasus positif COVID-19 dengan 842 kasus sembuh dan 616 kasus meninggal.
Semua bermula Pada tanggal 14 Februari 2020, seorang pasien terinfeksi virus corona berdansa dengan WNA Jepang. Pasien berusia 31 tahun ini bekerja sebagai guru dansa dan WNA asal Jepang ini merupakan teman nya. Selang dua hari, yakni 16 Februari 2020 pasien terkena sakit batuk.
Pasien kemudian melakukan pemeriksaan di rumah sakit terdekat. Namun, saat itu pasien langsung dibolehkan untuk kembali ke rumah atau rawat jalan. Sayang, sakit yang dideritanya tidak kunjung sembuh. Hingga pada 26 Februari 2020, pasien dirujuk lagi ke rumah sakit dan diminta untuk menjalani rawat inap. Pada saat itulah, batuk yang diderita pasien mulai disertai sesak napas. Pada 28 Februari 2020, pasien mendapatkan telepon dari temannya yang di Malaysia. Dalam sambungan telepon tersebut, pasien mendapatkan informasi jika WNA Jepang yang merupakan temannya itu positif terinfeksi virus corona. Selanjutnya si pasien mendatangi pihak rumah sakit RSPI Sulianti Saroso dan kemudian, pihak rumah sakit langsung memasukkan pasien dalam status pemantauan terkait virus corona.
Bank Pembangunan Asian (ADB) terbaru memproyeksikan perekonomian Indonesia akan tumbuh melambat atau hanya sekitar 2,5 persen pada 2020. Angka itu turun dari pencapaian 5,0 persen pada 2019, karena adanya pandemi Covid-19. Meski Indonesia memiliki landasan makroekonomi yang kuat, wabah Covid-19 yang tengah berlangsung telah mengubah arah perekonomian negara ini, hal ini terjadi karena dengan memburuknya kondisi lingkungan eksternal dan melemahnya permintaan dalam negeri.
Dan dari laporan Asian Development Outlook (ADO) 2020, bahwa pandemi COVID-19 bersamaan dengan penurunan harga komoditas dan gejolak pasar keuangan, akibatnya akan berimplikasi buruk bagi perekonomian dunia dan Indonesia tahun ini, terlebih dengan memburuknya perekonomian sejumlah mitra dagang utama. Permintaan dalam negeri diperkirakan akan melemah seiring dengan menurunnya sentimen bisnis dan konsumen.
Selanjutnya laju Inflasi diperkirakan akan naik tipis ke 3,0 persen pada 2020 dan tekanan inflasi yang berasal dari ketatnya pasokan pangan dan depresiasi mata uang diperkirakan dapat diimbangi sebagian oleh penurunan harga bahan bakar non-subsidi, serta subsidi tambahan untuk listrik dan pangan. Sementara itu, pendapatan ekspor dari sektor pariwisata dan komoditas diperkirakan akan menurun, sehingga menyebabkan defisit transaksi berjalan 2,9 persen dari Produk Domestik Bruto pada 2020.
Dan resiko terhadap proyeksi perekonomian Indonesia untuk 2020 ini adalah wabah Covid-19 yang berkepanjangan, penurunan harga komoditas lebih lanjut, serta meningkatnya gejolak pasar keuangan. Dari sisi dalam negeri, proyeksi ini juga bergantung pada seberapa cepat dan efektif penyebaran wabah dapat teratasi karena keterbatasan sistem kesehatan dan kesulitan dalam menerapkan pembatasan sosial bisa memperburuk dampak pandemi terhadap ekonomi.
Kemudian lembaga internasional atau International Monetary Fund (IMF) proyeksikan kembali pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sebelumnya 5% menjadi 0,5%. Dana Moneter Internasional atau IMF memprediksi ekonomi Indonesia hanya tumbuh 0,5% pada tahun ini akibat pandemi virus corona. Prediksi pertumbuhan ekonomi ini merupakan yang terendah sejak krisis ekonomi 1998-1999. Ekonomi Indonesia pada 1998 minus hingga 13,13% dan hanya tumbuh 0,79% pada 1999. Namun setelah itu, ekonomi Indonesia selalu tumbuh di atas 3%. Dalam laporan World Economic Outlook yang dirilis IMF pada Selasa (15/4), ekonomi global diprediksi minus 3% pada tahun ini, terburuk sejak ‘depresi berat’ pada 1929. Sementara ekonomi ASEAN-5 yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam diprediksi minus 0,6%. Dari lima negara ASEAN tersebut, ekonomi Indonesia, Filipina, dan Vietnam diprediksi masih mampu tumbuh. Vietnam masih mampu tumbuh 2,6%, sedangkan Filipina 0,6%. Sementara ekonomi Thailand diprediksi minus hingga 6,7%, sedangkan Malaysia 1,7%.
Pada sisi pelaku usaha industri dan bisnis, mereka akan menahan ekspansi karena rantai pasok global yang terganggu akibat pandemi corona serta turunnya permintaan di dalam negeri. Hal ini tercermin dari impor bahan baku dan penolong yang turun sepanjang tahun ini mengindikasikan perekonomian yang melambat. Impor bahan baku industri turun sepanjang tahun ini. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai hal tersebut sebagai pertanda melambatnya perekonomian. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor bahan baku dan penolong secara kumulatif Januari hingga Maret 2020 mencapai US$ 29,6 miliar, turun 2,82% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Meskipun impor tersebut pada Maret mencapai US$ 10,281 miliar, naik tipis 1,72% secara tahunan (year on year/yoy). Fakta ini menunjukkan, apabila pelaku usaha industri dan bisnis mengalami perlambatan maka ini pertanda perlambatan ekonomi.
Sebagaimana diketahui, industri manufaktur merupakan penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB) Indonesia dengan andil sekitar 20% terhadap total PDB. Sementara impor barang konsumsi pada Maret lalu mencapai US$ 1,26 miliar, naik 10,6% dibandingkan Maret 2019. Secara keseluruhan, impor barang konsumsi pada Januari-Maret 2020 mencapai US$ 3,61 miliar atau naik 7,11% yoy. Dan hal itu menunjukkan, bahwa turunnya impor bahan baku atau penolong mencerminkan industri dalam negeri masih menahan diri untuk sementara waktu. Sebab, para industri memutuskan untuk tidak mengimpor bahan baku selama periode tersebut. Hal ini juga dilihat dari Purchasing Manager’s Index (PMI) Maret yang berada di kisaran 45,3, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya 51,9. Nilai PMI di bawah 50 menunjukkan adanya penurunan aktivitas industri. Ini artinya pelaku usaha menahan diri untuk melakukan ekspansi.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani memperkirakan impor barang modal, bahan baku dan bahan penolong akan turun drastis akibat pandemi corona yang mengganggu rantai pasok global dan akan ada kombinasi masalah hambatan supply chain global seiring dengan adanya wabah dan penurunan kinerja yang sangat signifikan di level nasional, khususnya pada sektor manufaktur serta diperkirakan impor barang konsumsi, seperti pangan dan alat kesehatan akan dominan seiring dengan kebutuhan penanganan pandemi corona. Struktur impor konsumsi yang lebih tinggi menunjukkan industri nasional tengah terancam eksistensi dan pertumbuhannya. Hal tersebut dikhawatirkan akan menambah defisit APBN. Sebab, impor konsumsi yang tinggi dapat menjadi faktor pelebaran defisit APBN bila produktivitas dan harga komoditi ekspor nasional terus turun. Terlebih lagi, ada penurunan permintaan global terhadap komoditas mentah. Sementara ekspor tidak bisa terus diandalkan sebagai penghasilan lantaran permintaan dunia juga turun drastis dan dapat dipastikan hampir semua komoditas mengalami penurunan permintaan, kecuali bahan baku obat dan alat kesehatan.
Dari data-data dan peroyeksi-proyeksi diatas, maka negara Republik Indonesia akan mengalami kesulitan ekonomi yang dapat mengancam segala kesejateraan hidupnya di berbagai bidang kehidupan.
Akibat yang dapat terjadi setelah diberlakukannya Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) :
Sejumlah prosedur telah dilakukan pemerintah terkait penemuan kasus corona di Indonesia. Mulai dari mengisolasi rumah pasien, menjaga rumahnya hingga merawat pasien. Sejak kasus pertama diumumkan, angka kasus positif Covid-19 terus mengalami lonjakan. Dan kenaikan angka yang terpapar virus dinilai cukup besar (mengingat kasus pertama ada pada awal Maret lalu); Terhitung setidaknya baru sebulan corona masuk ke Indonesia, namun pasien positif sudah lebih dari seribu. Sebagai upaya menekan penyebaran Covid-19, Presiden Joko Widodo menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang telah ditandatangani oleh presiden. Dengan adanya kebijakan tersebut, Presiden Joko Widodo meminta agar pemerintah daerah tidak mengeluarkan kebijakan masing-masing. Presiden menegaskan semua kebijakan di daerah harus disesuaikan dengan peraturan, UU, PP serta Keppres tersebut.
Disamping itu pemerintah Indonesia melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly telah menerbitkan larangan sementara masuk atau transit di Indonesia bagi seluruh orang asing dan dengan enam pengecualian. Hal ini guna menekan penyebaran virus corona (Covid-19) di Indonesia. Larangan tersebut dimuat juga dalam Peraturan Menkumham Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pelarangan Sementara Orang Asing Masuk Wilayah Negara Republik Indonesia. Enam pengecualian tersebut meliputi orang asing pemegang izin tinggal terbatas dan izin tinggal tetap. Kemudian, orang asing pemegang visa diplomatik dan visa dinas, orang asing pemegang izin tinggal diplomat dan izin inggal dinas.
Penerapan PSBB dapat mengakibatkan guncangan (shock) terhadap ekonomi, yaitu : pertama, dari sisi konsumsi (Demand); kedua, dari sisi produksi (supply). Dimana dapat dijelaskan, bahwa praktik social distancing membuat shock pada sisi produksi (supply) yang terlihat dari penutupan pabrik dan kegiatan produksi. PHK tidak terelakan dan akan menurunkan daya beli masyarakat, akibatnya konsumsi barang menurun; kemudian , shock berasal dari sisi konsumsi (demand) maka praktik social distancing membuat keleluasaan untuk mengonsumsi barang akan menurun yang berimplikasi pada menurunnya permintaan barang tersebut. Akibatnya, perusahaan tidak mendapatkan pendapatan yang maksimal dan cenderung menurun. Dan perusahaan akan menurunkan biaya produksinya dan gelombang PHK akan terjadi.
Beberapa saran yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengatasi kondisi pasca PSBB, yaitu:
Pertama, selamatkan manusia dan korbankan ekonomi dalam jangka pendek agar dampak tidak terasa pada jangka panjang : adalah segera menanggulangi pandemi dengan berbagai macam cara dan dengan fasilitas dan alat kesehatan perlu menjadi prioritas utama;
Kedua, stimulus yang harus diberikan bagi industri untuk menjaga agar gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak besar atau tidak terjadi, yaitu:
- Setidaknya ada empat biaya besar bagi dunia bisnis dan industri yang perlu diperhatikan agar industri tidak cepat kolaps: tenaga kerja; utilitas dan sewa; pajak dan retribusi daerah; utang dan bunga pinjaman.
- Pemerintah perlu mengeluarkan stimulus bagi industri dengan tujuan agar likuiditas pekerja tetap terjaga, diantaranya: relaksasi PPh21, PPh22, PPh25 dan pembebasan PPN (dalam kurun 6 bulan; instrumen diberikan terbatas, bergantung pada sektor yang paling terdampak dan sasaran pada sektor padat karya khususnya usaha mikro, kecil dan menengah -UMKM manufaktur dan UMKM) pariwisata; pembebasan iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan (dalam kurun 6 bulan); dan insentif bagi industri yang merubah lini produksinya menjadi pemenuhan kebutuhan medis (insentif ini bisa diberikan terbatas seperti kepada industri perusahaan farmasi, elektronik dan tekstil); serta kelonggaran utang dan bunga kredit (kelonggaran kredit konsumsi khususnya bagi driver transportasi online akan sangat membantu mengatasi penurunan permintaan di sektor ini);
Ketiga, memastikan kecukupan dan keterjangkauan pasokan pangan, yaitu :
Bahwa dengan merebaknya pandemi COVID-19 turut berimplikasi terhadap lonjakan permintaan akan bahan kebutuhan pokok. Anjuran pemerintah agar masyarakat melakukan kegiatan bekerja, belajar dan beribadah dari rumah mendorong masyarakat untuk melakukan pembelian sembako secara masif guna memenuhi persediaan hingga beberapa waktu mendatang.
(Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) per 23 Maret 2020, beberapa komoditas bahan pokok mengalami kenaikan harga (rata-rata harga nasional) yang signifikan dalam sebulan terakhir dan kenaikan sejak awal tahun (year to date/ytd) antara lain gula pasir lokal 18,71% (ytd 31,2%), gula pasir kualitas premium 10,68% (ytd 15,54%), bawang putih naik 36% (ytd), bawang merah 5,56% (ytd 4,57%), cabai rawit merah 18,11% (ytd 2,74%). Sementara itu, harga kebutuhan pokok lainnya seperti beras, daging ayam, daging sapi, telur ayam, dan minyak goreng relatif stabil); dan guna meredam lonjakan harga pangan, langkah pertama yang harus ditempuh pemerintah adalah memetakan secara akurat stok pangan nasional secara real time. Pemetaan stok dan harga pangan harus lebih intensif lagi sehingga dapat mendeteksi dini wilayah di mana saja yang beresiko terjadi rawan/krisis pangan. Selain itu, pemerintah juga harus lebih transparan dalam menginformasikan kepada publik terkait stok pangan dan strategi apa saja yang akan dilakukan guna menjaga stok pangan tetap terjaga dalam batas aman. Pemerintah juga harus mencermati pelemahan nilai tukar rupiah yang akan berimbas terhadap kenaikan harga pangan yang bersumber dari impor; Perhatian khusus berupa penyiapan stok pangan terhadap wilayah yang menjadi episentrum penyebaran Covid-19 yang berpotensi dilakukan penutupan wilayah tersebut (lockdown terbatas), dimana, pemerintah juga harus menjamin kelancaran sistem logistik pangan dari dan ke wilayah tersebut serta kesiapan distribusi ke level konsumen (ketersediaan pasokan pangan di tengah wabah Covid-19 semakin urgen karena sebulan lagi akan menghadapi bulan Ramadhan).
Fenomena panic buying yang sempat terjadi di beberapa daerah red zonepersebaran Covid-19 berdampak pada keterbatasan akses kelompok rumah tangga kelas menengah ke bawah yang tidak mampu “menyetok” bahan makanan. Untuk meredam shock kenaikan permintaan dan potensi penimbunan kebutuhan pokok, pemerintah dapat mengoptimalkan pengawasan terhadap aturan pembatasan pembelian kebutuhan pokok baik di pasar tradisional maupun pasar ritel modern; dan selanjutnya selain menjamin stok bahan pangan, cara distribusi bantuan sosial dalam hal ini adalah sembako, memerlukan teknis baru untuk mencegah adanya perkumpulan warga yang menumpuk di suatu lokasi. Pendistribusian sembako dapat dilakukan dengan door to door service oleh pejabat yang berwenang di setiap daerah, atau dilakukan di kantor desa/kecamatan/kelurahan dengan pengaturan jadwal yang menyesuaikan kebutuhan lapangan.Selain itu, agar penyaluran bantuan sembako berjalan efektif dan efisien dapat juga bekerja sama dengan perusahaan e-commerce yang saat ini sudah memiliki sistem online serta distribusi penyaluran yang cukup baik. Ini sekaligus juga bisa mengurangi intensitas masyarakat untuk keluar rumah dan antri sembako.
Keempat, mempercepat dan memperluas bantuan Sosial, bahwa : lumpuhnya sebagian besar aktivitas ekonomi terutama di wilayah terpapar COVID-19 meningkatkan resiko PHK di berbagai sektor (pariwisata, hotel, restoran, travel agent, tempat hiburan, industri manufaktur, dan lainnya). Selain itu, pekerja informal yang mencapai 70,5 juta orang (55,72% dari total tenaga kerja Indonesia) juga akan mengalami tekanan ekonomi yang berat. Pemerintah memiliki tanggungjawab yang sangat besar untuk memastikan keselamatan warga serta jaminan kebutuhan dasar warga terutama kelompok miskin dan rentan miskin, ditambah pekerja informal yang terputus dari sumber penghasilan harian. Selain itu, dengan terus bertambahnya jumlah korban yang terpapar Covid-19 (PDP, OPD, dan Positif) memaksa mereka untuk tidak bisa melangsungkan pekerjaannya. Sehingga, bagi penderita Covid-19 yang masuk kategori pekerja informal (terutama kepala rumah tangga) maka sudah pasti mereka tidak lagi bisa menafkahi keluarganya. Untuk itu, pemerintah juga harus mengalokasikan jaminan perlindungan sosial kepada para kelompok pekerja yang tengah masuk proses karantina ataupun penyembuhan; Saat ini terdapat 29,3 juta keluarga atau 99,3 juta jiwa yang masuk dalam daftar Data Terpadu Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Data tersebut merupakan kelompok masyarakat 40% status sosial ekonomi terendah. Melalui basis data terpadu tersebut, pemerintah melakukan pemetaan untuk penyaluran berbagai jenis bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH),
Kartu Perlindungan Sosial (KPS), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Beras Untuk Keluarga Sejahtera (Rastra), Penerima Bantuan Iuran (PBI Jaminan Kesehatan) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan). Dengan melihat potensi bertambahnya kelompok rumah tangga (terutama pekerja informal) masuk dalam kategori rentan miskin, maka pemerintah patut mempertimbangkan perluasan bantuan sosial kepada kelompok tersebut; Pembagian bantuan sosial tersebut harus difokuskan kepada: kelompok rumah tangga yang selama ini tercatat menerima bantuan sosial (dapat menggunakan data penerima raskin, data penerima Kartu Indonesia Sehat, data penduduk miskin di daerah), kelompok rumah tangga dengan kepala keluarga yang sudah pensiun (dapat menggunakan data penerima gaji pensiun tetapi hal ini sangat tidak merata), kelompok rumah tangga berpendapatan rendah yang memiliki anak usia <15 tahun, kelompok wanita berpendapatan rendah yang sedang hamil dan perlu dicukupkan nutrisinya, kemudian kelompok lansia yang perlu dicukupkan nutrisinya dan kelompok pekerja harian/informal.
www.infodiknas.com – admin@inodiknas.com