Ciri-Ciri Kepala Sekolah yang Efektif pada
Sekolah Menengah Kejuruan
(Studi Kasus di SMK Merapi dan SMK Merbabu)
Samidjo*
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menemukan ciri-ciri kepala sekolah pada
sekolah menengah kejuruan yang efektif, yaitu kepala SMK Merapi dan SMK
Merbabu. Fokus penelitian adalah untuk menemukan ciri-ciri tentang kepemimpinan,
visi, pengambilan keputusan dan penguasaan tugas sebagai kepala sekolah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-naturalistik dengan rancangan
studi kasus. Data penelitian dikumpulkan dengan metode observasi, wawancara dan
dokumentasi. Pengecekan keabsahan data dilakukan dengan teknik member checking
dan triangulasi, baik truangulasi sumber data maupun metode pengumpulan data.
Peneliti bertindak sebagai instrumen kunci dalam memperoleh data, sedangkan
kepala sekolah sebagai informan kunci. Data penelitian dianalisis secara induktif.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kepala SMK Merbabu menunjukkan ciri
menonjol (punjul ing a papak, mrojol ing a kerep) sedangkan kepala SMK Merapi
menunjukkan ciri yang pertama di antara yang sama ‘primus interpares’. Kepala
SMK Merapi yang memiliki ciri ‘primus interpares’ cenderung bekerja sendiri, tidak
mempercayai bawahan, dan dapat memunculkan rivalitas. Kepemimpinan kepala
SMK Merbabu yang memiliki ciri ‘punjul ing a papak, mrojol ing a kerep’ cenderung
memimpin lebih demokratis, terbuka terhadap kritik dan memiliki kekuatan moral
untuk memimpin. Kedua kepala sekolah berani mengambil resikodalam pengambilan
keputusan dan tidak menunjukkan ciri kepemimpinan instruksional yang kuat.
Kata kunci: kepala sekolah, kualitatif, primus interpares, menonjol
Pendahuluan
Masalah pokok dalam pengelolaan sekolah menengah kejuruan sama dengan sekolah
menengah atas, yaitu masalah kurikulum, proses belajar mengajar, tenaga pengajar,
*
Samidjo adalah Dosen dipekerjakan pada Kopertis Wilayah V Yogyakarta.
masalah kesiswaan, serta masalah penciptaan suasana yang kondusif untuk belajar
bagi siswa dan untuk bekerja bagi guru. Namun, ada beberapa persoalan yang tidak
dijumpai dalam pengelolaan sekolah umum menjadi demikian penting dalam
penyelenggaraan sekolah kejuruan. Praktik kejuruan, praktik industri, pengelolaan
bengkel kerja, pengelolaan keselamatan kerja bagi siswa dan guru praktik, dan
pembinaan hubungan kerja sama dengan dunia usaha dan industri merupakan
masalah yang spesifik pada sekolah kejuruan. Biaya penyelenggaraan sekolah
kejuruan yang tinggi, mencapai 40 persen lebih tinggi dibandingkan sekolah umum
(World Bank, 1998: 88, Sugiyono, 2001; Psacharopoulos dan Woodhall, 1985: 124),
juga merupakan masalah tersendiri dalam pengelolaan sekolah menengah kejuruan.
Pengelolaan sekolah menengah kejuruan yang bertujuan menyiapkan lulusan
untuk memasuki lapangan kerja harus selalu memperhatikan industri-industri yang
akan menjadi sasaran dalam memasarkan lulusan, apakah industri modern, industri
menengah atau industri tradisional. Oleh karena itu, kepemimpinan pada sekolah
menengah kejuruan dituntut memiliki wawasan yang memadai mengenai persaingan
lulusan dalam memperebutkan peluang kerja pada industri-industri yang menjadi
sasaran untuk memasarkan para lulusan tersebut. Kepala sekolah pada sekolah
menengah kejuruan juga dituntut memiliki wawasan yang memadai dalam
perkembangan permesinan yang digunakan dalam proses produksi di industri,
kebutuhan tenaga kerja oleh industri, baik jumlah maupun kualifikasinya, serta
persaingan dengan sekolah-sekolah lain yang menghasilkan lulusan yang memiliki
kualifikasi sama.
2
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Merapi dan SMK Merbabu merupakan
sekolah yang mampu menjalankan misinya sebagai sekolah kejuruan. Kedua sekolah
ini mampu menyiapkan lulusan untuk menjadi tenaga kerja siap pakai. Pada saat
banyak lulusan sekolah kejuruan kesulitan mencari pekerjaan, lulusan SMK Merapi
dan SMK Merbabu banyak yang direkrut oleh perusahaan sebelum mereka
menyelesaikan pendidikannya. Rekrutmen lulusan pada kedua SMK ini mencapai
rata-rata 80% setiap tahun. Kondisi yang demikian tentu bukan merupakan masalah
kebetulan, akan tetapi merupakan hasil kerja keras para guru, staf adminstrasi
sekolah, para siswa dan orang tua, serta dukungan masyarakat di bawah
kepemimpinan kepala sekolah tersebut. Kepala sekolah tentu memainkan peranan
yang sangat dominan dalam mewujudkan misi sekolah. Dalam kaitan inilah
penelitian ini dilaksanakan guna mengungkap apa yang dipikirkan, diucapkan dan
dikerjakan oleh kepala sekolah dalam memimpin sekolah masing-masing, sehingga
sekolah mampu mencapai kondisi sebagaimana diuraikan sepintas di atas.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ciri-ciri yang ditunjukkan
kepala SMK Merapi dan SMK Merbabu sehingga mampu menghasilkan lulusan yang
siap memasuki dunia kerja?
Penelitian ini dilakukan untuk mendiskripsikan ciri-ciri yang ditunjukkan oleh
kepala SMK Merapi dan SMK Merbabu dalam mengelola sekolah sehingga mampu
menghasilkan lulusan yang siap memasuki dunia kerja. Fokus penelitian diupayakan
untuk mengkaji dan mendeskripsikan visi, pola pengambilan keputusan,
kepemimpinan, dan penguasaan tugas sebagai kepala sekolah.
3
Kajian Literatur
Hasil-hasil penelitian tentang kepemimpinan sekolah dasar dan sekolah
menengah menunjukkan bahwa kepala sekolah yang baik menunjukkan ciri-ciri
antara lain memiliki visi yang jelas, kepemimpinan yang kuat dan memiliki harapan
yang tinggi terhadap prestasi siswa dan kinerja guru (Davis dan Thomas, 1989: 57;
Sergiovanni, 1987a: 89; DeRoche, 1987:23). Scheerens dan Bosker (1997: 207)
berpendapat bahwa yang membedakan antara sekolah yang kualitasnya baik dengan
sekolah yang kualitasnya biasa adalah kepemimpinan kepala sekolahnya.
Goldhammer dan Becker (Davis dan Thomas, 1989: 17) juga menyatakan bahwa
dalam sekolah yang bagus tidak dapat dihindari akan dijumpai kepala sekolah yang
agresif, dinamis dan secara profesional berhati-hati dalam menyediakan program-
program pendidikan yang dianggap penting. Tidak ada sekolah baik dengan kepala
sekolah jelek, atau sekolah jelek dengan kepala sekolah baik. Banyak sekolah yang
gagal berbalik menjadi sukses, dan sekolah yang bagus menjadi merosot dengan
tajam. Membaik dan memburuknya sekolah dapat dilacak dari kualitas kepala
sekolahnya (Davis dan Thomas, 1989: 17).
Menurut Purkey dan Smith (DeRoche, 1987: 2; Scheerens dan Bosker, 1997:
154), indikator yang menggambarkan ciri sekolah yang efektif adalah manajemen
berbasis sekolah dan pengambilan keputusan secara demokratis, kepemimpinan
instruksional, waktu belajar maksimal, perencanaan kolaboratif dan adanya pola
hubungan kolegial di antara para guru. DeRoche (1987) memberikan ciri sekolah
efektif adalah bila kepala sekolah aktif mengatasi dan menyelesaikan masalah
4
pengajaran dan pembelajaran, mengobservasi kelas, kepala sekolah dan staf pengajar
memiliki harapan yang tinggi terhadap siswa. Sementara itu, Edmons dan Weber
(Caldwell dan Spink, 1992: 53) mencirikan sekolah efektif antara lain memiliki
kepemimpinan pengajaran yang kuat, dan memiliki kepala sekolah yang mampu
membuat keputusan yang jelas, konsisten dan adil. Selain memiliki ciri
kepemimpinan instruksional yang kuat, kajian sekolah efektif yang dilakukan para
peneliti pada umumnya juga mencirikan adanya suasana sekolah yang aman dan
teratur, dan pentingnya faktor budaya sekolah (Sergiovanni, 1987a).
Ada tiga masalah yang secara tidak langsung sering dikaitkan dengan
tanggung jawab kepala sekolah, yaitu manajemen konflik, pengambilan keputusan
dan memperkenalkan perubahan organisasi pada sekolah yang dipimpin (Blumberg
dan Greenfield, 1980). Melalui kerja sama dengan administrator sekolah dari
berbagai tingkatan diyakini bahwa kepala sekolah yang efektif adalah jika kebijakan
perubahan yang dibuat dapat diimplementasikan dengan lancar. Pada umumnya para
pengawas sekolah lebih senang jika konflik yang muncul di sekolah dapat dikelola
oleh kepala sekolah yang bersangkutan.
Sergiovanni, dkk. (1987b: 293) mengidentifikasi ada lima ciri kepala sekolah
yang mengagumkan (admirable), yaitu (1) memiliki pemahaman yang luas terhadap
sekolah yang dipimpin (what the school is about), terutama mengenai keteraturan
sekolah, kesesuaian situasional, dan perubahan-perubahan yang terjadi; (2) sulit
mengatakan ‘tidak’ untuk membantu para siswa dan guru agar tumbuh dan
berkembang; (3) memiliki kemampuan ‘mendengarkan’; (4) senang bekerja sama
5
dengan orang lain sehingga orang lain tersebut dapat berhasil; (5) toleran terhadap
situasi ambiguitas, dan memahami bahwa budaya sekolah terus berkembang
sepanjang waktu.
Ada tiga faktor yang dipandang dapat menjadi indikasi keberhasilan kepala
sekolah yang efektif (Blumberg dan Greenfield, 1980). Ketiga faktor tersebut adalah
(1) keinginan dan harapan untuk menjadikan sekolah yang dipimpin lebih dari
sekolah-sekolah lain, dan mampu menstrukturisasi waktu dan harapannya sedemikian
rupa sehingga memungkinkan kepala sekolah yang bersangkutan mencapai tujuan
pribadinya sebagai kepala sekolah; (2) kecenderungan berinisiatif dan memulai
tindakan proaktif terhadap situasi kerjanya, dan (3) memiliki kemampuan untuk tidak
ditenggelamkan oleh lembaganya. Kepala sekolah tidak dapat mengabaikan tuntutan
sekolahnya, tetapi lebih dapat dikatakan mampu memuaskan dengan menggunakan
sedikit porsi waktu dan energi, atau memanfaatkan personel lain untuk memenuhi
tuntutan organisasi sekolahnya.
Menurut Goldhammer dan Becker (Sergiovanni, dkk. 1987b: 30) dalam
kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dapat ditemukan ciri-ciri (1) secara umum
pada mulanya hanya ingin mengajar dan tidak ingin menjadi kepala sekolah, tetapi
kemudian mendapat dorongan dari para seniornya untuk menjadi kepala sekolah, (2)
memiliki komitmen yang kuat terhadap pendidikan, (3) agresif dalam mengupayakan
kebutuhan-kebutuhan sekolah, (4) sangat antusias dan menerima tanggung jawab
sebagai misi bukan sebagai pekerjaan (job), (5) memiliki sifat sebagai ahli strategi
(strategist), (6) mampu beradaptasi dengan baik, (7) memiliki kemampuan bekerja
6
sama dengan orang lain, dan (8) menekankan tanggung jawabnya terhadap
penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi para muridnya.
Untuk melakukan perbaikan kepemimpinan sekolah, Patterson, dkk. (1986:
109) memberikan pandangannya berikut ini, (1) kepala sekolah adalah pemimpin
kunci, tetapi bukan satu-satunya yang dapat memimpin untuk melakukan perbaikan,
karena kepemimpinan juga dapat berasal dari guru dan staf administrasi; (2)
kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dapat memanfaatkan suara lain, yaitu
dengan lebih demokratis dan sensitif terhadap hubungan antar manusia; (3) bukan
hanya gaya kepemimpinan, tetapi tingkah laku juga dapat bervariasi dan sama-sama
dapat menjadi kepala sekolah yang efektif; (4) yang dilakukan kepala sekolah
mungkin saja berbeda dengan yang mereka akan lakukan pada sekolah lain yang
memiliki struktur organisasi yang berbeda; (5) kepala sekolah memerlukan bantuan
dan pelatihan untuk memperoleh keterampilan memimpin, merlukan dukungan jika
berhadapan dengan pengalaman baru, dan perlu akses yang baik terhadap sumber
yang diperlukan agar dapat mengimplementasikan kebijakan dan program-
programnya.
Selain pandangan dalam perbaikan kepemimpinan sekolah, Patterson, dkk.
(1986: 106) juga memberikan pedoman yang prinsip dalam melakukan perbaikan
sekolah, yaitu (1) hindari kecenderungan berpikir ‘hanya jika’, misalnya sekolah akan
baik hanya jika gurunya lebih baik atau hanya jika disediakan teknologi pengajaran
yang baik, karena teknologi sendiri tidak dapat membalik dari sekolah yang tidak
baik menjadi baik; (2) berpikir secara politis mengenai bagaimana staf dapat bekerja
7
sama, artinya kepala sekolah harus mampu menganalisis sekolah bukan hanya secara
budaya, tetapi juga adanya aktor-aktor kunci lain yang keberadaannya perlu diakui
sebagai kelompok yang memiliki kepentingan; (3) pemberdayaan orang lain dengan
pendekatan pembentukan tim (team buiding), desentralisasi pengambilan keputusan,
memberi otonomi kepada para guru dan demokrasi dalam pengambilan keputusan.
Penyelenggaraan pendidikan kejuruan di Indonesia telah diatur dengan
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990. Pasal 3 Ayat (2) peraturan ini
menyebutkan bahwa tujuan pendidikan menengah kejuruan mengutamakan
penyiapan siswa memasuki lapangan kerja serta pengembangan sikap profesional.
Melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 181/U/1996
pemerintah telah menetapkan kebijakan agar sekolah kejuruan lebih responsif dalam
menjawab tantangan kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan untuk pembangunan.
Upaya merealisasikan kebijakan tersebut adalah dengan meningkatkan mutu,
relevansi dan daya tampung SMK, bekerja sama dengan industri melalui pendidikan
sistem ganda (PSG), dan pengembangan unit produksi (Kepmendikbud, 1996).
Tujuan pendidikan vokasional adalah untuk mengurangi ketergantungan siswa
secara ekonomi terhadap keluarga dan masyarakat dengan cara mengembangkan
pemahaman, sikap dan keterampilan yang memadai yang diperlukan untuk bekerja
(Sergiovanni, 1987a). Gorton (1976: 13) menyatakan bahwa sekalipun pandangan
mengenai sekolah harus menyiapkan siswa untuk berperan dalam masyarakat masih
dapat diperdebatkan, tetapi perlu ditekankan adanya bukti bahwa pada akhirnya
persiapan itu memang harus dilakukan. Sekolah harus menyiapkan anak untuk
8
menjadi pebelajar yang mandiri untuk keperluan pendidikan karier (career
education), pengembangan kepribadian (personality development), dan
pengembangan kognitif.
Bentuk pendidikan kejuruan (vocational education) pada jaman dulu yang
penting untuk dikemukakan adalah pemagangan (apprenticeship). Bahkan sejak
tahun 2100 SM, pemagangan telah menjadi sarana utama dalam menyediakan
layanan pendidikan untuk bekerja (education for work). Sejak abad 16 terjadi
perubahan terhadap pendekatan pendidikan kejuruan setelah munculnya konsep
belajar sambil bekerja (learning by doing). Para pendidik menyadari pentingnya nilai
(value) kerja diberikan melalui sebuah proses membuat suatu barang menggunakan
tangan atau peralatan dengan terampil (Finch dan McGough, 1982: 5).
Fungsi pendidikan kejuruan pada awal perkembangannya adalah untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan masyarakat. Sementara
pemenuhan kebutuhan tenaga kerja tetap merupakan fungsi penting, perkembangan
selanjutnya juga menekankan pada fungsi untuk memperkaya (enrich) kehidupan
orang-orang yang dilayani. Pendidikan kejuruan dapat memotivasi peserta didik yang
berminat menyiapkan diri untuk menguasai jenis pekerjaan tertentu, kemudian
menemukan bahwa bidang yang sebelumnya ditolak di kemudian hari menjadi
penting bagi penampilan kerja mereka di lapangan (Wenrich dan Wenrich, 1974: 34).
Kecenderungan pendidikan sekarang menunjukkan upaya untuk memberikan
penekanan pada kemandirian dalam belajar, atau penemuan cara pembelajaran yang
memungkinkan siswa meningkatkan kebebasan dalam memilih pengalaman
9
pendidikan yang disukai. Tetapi tujuan pendidikan kejuruan yang mencakup
penguasaan teknis dan pengembangan kebiasaan kerja yang aman dan efisien,
ditambah dengan keterbatasan phisik dan resiko keselamatan yang melekat pada
kebanyakan bengkel-bengkel pendidikan kejuruan, dapat menghambat pencapaian
tujuan pembelajaran yang menekankan kebebasan memilih pengalaman pendidikan
yang disukai ini (Storm, 1979: 141).
Metode Penelitian
Penelitian tentang ciri-ciri kepala SMK yang efektif ini merupakan penelitian
dengan pendekatan kualitatif. Dalam dunia pendidikan penelitian kualitatif sering
disebut penelitian naturalistik (Bogdan dan Biklen, 1992: 3) karena peneliti
menghendaki kejadian-kejadian yang berkaitan dengan fokus penelitian muncul
secara alami.
Tempat dan Waktu Penelitian
Untuk mendeskripsikan ciri kepala SMK Merapi dan SMK Merbabu, peneliti
berusaha menangkap segala sesuatu yang dipikirkan, diucapkan dan dikerjakan oleh
kepala sekolah dalam memimpin sekolah, peristiwa-peristiwa lain yang muncul
dalam konteks kepemimpinan serta maknanya bagi warga sekolah yang lain. SMK
Merapi dan SMK Merbabu dikelola oleh yayasan yang sama, namun lokasi kedua
sekolah tersebut berada pada dua kabupaten yang berjarak kira-kira 60 kilometer, di
Propinsi Jawa Tengah.
10
Penelitian ini menggunakan rancangan studi kasus, karena dilaksanakan pada
dua sekolah yang memiliki latar (setting) yang berbeda. Kasus 1, SMK Merapi,
berlokasi di tengah kota Kabupaten Klaten. Lokasi sekolah berada di lingkungan
sekolah-sekolah lain baik negeri maupun swasta. Di kota ini terdapat industri-industri
besar dan kecil, sehingga para siswa SMK mudah mendapatkan industri untuk
melaksanakan praktik kerja. Sementara itu, Kasus 2, SMK Merbabu, berlokasi di
lereng Gunung Merapi, kira-kira 20 kilometer dari pusat kota Kabupaten Magelang.
Di daerah ini hanya ada beberapa industri yang layak untuk melaksanakan praktik
kerja sehingga para siswa SMK Merbabu pada umumnya mencari tempat praktik
kerja industri ke kota-kota besar di daerah atau propinsi lain. Dengan demikian, para
siswa harus tinggal di kota lain selama menjalani praktik kerja. Penelitian ini
dilaksanakan selama 10 bulan, dimulai pada bulan Juli tahun 2003 sampai dengan
bulan April tahun 2004.
Fokus Penelitian
Penelitian ini akan difokuskan untuk mendeskripsikan visi, pola pengambilan
keputusan, kepemimpinan dan penguasaan tugas sebagai kepala sekolah. Visi kepala
sekolah akan dikaji sejauh mana kepala sekolah melihat jauh ke depan berbagai
tantangan yang dihadapi sekolah dalam persaingan dengan sekolah-sekolah lain yang
sejenis, sejauh mana kepala sekolah menggambarkan tantangan yang akan dihadapi
oleh para calon lulusan pada tahun-tahun yang akan datang dalam berkompetisi
mendapatkan pekerjaan secepatnya setelah mereka menyelesaikan pendidikan. Juga
11
tentang sejauh mana kepala sekolah memandang kekuatan-kekuatan yang ada dalam
sekolah yang mencakup personel yang dimiliki baik jumlah maupun kualifikasinya,
peralatan-peralatan praktik yang dimiliki baik jumlah maupun spesifikasinya,
berbagai dukungan masyarakat, baik dari masyarakat industri sebagai pasangan
dalam pelaksanaan praktik kerja maupun sebagai pengguna lulusan, dan masyarakat
(orang tua) yang akan menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah ini.
Kepemimpinan dalam penelitian ini akan difokuskan pada kajian terhadap
upaya kepala sekolah dalam menggerakkan warga sekolah baik guru, staf
administrasi, orang tua siswa, pengurus yayasan, dan komponen-komponen lain yang
terkait dalam memajukan sekolah untuk bersinergi mencapai tujuan sekolah.
Pengambilan keputusan akan difokuskan pada kajian terhadap tindakan-
tindakan kepala sekolah dalam menentukan atau mengambil keputusan tentang segala
sesuatu yang menyangkut kepentingan sekolah, seperti dalam menentukan program
kerja tahunan, menetapkan besarnya uang sekolah, memilih personel-personel
tertentu yang akan ditugaskan untuk menangani tugas-tugas kepanitiaan, menentukan
keperluan belanja barang, dan lain-lain, yang tercermin dalam memimpin rapat-rapat
rutin maupun pertemuan-pertemuan lain dan dalam tindakan-tindakan yang dilakukan
setiap hari.
Adapun mengenai penguasaan tugas akan difokuskan pada kajian tentang
tugas-tugas kepala sekolah dalam mengelola sekolah seperti tugas dalam membina
para guru dan staf administrasi serta mengupayakan kesejahteraannya, mengawasi
kegiatan proses belajar-mengajar, menyusun rencana anggaran dan belanja sekolah,
12
menjalin kerja sama dan membina hubungan baik dengan industri untuk memasarkan
lulusan dan pasangan dalam pelaksanaan praktik kerja industri, memasarkan jasa dan
produk kepada masyarakat, dan lain sebagainya.
Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Observasi dilaksanakan untuk memperoleh informasi tentang suasana
sekolah secara umum, suasana belajar siswa di dalam kelas, suasana kerja para guru,
karyawan, teknisi bengkel, dan proses-proses organisasi sekolah serta interaksi antar
semua warga sekolah yang berkaitan dengan kepemimpinan kepala sekolah, seperti
misalnya observasi terhadap kegiatan kepala sekolah ketika memimpin rapat-rapat,
ketika memimpin upacara, dan ketika kepala sekolah menyambut para orang tua
siswa pada saat penerimaan rapor. Dalam melakukan observasi berperan (participant
observation), peneliti tetap menjaga tidak ‘going native’ (Bogdan dan Biklen, 1992)
atau tidak menjadi ‘insider’ (Spradley, 1980). Sebagaimana dinyatakan oleh Bogdan
dan Biklen (1992: 90):
‘Becoming a researcher means internalizing the research goals while
collecting data in the field. As you conduct research you participate with the
subjects in various ways. You joke with them and behave sociably in many
ways. You may even help them perform their duties’.
Hasil observasi yang berupa catatan lapangan (field notes) setelah
meninggalkan lokasi kemudian dikembangkan dalam bentuk transkrip. Kegiatan
observasi dibantu dengan alat pengambil gambar untuk memperoleh momen-momen
13
yang dianggap penting. Hasil pengembangan catatan lapangan ini kemudian diberi
kode sesuai dengan fokus-fokus penelitian sebagai langkah awal analisis data.
Wawancara dilakukan terhadap guru, karyawan, teknisi bengkel, siswa, orang
tua siswa, ketua jurusan, wakil kepala sekolah, dan kepala sekolah sebagai informan
kunci (key informan). Hasil rekaman wawancara kemudian dibuat transkrip, dan
transkrip tersebut pada kesempatan lain diserahkan kepada informan yang
bersangkutan untuk dibaca guna mengecek apakah hasil wawancara tersebut telah
sesuai dengan informasi yang akan diberikan oleh informan. Jika informan
menyatakan telah sesuai maka yang bersangkutan diminta membubuhkan paraf pada
lembar transkrip dimaksud. Namun, apabila ada sebagian informasi yang dianggap
kurang pas, atau bahkan dianggap berbeda sama sekali dengan yang dimaksudkan
oleh informan maka pada saat itu dilakukan koreksi bersama oleh peneliti dan
informan. Setelah informan menganggap benar informasi dalam transkrip yang telah
direvisi itu maka informan diminta memberikan paraf. Transkrip wawancara yang
telah diparaf oleh informan ini kemudian diberikan kode-kode, dan komentar pada
bagian tepi halaman sesuai fokus penelitan guna persiapan analisis setelah
pengumpulan data, dan juga untuk pengembangan/pendalaman dan mengarahkan
dalam kegiatan pencarian informasi lebih lanjut. Setiap transkrip wawancara dibuat
ringkasan pertemuan (summary contact) sebagai upaya untuk meringkas data agar
lebih mudah dikelola (managable).
Dokumen yang diperoleh pada bagian administrasi sekolah antara lain tentang
jumlah siswa, jumlah pendaftar calon siswa dan yang diterima, peraturan-peraturan
14
disiplin sekolah, jumlah lulusan yang direkrut perusahaan setiap tahun, perusahaan
yang pernah atau sering melakukan rekrutmen calon tenaga di sekolah ini, data
tentang variasi besarnya uang sumbangan pendidikan (SPP), data tentang order-order
pekerjaan yang pernah diterima dan dikerjakan oleh bagian unit produksi, dan data
tentang siswa penerima beasiswa. Penggunaan berbagai sumber informasi dan teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan sebagai upaya triangulasi guna
memperoleh tingkat kredibilitas atau keterpercayaan (believability) yang tinggi.
Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dua tahap, yaitu tahap analisis di
lapangan dan analisis setelah dari lapangan. Analisis di lapangan dilakukan sejak data
mulai diperoleh, yaitu dalam bentuk kegiatan reduksi data. Reduksi data dilakukan
secara terus-menerus selama pengumpulan data sampai data yang terkumpul
dianggap cukup. Tujuan reduksi data di lapangan adalah untuk lebih mengarahkan
proses pencarian data lebih lanjut guna memperdalam dan memperluas informasi
yang berkaitan dengan penajaman fokus-fokus penelitian.
Proses analisis setelah pengumpulan data dilaksanakan mulai dengan
pengelompokan data sesuai kode yang telah disesuaikan dengan fokus penelitian.
Data yang berkaitan dengan lebih dari satu fokus penelitian dibuat kode tambahan.
Langkah selanjutnya adalah penampilan data, yaitu pemaparan data secara
keseluruhan untuk setiap fokus penelitian. Strategi dalam menganalisis data dalam
penelitian ini dilakukan dengan mengkomparasikan antara data dari kasus 1 dengan
15
data dari kasus 2 untuk merumuskan temuan pada kedua kasus, kemudian ditarik
simpulan.
Temuan Penelitian dan Bahasan
Kepala SMK Merapi memiliki ciri ‘premus interpares’ dan kepala SMK
Merbabu memiliki ciri ‘punjul ing apapak, mrojol ing a kerep’ (bhs. Jawa: menonjol,
lolos melalui saringan yang rapat).
Penelitian ini menemukan bahwa kepala SMK Merapi tidak menunjukkan ciri
yang berbeda dari guru-guru lain yang dipimpin dalam pengertian bahwa kepala
sekolah memiliki kemampuan sama dengan para guru yang dipimpin. Dengan kata
lain kepala SMK Merapi menunjukkan ciri ‘primus interpares’ yang artinya memiliki
ciri sebagai ‘the first among equals’ (Doogue, 2003), yaitu yang pertama di antara
yang sama. Pemimpin yang menunjukkan ciri ‘the first among equals’ memiliki
kemampuan, keunggulan atau kelebihan dan kekurangan yang sama dengan anggota
atau warga lain yang dipimpin. Menurut Nurcholis Madjid (Kompas, 6-Pebruari-
2002) pemimpin yang memiliki ciri ‘primus interpares’ sesuai untuk masyarakat yang
demokratis karena pemimpin dalam masyarakat yang demokratis harus menyadari
keterbatasan yang ada pada dirinya sehingga memiliki sikap terbuka, komunikatif,
memahami orang lain, tenggang rasa serta transparan dan akuntabilitas.
Kepemimpinan ini dianggap cocok untuk masyarakat yang demokratis karena
masyarakat mampu mengembangkan pola kepatuhan terbuka dan rasional.
16
Kepala SMK Merapi bukan dipilih secara demokratis dengan suara terbanyak,
namun dapat dikategorikan sebagai orang yang pertama di antara yang sama. Karena
sekolah dikelola oleh yayasan swasta, kewenangan mengangkat dan memberhentikan
kepala sekolah berada pada yayasan pengelola. Dalam organisasi sekolah yang
bersangkutan semua guru memiliki kewenangan akademik sama yang tercermin dari
sertifikasi yang dimiliki para guru untuk menjabat sebagai guru, yaitu telah
menyelesaikan pendidikan sarjana. Jika semua guru telah memiliki pendidikan sama,
maka guru yang ditunjuk memimpin sekolah memiliki ciri yang pertama di antara
yang sama. Karena semua guru memiliki kemampuan sama, maka untuk memangku
jabatan kepala sekolah, guru harus memiliki pengalaman yang ada kaitannya dengan
jabatan kepala sekolah. Menurut Gorton (1976: 88) para wakil kepala sekolah
memilih posisi yang didudukinya sebagai persiapan untuk memangku jabatan kepala
sekolah. Jadi, jika seorang wakil kepala sekolah bidang kurikulum ditunjuk
memangku jabatan kepala sekolah maka penunjukkan itu telah sesuai.
Dalam kasus SMK Merapi, yayasan menunjuk wakil kepala sekolah bidang
kurikulum untuk memangku jabatan sebagai kepala sekolah. Ini baru pertama kali
jabatan kepala sekolah diserahkan kepada guru biasa karena sejak sekolah ini berdiri
kepala sekolah selalu dijabat oleh guru yang juga tokoh agama. Dalam organisasi
sekolah, urusan pokok (core business) yang ditangani sekolah adalah masalah
akademik, yaitu masalah pengajaran yang tercermin pada masalah-masalah
kurikulum. Orang yang ditugaskan untuk mengurusi bidang kurikulum adalah orang
yang mengetahui dan memahami seluk-beluk urusan pokok sekolah, yaitu masalah-
17
masalah kurikulum dan pengajaran. Kepala sekolah pada SMK Merapi meniti karier
dari seorang wakil kepala sekolah bidang kurikulum sehingga pengalaman selama
menjabat sebagai wakil kepala sekolah dapat dipakai sebagai modal untuk memangku
jabatan sebagai kepala sekolah. Peranan wakil kepala sekolah dalam pengambilan
keputusan ditunjukkan oleh Saran dan Trafford (1990: 15) bahwa keterlibatan wakil
kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan dapat meningkatkan kemajuan siswa.
Dengan menunjuk wakil kepala sekolah bidang kurikulum untuk memangku
jabatan kepala sekolah menggantikan kepala sekolah yang lama maka sesungguhnya
yayasan hanya menghadapi resiko minimal akan adanya penolakan dari warga
sekolah yang lain. Jika di antara para guru dipandang ada yang memiliki kemampuan
dan potensi kepemimpinan menonjol, yayasan dapat menunjuk guru yang
bersangkutan untuk memangku jabatan kepala sekolah. Namun, dalam keadaan tidak
ada seorang pun guru yang dianggap sangat menonjol, kebijakan yang paling kecil
resikonya dalam mengangkat kepala sekolah adalah mengangkat orang yang
menduduki posisi di bawah posisi kepala sekolah, yaitu wakil kepala sekolah yang
mengurusi bidang pokok, yaitu bidang pengajaran atau bidang kurikulum. Dengan
mengangkat wakil kepala sekolah bidang kurikulum untuk memangku jabatan kepala
sekolah juga nampak bahwa kaderisasi dalam sekolah berjalan dengan baik.
Sementara itu, dalam kasus SMK Merbabu kepala sekolah menunjukkan ciri
menonjol, yang dalam Bahasa Jawa disebut ‘punjul ing apapak’ yang berarti ‘luwih
soko pepadane’ (lebih dari sesamanya, bhs. Jawa) (Sudaryanto dan Pranowo, 2001:
816). Kepala SMK Merbabu sebelumnya memangku jabatan sebagai ketua jurusan,
18
bukan wakil kepala sekolah. Tanpa menunjukkan kelebihannya, tentunya yayasan
akan menunjuk salah satu wakil kepala sekolah untuk memangku jabatan kepala
sekolah. Pemimpin yang menunjukkan ciri ‘punjul ing a papak’ memiliki
kemampuan lebih unggul dan potensi lebih baik dibandingkan warga yang dipimpin
sehingga nampak menonjol. Kelebihan yang dimaksud dapat berupa kemampuan
akademik, keterampilan, kecerdasan, pengalaman, tingkat pendidikan, atau kelebihan
lain yang dapat diamati oleh warga yang lain.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, sekolah kejuruan bertujuan
menyiapkan siswa untuk memasuki dunia kerja. Selain harus menguasai bidang
pendidikan dan pengajaran, kepala sekolah pada sekolah kejuruan harus memiliki
wawasan luas dalam bidang kemajuan teknologi dan ketenagakerjaan. Dengan
demikian, orang yang menonjol dalam masalah pengelolaan sekolah kejuruan adalah
orang yang menguasai dan mampu mengelola bidang-bidang pendidikan dan
pengajaran, mampu mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam sekolah,
memiliki wawasan luas dalam bidang pengelolaan sekolah kejuruan, ketenagakerjaan,
perkembangan teknologi yang ada di industri serta memiliki kemampuan manajerial
yang baik. Keunggulan kepala SMK Merbabu ini diakui oleh sebagian besar
informan dalam penelitian ini, bahkan menurut para informan kepala sekolah
memiliki keunggulan pula dalam membangun jaringan kerja dengan pihak luar, baik
dalam upaya mencari industri pasangan untuk menempatkan siswa melaksanakan
praktik kerja, mencari pesanan (order) pekerjaan bagi unit produksi maupun untuk
menempatkan atau memasarkan lulusan kepada industri pengguna. Pentingnya
19
kemampuan komunikasi (the ability to communicate) dan kemampuan membangun
hubungan baik dengan orang lain (the ability to get on well with other people)
merupakan salah satu kriteria penting yang dipersyaratkan dalam rekrutmen calon
tenaga kerja yang direkomendasikan oleh The Association of British Chambers of
Commerse (Lauglo dan Lilis, 1988:49). Ciri ini sejalan dengan temuan Clancy (1982:
167) dan Sergiovanni (1987a: 18) bahwa kepala sekolah yang berhasil dalam
tugasnya memiliki keterampilan dalam berhubungan dengan masyarakat.
Pemimpin yang menunjukkan ciri mrojol ing a kerep (bhs. Jawa: lolos melalui
saringan yang rapat) memiliki kelemahan, keterbatasan, dan kesalahan-kesalahan
pada masa lalu yang relatif kecil, lebih sedikit dibandingkan dengan warga yang
dipimpin. Karena kelemahan, keterbatasan, kekurangan dan kesalahannya relatif kecil
maka dapat lolos melalui saringan yang rapat, lolos dari perhatian dan pengamatan
sehingga orang lain dapat mengabaikan atau melupakannya. Kelemahan, keterbatasan
atau kekurangan yang dimaksud dalam hal ini adalah segala sesuatu yang berkaitan
dengan masalah moralitas atau kepribadian antara lain kejujuran, kerendahan hati,
ketekunan, kedisiplinan, kerelaan dalam bekerja, dan kemauan untuk bekerja keras
demi lembaga. Mrojol ing a kerep juga dapat berarti lebih dibandingkan sesama yang
lain (luwih soko pepadane, bhs. Jawa) (Sudaryanto dan Pranowo, 2001: 610) dalam
aspek kepribadian atau moralitas. Dalam memilih seorang pemimpin untuk
memangku jabatan kepala sekolah terlebih dulu penting untuk diteliti mengenai
kesalahan-kesalahan pada masa lalu, apakah seseorang yang akan ditunjuk pernah
melakukan kesalahan-kesalahan yang prinsip sehingga merugikan warga lain,
20
merugikan lembaga atau bahkan merugikan masyarakat secara luas. Apakah orang
yang akan ditunjuk merupakan orang yang jujur, taat beribadah menurut agamanya,
tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan, tidak terlibat skandal seks, tidak pernah
menyalahgunakan uang (korupsi), dan lain sebagainya.
Masalah moralitas semakin menunjukkan urgensinya dalam kepemimpinan
sekarang dan masa yang akan datang, lebih-lebih untuk organisasi pendidikan.
Setelah mengalami krisis di segala bidang yang berkepanjangan, masyarakat perlu
mencoba melakukan refleksi dalam mencari akar permasalahan yang dihadapi
bangsa. Nampaknya sebagai salah satu penyebab utama krisis multidimensi ini
adalah masalah moralitas bangsa, terutama para pemimpin yang diberi wewenang
oleh rakyat untuk menjalankan kekuasaan negara. Para pemimpin yang memiliki
moralitas rendah menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang yang diberikan oleh
rakyat untuk memperkaya diri dan kelompoknya dengan cara kolusi, koropsi dan
nepotisme. Untuk memperbaiki keadaan yang demikian salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah memperbaiki moralitas bangsa melalui pendidikan. Sekolah
merupakan lembaga yang sengaja berupaya menanamkan nilai-nilai kebaikan,
kejujuran, kedisiplinan, kerja keras dan unsur-unsur moralitas yang lain. Untuk dapat
mendidikkan nilai-nilai kebaikan, pendidik haruslah orang yang memiliki moralitas
yang baik, termasuk kepala sekolah. Oleh karena itu, kepala sekolah harus dipilih
orang yang memiliki moral yang baik agar dapat menjadi panutan dan memiliki
kekuatan moral untuk memimpin warga sekolah yang lain.
21
Menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan mengakui bahwa semua
orang memiliki kelemahan, kekurangan, keterbatasan, serta semua orang telah
melakukan kesalahan maka yayasan harus memilih calon kepala sekolah melalui
saringan yang ketat agar diperoleh orang yang benar-benar memiliki moral yang baik.
Orang yang terpilih untuk memangku jabatan kepala sekolah haruslah orang yang
paling sedikit kelemahan, kekurangan, serta kesalahan-kesalahan pada masa lalu,
yaitu orang yang mrojol ing a kerep. Oleh karena itu, kriteria mrojol ing a kerep
dalam memilih calon kepala sekolah merupakan salah satu persyaratan yang tepat dan
pantas untuk ditegakkan pada masa mendatang, di samping persyaratan teknis.
Kepala SMK Merapi dan SMK Merbabu memiliki visi yang jelas dan kuat.
Kepala SMK Merapi memiliki visi pribadi untuk memandirikan sekolah,
sementara kepala SMK Merbabu memiliki visi untuk memiliki unit-unit produksi
yang terpadu dengan sekolah serta menghadirkan nuansa industri ke dalam
lingkungan sekolah. Visi kepala SMK Merapi terbentuk oleh keprihatinan terhadap
kondisi sekolah yang selalu mengalami defisit sejak sekolah berdiri tahun 1976
hingga sekarang. Kepala sekolah menyadari bahwa menggantungkan kepada bantuan
yayasan secara terus-menerus dalam membiayai kegiatan sekolah dan menjamin
kesejahteraan para guru dan karyawan merupakan tindakan yang harus dihindari.
Kepala sekolah menyebut visi pribadinya sebagai tanggung jawab moral atau
kewajiban moral untuk mengentaskan sekolah dari keadaan yang dialami selama ini.
22
Sementara itu, visi kepala SMK Merbabu untuk memiliki unit-unit produksi
yang terpadu dan menghadirkan nuansa industri ke dalam lingkungan sekolah
terbentuk oleh keprihatinannya terhadap sulitnya mendapatkan industri yang
memadai untuk pelaksanaan praktik kerja bagi para siswa. Para siswa terpaksa harus
pergi ke kota-kota besar untuk mendapatkan industri guna pelaksanaan praktik kerja.
Ini berarti para siswa harus tinggal di kota lain selama menjalani praktik kerja, yang
biasanya berlangsung anatara satu hingga dua bulan sehingga orang tua siswa harus
mengeluarkan biaya tambahan yang tidak sedikit. Biaya hidup para siswa selama
menjalani praktik kerja ditanggung oleh orang tua siswa. Kepala sekolah menganggap
pentingnya memberikan bekal pengalaman nyata kepada para siswa, namun pada sisi
lain setiap tahun sekolah selalu harus membebani biaya tambahan untuk biaya hidup
para siswa selama menjalani praktik kerja di kota-kota besar.
Visi adalah gambaran mental (mental picture) mengenai keadaan sekolah
yang diinginkan di masa depan (Caldwell &Spinks, 1992). Menurut Greenfeld (Davis
& Thomas, 1989) visi adalah kemampuan seseorang untuk melihat penyimpangan
antara bagaimana kondisi yang ada (how things are) dengan bagaimana yang
seharusnya yang mungkin bisa terjadi (how they might be). Baik kepala SMK Merapi
maupun SMK Merbabu menganggap bahwa dengan peralatan praktik sekolah yang
tergolong lengkap, seharusnya sekolah dapat membangun unit-unit produksi yang
baik sehingga dapat menghasilkan pemasukan finansial bagi sekolah. Dengan unit-
unit produksi yang beroperasi dengan baik, para siswa dapat menghayati suasana
pendidikan di sekolah seperti di pabrik yaitu terbiasa dengan suara bising di ruang
23
praktik seperti dalam pabrik, terbiasa melayani pesanan pekerjaan dari konsumen
tepat waktu, menentukan biaya pengerjaan barang pesanan secara profesional sesuai
dengan jenis pekerjaan, tingkat kesulitan dan waktu pengerjaan yang diperlukan, serta
kebutuhan bahan. Dengan kata lain, siswa perlu dibiasakan menjalani dan menghayati
kehidupan seperti para pekerja perusahaan. Dalam kebiasaan pekerja, hasil pekerjaan
hanya dinilai ‘dapat dipakai’ atau ‘tidak dapat dipakai atau gagal’, dan jika gagal
berarti kerugian perusahaan. Sementara itu, jika gagal dalam mengerjaan pekerjaan
praktik, siswa tetap dapat memperoleh nilai atau mengulang pekerjaan.
Visi yang jelas dan dikomunikasikan dengan baik dapat mempersatukan
semua warga sekolah dan dapat menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging)
terhadap sekolah sehingga dapat membentuk komunalitas tujuan (commonality of
purpose). Bentuk nyata komunalitas tujuan bagi kepala sekolah adalah visi yang jelas
mengenai sekolah harus menjadi apa (what the school should be). Visi tersebut
kemudian diterjemahkan ke dalam tujuan yang jelas dan dikomunikasikan kepada
seluruh warga sekolah sehingga dapat mempengaruhi peran profesional yang
bersangkutan. Kepala sekolah kemudian harus dapat menghimpun dan mempengaruhi
warga sekolah yang lain untuk mendukung dan bekerja keras dalam merealisasikan
visi tersebut (DeRoche, 1987). Jika sekolah selalu defisit setiap tahun, makin lama
yayasan tidak mampu menutupi defisit anggaran, dan pada akhirnya sekolah harus
menghadapi kenyataan untuk menutup kegiatan operasional. Pada sisi lain sekolah
harus menjamin kesejahteraan para guru dan karyawan, yang makin lama
kebutuhannya makin meningkat. Para guru dan karyawan tentu tidak rela jika
24
sekolahnya ditutup karena tidak mampu membiayai kegiatan operasional. Tindakan
yang dilakukan para guru dan karyawan adalah mendukung kepala sekolah dalam
merealisasikan visinya, yaitu agar sekolah mandiri.
Dengan visinya yang jelas dan dikomunikasikan kepada warga sekolah yang
lain, kepala SMK Merapi melakukan penghematan dalam semua kegiatan operasional
sekolah. Namun, kepala sekolah tetap memiliki komitmen tinggi terhadap pengadaan
bahan untuk kebutuhan praktik, karena mata pelajaran praktik dianggap paling
penting dalam pemberian bekal keterampilan kepada peserta didik agar dapat
memasuki dunia kerja segera setelah lulus. Tindakan lain yang dilakukan sekolah
untuk memandirikan sekolah adalah dengan menarik uang sekolah yang tinggi, jauh
di atas sekolah-sekolah kejuruan lain di sekitarnya.
Sementara itu, untuk merealisasikan visinya, kepala SMK Merbabu menjalin
kerja sama dengan lembaga-lembaga lain untuk memperoleh kewenangan melakukan
sertifikasi atau uji profesi terhadap lulusan. Untuk memperoleh kewenangan uji
profesi jurusan perkayuan SMK Merbabu menjalin kerja sama dengan SMK lain di
Semarang, dan untuk jurusan mesin produksi bekerja sama dengan sebuah akademi
teknik swasta. Hasil dari upaya memiliki unit produksi yang terpadu dengan sekolah,
SMK Merbabu telah memiliki unit produksi perkayuan yang cukup besar dengan
peralatan lengkap. Unit produksi ini menerima pekerjaan dari masyarakat seperti
pembuatan kerangka rumah, kerangka pintu dan jendela, pembuatan mebel untuk
sekolah-sekolah, dan lain sebagainya. Sekolah juga membuka pusat pelatihan
perkayuan bagi masyarakat yang membutuhkan, dan pada saat penelitian ini
25
dilaksanakan ada 40 pemuda yang dikirim oleh sebuah kota kabupaten di Jawa Timur
untuk dididik keterampilan perkayuan.
Kepala SMK Merapi dan SMK Merbabu memiliki pola pengambilan
keputusan berani mengambil resiko (risk taker).
Kepala SMK Merapi dan SMK Merbabu memiliki ciri berani mengambil
resiko setiap keputusan yang dibuatnya. Keberanian mengambil resiko oleh kepala
sekolah dapat menimbulkan kekhawatiran warga sekolah yang lain. Baik dalam kasus
SMK Merapi maupun SMK Merbabu, kepala sekolah menarik uang sekolah yang
tinggi, bahkan tergolong paling tinggi mencapai 2 sampai 3 kali lipat dibandingkan
sekolah kejuruan lain di lingkungan daerahnya. Siswa sekolah kejuruan pada
umumnya berasal dari keluarga menengah ke bawah sehingga tidak semua mampu
membayar uang sekolah yang tinggi (Oaks, 1985: 154). Dengan uang sekolah yang
tinggi, sekolah menghadapi resiko ditinggalkan oleh masyarakat sehingga sekolah
tidak dapat memperoleh masukan (input) siswa sesuai daya tampungnya. Jika ini
yang terjadi para guru dan karyawan khawatir sekolah akan terpaksa tutup dan
mereka akan kehilangan pekerjaan sebagai tempat menggantungkan hidup
keluarganya.
Dengan kebijakan menarik uang sekolah yang tinggi hampir semua guru dan
karyawan, termasuk para wakil kepala sekolah, menganggap sekolah telah
menyimpang dari misinya, yaitu untuk memberi pendidikan dan menolong anak-anak
dari keluarga kurang mampu. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa orang
26
tua siswa sekolah kejuruan berharap agar anak mereka dapat memperoleh pekerjaan
segera setelah lulus sehingga mengurangi ketergantungan secara ekonomi kepada
orang tua dan masyarakat. Oleh karena itu, sebagian guru dan karyawan menganggap
kebijakan kepala sekolah bertentangan dengan misi yayasan sehingga mereka
khawatir yayasan tidak akan mau menutup defisit anggaran yang selalu terjadi setiap
tahun. Jika yayasan tidak mau menutup kekurangan anggaran, guru dan karyawan
khawatir jaminan kesejahteraan yang biasa mereka terima akan terganggu.
Sekalipun tidak diangkat melalui pemilihan, namun kepala sekolah yang
menunjukkan ciri punjul ing a papak, mrojol ing a kerep cenderung berani
menerapkan kepemimpinan yang demokratis. Sementara kepala sekolah yang
menunjukkan ciri primus interpares cenderung menerapkan pola kepemimpinan
tertutup. Pola kepemimpinan kepala SMK Merapi yang menunjukkan ciri ‘premus
interpares’ ternyata tidak sejalan dengan analisis yang dikemukakan oleh Nurkholis
Madjid. Dengan cirinya yang lebih menonjol dibanding warga lain yang dipimpin,
kepala SMK Merbabu berani menerapkan pola kepemimpinan terbuka, mau
menerima masukan, kritik, saran, dan pendapat dari warga sekolah lain dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan sekolah.
Pengambilan keputusan untuk suatu masalah kepala SMK Merbabu selalu
melibatkan guru dan menyerahkan sepenuhnya kepada dewan guru untuk mengambil
keputusan. Ketika kepala sekolah memberikan kesempatan kepada warga sekolah
untuk memberikan masukan, pendapat, kritik dan saran, sebagian guru menyatakan
bahwa itu merupakan kesempatan untuk menyampaikan ‘uneg–uneg’ atau isi hati,
27
kekesalan, dan kekecewaan. Dengan pola ini beberapa guru mengatakan bahwa rapat
untuk hal sepele saja bisa memakan waktu 2 sampai 3 jam. Kenyataan ini
menunjukkan hal yang wajar-wajar saja karena semua orang yang berbicara hanyalah
mewakili dirinya sendiri, dan sedang memperjuangkan kepentingan, harapan dan
keinginan sendiri. Dengan demikian, makin banyak orang yang terlibat dalam
pengambilan keputusan akan semakin banyak orang yang berbicara, makin banyak
keinginan dan harapan yang harus diakomodasi. Padahal sering terjadi keinginan
orang yang satu berbeda, bahkan bertentangan dengan keinginan dan harapan orang
lain. Ini akan semakin sulit bagi pemimpin untuk mengambil keputusan karena solusi
bagi kelompok yang satu bisa menjadi masalah bagi kelompok yang lain (one group
solution becomes another group’s problem) (Lindblom, 1980: 4).
Ketika diminta untuk memberikan kritik semua warga sekolah menyampaikan
kritik, ketika diberikan kesempatan untuk memberikan masukan semua warga
memberika masukan, ide dan saran, dan warga puas karena juga dapat menyampaikan
kekesalan, uneg-uneg dan kekecewaan. Namun, ketika diminta pelibatan diri secara
suka rela dalam pelaksanaan kegiatan yang diprogramkan berdasarkan masukan, ide
dan saran dari mereka sendiri, ternyata intensitas keterlibatan mereka sangat rendah.
Setelah ternyata tidak ada kesesuaian antara antusiasme dalam memberikan masukan,
ide, saran dan kritikan dengan pelibatan diri, pada masa-masa berikutnya warga
kurang bersemangat lagi memberikan masukan. Warga menyadari bahwa kritikan,
masukan dan saran harus disampaikan secara bertanggung jawab, yaitu disertai
dengan pelibatan diri secara sukarela dalam implementasinya. Bagi warga yang
28
merasa tidak mau terlibat dalam pelaksanaan program merasa lebih baik tidak
memberikan masukan, ide dan saran, apa lagi kritikan. Pada dasarnya warga tidak
lagi dapat menjadi ‘free rider’, menumpukan harapan dan keinginan kepada orang
lain sementara mereka sendiri tidak mau berbuat apa-apa. Warga tidak dapat lagi
berharap untuk ‘getting something for nothing, and everyone else be damned’
(Collins, 1982: 19), berharap mendapatkan sesuatu tanpa mengeluarkan atau
kehilangan apa-apa, dan orang lain yang terbebani.
Pemimpin yang paling banyak diidealkan masyarakat yang demokratis adalah
pemimpin yang menunjukkan ciri primus interpares, the first among equals (yang
pertama diantara yang sama) (Doogue, 2003). Pemimpin yang memiliki kemampuan
yang relatif sama dengan orang-orang yang dipimpin dapat mengembangkan pola
kepatuhan terbuka dan rasional pada bawahan. Namun, kepala SMK Merapi yang
menunjukkan ciri primus interpares tampil dengan pola kepemimpinan tertutup.
Semua personel dibawahnya, para wakil kepala sekolah dan ketua jurusan, dan para
guru yang menjadi informan menyatakan bahwa kepala SMK Merapi sulit menerima
masukan, ide dan saran dari bawahan, bahkan kepala sekolah cenderung bekerja
sendiri. Menyusun rencana anggaran untuk kegiatan pada tingkat jurusan yang
seharusnya melibatkan para ketua jurusan pun dilakukan oleh kepala sekolah sendiri,
suatu cara kerja yang aneh karena sesungguhnya ketua jurusan yang paling tahu
program kerja jurusan.
Kemampuan bawahan yang relatif sama dengan kemampuan kepala sekolah
sesungguhnya merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk membangun tim
29
kerja yang kuat. Namun, pada sisi lain jika pemimpin tidak dapat memanfaatkan
potensi bawahan dengan baik akan muncul orang-orang yang pasif, tidak mau
berinisiatif, walaupun sesungguhnya mereka orang-orang kreatif. Bahkan, yang
muncul adalah rivalitas oleh warga yang merasa memiliki kemampuan sama dengan
kepala sekolah, merasa mampu memimpin sekolah, sementara pada sisi lain kepala
sekolah merasa tersaingi sehingga segan untuk memerintah dan melibatkan rival-
rivalnya dalam kegiatan penting terutama dalam pengambilan keputusan. Yang
terjadi pada SMK Merapi sesungguhnya kepala sekolah bukan orang yang otoriter,
tetapi segan/sungkan untuk memerintah dan melibatkan warga sekolah yang
kemampuannya relatif sama dengan dirinya. Pada sisi lain para wakil kepala sekolah,
ketua jurusan dan para guru senior merasa tidak diminta pendapat, saran atau
masukan, tidak dilibatkan pada setiap pengambilan keputusan sehingga mereka juga
merasa tidak bertanggung jawab untuk terlibat secara intensif dalam implementasi
keputusan yang telah disepakati bersama. Keadaan ini menjadi hambatan bagi kepala
sekolah dalam proses kepemimpinannya, yang pada akhirnya kinerja kepala sekolah
tidak optimal sehingga akan kesulitan dalam menjalankan misi sekolah.
Kepala SMK Merapi dan SMK Merbabu tidak menunjukkan ciri
kepemimpinan pengajaran (instructional leadership) yang kuat.
Berbeda dengan berbagai teori dan temuan yang dikemukakan para ahli
bahwa kepala sekolah yang efektif memiliki ciri kepemimpinan instruksional
(instructional leadership) yang kuat, hasil penelitian ini menunjukkan sebaliknya.
30
Baik kepala SMK Merapi maupun SMK Merbabu tidak menunjukkan ciri
kepemimpinan instruksional yang menonjol yang tercermin dalam pelaksanaan tugas
sehari-hari. Sebagaimana dinyatakan oleh Finch dan McGough (1982) bahwa tugas
kepala sekolah dalam proses pengajaran harus memonitor proses instruksional di
dalam kelas secara langsung. Siapa pun yang menjadi supervisor, tanggung jawab
pengawasan mencakup keterlibatan secara ekstensif dalam proses pengajaran di
kelas. Bagian penting dari kepemimpinan instruksional kepala sekolah adalah
peranannya dalam melakukan observasi dan supervisi langsung pada para guru di
kelas. Tujuan utamanya adalah untuk memperbaiki pengajaran, dan yang kedua untuk
evaluasi guru (Davis dan Thomas, 1989).
Alasan yang dikemukakan kepala SMK Merapi dan SMK Merbabu mengapa
tidak pernah melakukan observasi kegiatan guru dalam kelas karena merasa tidak
enak dengan guru yang sedang mengajar, takut dianggap tidak percaya kepada guru,
dan menurut kedua kepala sekolah pengelolaan siswa dalam kelas sepenuhnya
tanggung jawab guru. Pada sisi lain, para guru juga merasa tidak senang jika tugas
mengajarnya di dalam kelas terlalu banyak dicampurtangani oleh orang lain termasuk
oleh kepala sekolah. Jika guru diawasi dalam mengajar, mereka merasa tidak diberi
kepercayaan. Temuan ini sejalan dengan pernyataan para guru yang dirangkum oleh
McPherson (1986: 318) sebagai berikut:
“. . . what the teacher is saying to the principal then is: leave me alone;
don’t interfere in my classroom; don’t tell me how to teach; protect me from
all who challenge me; support my decisions; and show me you care about and
appreciate me’.
31
Pada sisi lain Gorton (1976) menyatakan bahwa administrator sekolah harus
memperlakukan guru sebagai teman profesional (professional colleagues) yang
memiliki tugas berbeda tetapi dengan peran yang sama (different but equal role) dari
pada sebagai bawahan dalam hubungan birokratis. Namun, McPherson (1986) juga
menyatakan bahwa kepala sekolah berfungsi sebagai guru utama (master teacher)
yang harus membimbing guru yang belum berpengalaman atau yang memperoleh
pelatihan kurang memadai. Kepala sekolah biasanya diangkat dari guru yang baik
yang menguasai bidang-bidang yang ditekuni dan cara mengajarkannya kepada anak
didik. Oleh karena itu, kepala sekolah seharusnya membantu guru yang mengalami
kesulitan dalam mengajar di kelas dalam rangka membantu guru dalam
pengembangan diri dalam profesinya. Observasi di kelas juga sekaligus untuk
memperoleh informasi sebagai bahan evaluasi terhadap kinerja guru.
Simpulan dan Saran
Simpulan
Kepala SMK Merapi menunjukkan ciri ‘primus interpares’ sedangkan kepala
SMK Merbabu menunjukkan ciri ‘punjul ing a papak, mrojol ing a kerep’. Kepala
SMK Merapi yang memiliki ciri ‘primus interpares’ cenderung tampil dengan pola
kepemimpinan tertutup, bekerja sendiri (one man show), dan tidak bisa memberikan
kepercayaan kepada orang lain, baik para wakil kepala sekolah, para guru maupun
staf administrasi. Kepala sekolah merasa ‘sungkan’ untuk melibatkan secara intensif
para wakil kepala sekolah dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang telah
32
diprogramkan. Situasi ini cenderung memunculkan rivalitas pada warga sekolah yang
dipimpin, terutama para guru senior. Kepemimpinan kepala sekolah ini berhasil
karena para guru, karyawan dan warga sekolah yang lain dapat memposisikan diri
untuk bekerja sesuai tugas dan tanggung jawabnya masing-masing dan merasa
memiliki ikatan moral dan tanggung jawab moral yang kuat untuk memajukan
sekolah agar sekolah tidak bangkrut, dan kemudian ditutup. Jika sekolah sampai
ditutup, para guru dan karyawan juga merasa rugi karena mereka akan kehilangan
pekerjaan. Konflik yang sering terjadi antara para guru dan karyawan dengan kepala
sekolah dapat mereka atasi sendiri dengan cara menahan diri sehingga tidak
berkembang menjadi konflik terbuka.
Kepala SMK Merbabu yang menunjukkan ciri ‘punjul ing apapak, mrojol ing
akerep’ (menonjol) berhasil memajukan sekolah karena menguasai bidang tugasnya
dengan baik. Karena kepala sekolah menguasai bidang tugasnya dengan baik maka
kepala sekolah berani tampil dengan pola kepemimpinan terbuka dan demokratis,
sehingga mampu menggerakkan semua personel sekolah untuk bekerja bersama-sama
dalam tim dalam upaya memajukan sekolah. Keberhasilan kepala SMK Merbabu
dalam memimpin sekolah juga dikarenakan memiliki kekuatan moral, dapat menjadi
‘panutan’ bagi warga sekolah yang lain. Kepala SMK Merbabu adalah orang yang
memiliki ‘track record’ baik, yaitu memiliki kelemahan dan kesalahan-kesalahan
masa lalu yang paling sedikit dibandingkan warga sekolah lain.
Visi kepala sekolah SMK Merbabu untuk menghadirkan ‘nuansa industri’ ke
dalam lingkungan sekolah dapat mendorong upaya sekolah untuk menghasilkan
33
lulusan yang ‘match’ dengan calon tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri.
Sementara itu, visi kepala SMK Merapi untuk memandirikan sekolah dapat
mendorong kepala sekolah untuk mengembangkan unit-unit produksi dengan
melibatkan para siswa senior. Unit-unit produksi ini mampu menghasilkan produk
barang maupun layanan yang diperlukan masyarakat sekitarnya. Para siswa yang
terlibat menangani unit-unit produksi ini pada akhirnya juga menjadi lulusan yang
siap untuk bekerja, baik secara mandiri maupun dipekerjakan oleh industri.
Baik kepala SMK Merapi maupun kepala SMK Merbabu tidak menunjukkan
ciri kepemimpinan instruksional yang kuat. Fungsi kepemimpinan instruksional tidak
dilaksanakan dengan baik oleh kepala sekolah agar tidak dianggap terlalu
mencampuri tugas-tugas guru di dalam kelas, dan untuk memberikan kepercayaan
penuh kepada para guru dalam melaksanakan tugas mengajar di dalam kelas. Hal ini
sejalan dengan para guru yang juga merasa tidak senang jika kegiatan mengajarnya
selalu diawasi dan dicampuri oleh kepala sekolah.
Saran
Bagi yayasan pengelola SMK Merapi dan SMK Merbabu, pengangkatan
kepala sekolah sebaiknya diupayakan mengangkat dari seorang guru yang memiliki
ciri menonjol, dalam pengertian menguasai bidang tugasnya, memiliki keprihatinan
terhadap sekolah, memiliki komitmen yang kuat terhadap kemajuan sekolah,
memiliki moralitas yang baik, dan memiliki kemampuan manajerial yang lebih
memadai dibandingkan para guru lain yang harus dipimpinnya. Kepala sekolah yang
34
memiliki ciri-ciri ini dapat menggerakkan warga sekolah untuk bekerja bersama-sama
dalam tim yang kuat dan mampu menciptakan suasana kerja yang harmonis untuk
merealisasikan tujuan-tujuan sekolah.
Jika yayasan mengangkat guru yang menunjukkan ciri ‘primus interpares’
sebaiknya dipilih guru yang memiliki kemampuan mengkoordinasikan bawahan dan
kegiatan dengan baik, memiliki sifat terbuka terhadap kritikan, masukan dan saran
dari orang lain.
Kepala sekolah SMK Merapi dan SMK Merbabu sebaiknya melaksanakan
fungsi kepemimpinan instruksional, terutama untuk membantu para guru dalam
mengembangkan diri dalam kariernya sebagai tenaga pengajar. Pelaksanaan fungsi
kepemimpinan instruksional perlu dilakukan dengan hati-hati agar para guru tidak
merasa pekerjaannya sebagai tenaga pengajar dicampuri, dan agar para guru tidak
merasa kurang dipercaya dalam mengajar. Pelaksanaan fungsi kepemimpinan
instruksional ini juga sangat penting tidak hanya untuk membantu pengembangan
karier guru melainkan juga untuk meningkatkan kualitas pengajaran yang terjadi di
dalam kelas, yang pada akhirnya akan berdampak pada meningkatnya mutu
pendidikan secara keseluruhan.
35
Pustaka Acuan
Blumberg, A. & Greenfield, W. 1980. The Effective Principal: Perspective on School
Leadership. Boston, M.A: Allyen and Bacon.
Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. 1992. Qualitative Research for Education. An
Introduction to Theory and Methods. 2nd. Ed. Needham Heights, MA.:
Allyen and Bacon.
Caldwell, B. J. & Spink, J.M. 1992. Leading The Self-Managing School. Washington:
The Falmer Press.
Clancy, P.L. 1982. 19 Improving Schools and Why: Their Formula for Success.
Ypsilanti, MI: Eastern Mechigan Univ. Press.
Collins, R. 1982. Sociological Insight. An Introduction to Non-Obvous Sociology.
New York: Oxford University Press.
Davis, G.A. & Thomas, M. A. 1989. Effective Schools and Effective Teachers.
London: Allyn and Bacon.
DeRoche, E.F. 1987. An Administrator’s Guide for Evaluating Programs and
Personnels. An Effective School Approach. London: Allyn and Bacon.
Doogue, E. 2003. Top 15 Orthodox Leaders Pledge to Work Together. Cristianity
Today Magazine (Online). http. www. Christianity Today. Com., diakses 7
April 2003).
Finch, C.R. & McGough, R.L. 1982. Administering and Supervising Occupational
Education. Englewood Cliffs, N.J. : Prentice-Hall, Inc.
Gorton, R. A. 1976. School Administration: Challenge and Opportunity for
Leadership. Bubuque, Iowa: Wm. C. Brown Company Pub.
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No.
0181/U/1996 Tentang Kebijaksanaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Tahun 1996. Jakarta: Depdikbud.
Kompas. 6 Pebruari, 2002. Negara Butuhkan Kepemimpinan Terbuka. hlm. 6.
Lauglo, J. & Lilis, K. 1988. Vocationalizing Education. An International Perspective.
Comparative and International Series. Vol.6. New York: Pergamon Press.
36
Lindblom, C. E. 1980. The Policy-Making Process. 2nd . ed. New Jersey: Prentice-
Hall.
McPherson, R.B., Crowson, R.L. & Pitner, N.J. 1986. Managing Uncertainty.
Administrative Theory and Practice in Education. Columbus, Ohio: Charles
E. Merill Publishing Co.
Oaks, J. 1985. Keeping Track. How Schools Structure Inequality. New Haven: Yale
University Press.
Patterson, J.L., Purke, S.C. & Parker, J.V. 1986. Productive School Systems for A
Nonrational Worlds. Alexadria, VA: ASCD Publisher.
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Menengah. Jakarta:
CV. Eka Jaya.
Psacharopoulos, G and Woodhall, M. 1985 Education for Development. An Analysis
of Investment Choices. Washington D.C. : The World Bank.
Saran, R. & Trafford, V. 1990. Research in Education Management and Policy:
Retrospect and Prospect. London: The Falmer Press.
Scheerens, J. & Bosker, R. J. 1997. The Foundation of Education Effectiveness. New
York: Pergamon Press.
Sergiovanni, T. J. 1987a. The Principalship: A Reflective Practice Perspective.
Needham Heights, Massachussetts: Allyn’s and Bacon, Inc.
Sergiovanni, T.J., Burlingame, M., Coombs, F.S. and Thurston, P.W. 1987b.
Educational Governance and Administration. 2nd. Ed. Englewood Cliffs,
N.J.: Prentice-Hall, Inc.
Spradley, J.P. 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinrhart and Wiston.
Storm, G. 1979. Managing the Occupational Education Laboratory. Aan Arbor,
Michigan: Prakken Publocations, Inc.
Sudaryanto & Pranowo. (Eds). 2001. Kamus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta: Badan
Pekerja Konggres Bahasa Jawa Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sugiyono. 2001. Perbandingan Perkembangan Kemampuan Kerja Antara Lulusan
SMK dan SMU. Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Negeri
Yogyakarta.
37
Wenrich, R.C. & Wenrich, J.W. 1974. Leadership in Administration of Vocational
and Technical Education. Columbus, Ohio: Charles E. Merill Publishing
Co.
World Bank. 1998. Education in Indonesia. From Crisis to Recovery. Education
Sector Unit East Asia and Pasific Region. Report No. 18651-IND.
38