AKU berjalan menyusuri pantai, mencari tempat untuk berteduh sejenak. Ingin ku sandarkan punggungku pada sebatang nyiur yang sudah tua di tepian laut, namun pohonnya terlalu tinggi sehingga naungannya tak kan mungkin mampu menjangkau aku. Aku berjalan terus ke arah Selatan, di mana terdapat sebuah batu cadas yang cukup besar. Untuk sampai ke sana, aku harus merelakan kakiku tertikam kerikil dan karang kecil yang berserakan di sepanjang pantai. Mereka seolah tak mau meninggalkan pasir putih itu berjemur sendirian di panas terik matahari.
Tak ada seorang pun di sini. Aku sangat gembira, sebab niatku untuk menikmati pemandangan laut yang biru memikat dapat terjawabi. Aku memang sangat mencintai alam. Selalu ada yang berbeda bila datang ke laut, berjalan di atas pasir putih yang masih basah oleh pasang yang baru saja pergi. Segera ku ayunkan langkahku agar dapat berteduh dalam bayang rongga batu yang alamiah berbentuk seperti sebuah kemah.
Oh, ini sebuah karang yang terkikis air, perlahan terpahat membentuk kemah. Aku yakin bahwa ini untukku. Ini milikku. Ini duniaku.
Kulihat permukaan batu berwarna hitam itu sangat eksotis. Hitam, mengkilap tetapi berbopeng, seperti batu-batu megalit yang pernah ku lihat pada kuburan suku-suku asli di pulau Sumba. Ku usap perlahan batu besar itu dan ku rasakan permukaannya yang kasar namun memikat. Kilap permukaannya ternyata disebabkan oleh sisa air laut yang mengering dan meninggalkan kristal garam. Sebab ketika ku jilati jariku, ternyata memang terasa asin. Aku menjadi semakin terpesona.
Batu asin, begitu saja aku menamakan cadas itu. Langsung saja aku menyuruk masuk dalam rongga batu asin ini. Ku rebahkan diriku agar dapat beristirahat sejenak dalam naungannya. Aku duduk bersandar, agar masih bisa menikmati birunya laut dan beberapa perahu nelayan yang melintas.
“Crak..” aku merasa sedang menindih sesuatu yang keras dan kaku. Segera ku angkat tubuhku dan memperbaiki posisi duduk. Aku menoleh ke bawah dan ternyata aku terlanjur duduk di atas sebuah buku. Ku tarik buku itu dengan tangan kiri agar aku dapat duduk dengan lebih nyaman. Ku letakkan saja buku itu di sampingku, dan segera menikmati alam yang mempesona. Hobiku memotret juga dapat tersalurkan. Beberapa kali aku mengambil gambar perahu nelayan yang sedang melaju.
Juga beberapa burung yang berbaris mengintai ikan. Oh, rasanya aku ingin tetap di sini selamanya. Aku terlarut dalam keindahan ini hingga senja menjemput. Perlahan garis-garis jingga mulai menusuk tajam dari sebelah Barat bumi. Matahari senja mulai menggoda. Ia hangat seperti belaian ibu saat menidurkan aku. Jingga warnanya, mirip bibir ayah ketika sedang mengunyah sirih pinang. Guratan tegasnya menulis di lembaran horizon, seperti garis-garis dasar ketika aku belajar menggambar di taman kanak-kanak.
Tepat ketika itu, beberapa burung bergerombol terbang. Sepertinya mereka ingin pulang ke sarang. Segera ku raih kamera di sampingku. Oh, ternyata aku mengangkat buku yang tadi ku tindih saat pertama tiba di kemah batu asin ini.
Entah buku apa, tak menarik terlihat. Seperti buku catatan harian, tapi sudah usang. Sampulnya berwarna kulit, tepatnya seperti kulit buaya. Ku letakkan kembali buku itu di tanah, agar segera aku dapat memotret. Tapi sayang, aku kehilangan momen itu. Burung-burung senjaku telah berlalu dengan cepat, seperti kereta malam yang tak hiraukan angin dan hujan.
Buku catatan di tanganku akhirnya kubuka. Aksara yang berbaris di atas garis hitam pada lembaran putih itu ku lumat dan ku maknai sesuka pengertianku. Aku membacanya hingga selesai.
Biru itu samudera
Sedalam hati yang kuselami
Tempat ikan kecil berlarian di balik karang
Punggungnya biduk berkayuh dua
Godai putih ombak, cumbui bibir pantai
Biru itu langit
Tempat burung-burung manyar bermesraan
Sembunyi di balik gemawan berbopeng
Dendangkan nada berirama cinta
Biru itu pelangi
Lorong kita tapaki putih nirwana
Temui pemilik nafas, mohon restu cinta berpadu
Biru itu matamu
Telaga jiwa berteduh
Teguk rasa dalam secangkir asmara
Biru itu hatimu
Taman mekarnya mawar-mawar putih
Oh, aku terlanjur membaca tulisan dalam catatan ini. Sebuah tulisan tangan yang tidak terlalu rapi, terkesan ditulis agak tergesa-gesa. Tulisan dengan tinta biru, tak biasanya. Aku tersadar ketika selesai membaca halaman pertama buku ini.
Masih banyak halaman di belakang yang juga telah terisi. Yang pasti bahwa pemilik buku ini adalah seorang pencinta keindahan, ia mencintai laut, mencintai alam. Aku menutup buku catatan yang ada di tanganku, sebab aku merasa berdosa telah membaca apa yang bukan menjadi hakku. Selembar kertas terjatuh. Aku memungutnya dan ku baca sebuah tulisan, “I will return. Adjie.”
Mungkinkah buku catatan ini milik Adjie? Lelaki berkulit gelap, atletis dan agak pendiam? Berarti ia mengasingkan diri dari rombongan kami sejak tadi. Tapi di manakah dia sekarang? Ku masukkan saja kertas itu ke dalam buku.
Burung manyar menulis di langit setengah lingkar
Ajak senja jingga redup melandai
Tuang warna di ruang bumi
Gemintang kecil mengintip malu
Ingin belai nyiur melenggok
Deru ombak nyanyikan lagu
Godai anak nelayan melaju perahu
Tersiram redup warna bulan
Kayuh melaju menanti berkah
Ku tunggu kau bila tiba senja yang lain
Aku mengisi halaman yang masih kosong dalam buku catatan Adjie, atau siapa pun pemilik buku ini. Yah, aku telah lancang. Namun tanganku tak mau berhenti menulis, sampai hasratku benar-benar tertuang. Aku menulis beberapa baris puisi. Dan segera ku tinggalkan kemah batu asinku yang penuh kenangan. Aku harus pulang sekarang. Ku biarkan saja buku catatan itu pada tempat semula agar sang pemilik tak susah mencarinya.
***
Aku kembali lagi ke kemah batu asin, seperti janjiku. Ah, apakah aku benar-benar berjanji, tapi kepada siapa? Aku tak peduli itu. Aku hanya ingin sekali lagi membuai senja di gelung ombak yang menderu. Aku ingin memotret barisan burung yang melukis di lengkung langit. Mereka yang ku tingalkan kemarin ketika buku usang itu mencuri niatku.
Serta merta seseorang menghampiriku, mengulurkan tangannya dan tersenyum. Aku ragu untuk menyambut tangannya, tetapi gerakan reflex memaksa tanganku terulur dan menyentuh telapak tangannya yang dingin.
” Aku datang menemui seseorang yang menungguku di senja yang lain,” demikian sapanya.
Aku terdiam, malu, gugup, dan beberapa rasa yang bercampur aduk mengacak jantung. Apakah benar dia sang pemilik buku catatan kemarin? Mengapa dia tahu jika akulah yang telah mencuri selembar halaman kosong dari buku catatannya? Ah, semua telah terjadi.
“Oh, maaf. Aku.”
“Aku telah membacanya, semua yang tertulis di lengkung langit, selembar dalam buku catatanku dan sebaris lagi di dalam hatimu,” ia menyela pembicaraanku dengan begitu ramah dan berisi.
Aku terhenyak. Lelaki ini sungguh sangat mempesona dalam katanya. Ia telah membacanya, membaca semuanya. Aku hanya bisa berpasrah dan tersenyum menggangguk. Tangannya yang dingin mulai terasa hangat dalam genggamku yang sedari tadi tak ku lepaskan. Jantungku seperti sedang memainkan irama ombak yang menghantam karang. Aku tak sanggup menatap rupanya yang mempesona. Perlahan ia mendekatkan bibirnya ke telingaku, “aku mencintaimu”, bisiknya lembut . Ia masih melanjutkannya lagi, “lebih dari pada cintaku pada laut, pada senja dan pada rasa yang ku tulis dalam catatan harian ini.” *
(Terinspirasi dari cerpen Arie Putra: Selembar Kisah Bersama Laut/PK 19 Mei 2013)
http://kupang.tribunnews.com/2013/07/07/buku-catatan-adjie