Oleh Mohamad Royan Efendi.
- 1. Latar Belakang
Dunia pendidikan terus dihadapkan pada tuntutan untuk menerapkan teknik pembelajaran yang efektif. Di negara kita, sorotan tajam menyoal efektifitas teknik pembelajaran salah satunya ditujukan kepada pengajaran bahasa Asing. Kritik tersebut didasarkan pada masih rendahnya kualitas output. Para lulusan sekolah dinilai gagal mencapai standar kompetensi yang diharapkan.
Suatu revolusi yang terjadi di dunia pendidikan adalah dikembangkannya pendekatan brain-based learning. Sampai belum lama ini, kegiatan belajar dinilai kurang memberdayakan potensi otak sebagai modal utama siswa dalam belajar secara optimal. Sekolah yang idealnya diharapkan berperan sebagai komunitas untuk memberdayakan kemampuan berpikir siswa pun kadang kurang memperhatikan fakta pentingnya penggunaan otak dalam proses pembelajaran.
Brain-based learning atau pembelajaran berbasis otak barangkali terdengar aneh di telinga awam. Bukankah setiap proses belajar melibatkan otak? Memang benar. Namun dalam konteks ini mesti dibedakan antara pembelajaran yang menggunakan otak, dengan pembelajaran yang selaras dengan cara kerja otak dalam belajar (Jensen, 2008).
Pendekatan brain-based learning ini pada gilirannya juga mendorong para ahli pendidikan untuk mengkaji relevansinya ketika diterapkan pada pembelajaran bahasa kedua atau bahasa Asing.
- 2. Tujuan Pembahasan
Telah ada banyak tulisan yang membahas tentang brain-based learning, namun tulisan-tulisan tersebut memfokuskan penerapannya pada bidang-bidang selain pengajaran bahasa. Makalah ini membahas penerapan metode brain-based learning dalam pengajaran bahasa Asing dengan merujuk berbagai sumber terkait.
- 3. Pembahasan
3.1. Definisi Brain-Based Learning
Pada tahun 1970, Paul McClean dalam konsep Triune Theory memaparkan hipotesisnya bahwa otak manusia terdiri dari tiga bagian penting, yaitu:
- Otak besar (neokorteks), memiliki fungsi utama untuk berbahasa, berpikir, belajar, memecahkan masalah, merencanakan, dan mencipta.
- Otak tengah (sistem limbik), berfungsi untuk interaksi sosial, emosional, dan ingatan jangka panjang.
- Otak kecil (otak reptil), berfungsi untuk bereaksi, naluriah, mengulang, mempertahankan diri, dan ritualitas.
Dari teori tersebut dikembangkanlah suatu model pembelajaran yang disebut Brain-based Learning. Brain-based learning adalah sebuah cara yang mengoptimalkan fungsi otak sebagai komponen utama dalam proses pembelajaran. Hal ini memungkinkan suatu sistem kerja biologis dalam tubuh bekerja mempengaruhi struktur dan fungsi otak sesungguhnya untuk belajar secara alamiah. Pada dasarnya, brain-based learning memfungsikan pengalaman sesungguhnya dalam proses pembelajaran. Caine (Tang, 2009) mengungkapkan adanya keterlibatan lima komponen dalam system pembelajaran alamiah otak, yaitu:
- The curious brain
Ia membangkitkan ketertarikan kepada hal-hal baru. Ini adalah komponen otak yang cenderung menjadi lebih aktif saat kita dihadapkan pada ide-ide dan tantangan baru.
- The meaningful brain
Makna lebih penting bagi tak dari pada informasi. Otak mencari makna melalui peniruan. Peniruan membuat otak mampu menyimpan pengetahuan ke dalam memori.
- The emotional brain
Emosi dan kecerdasan berasal dari bagian yang berbeda di otak, namun keduanya bekerja secara integral dan tak terpisahkan serta bisa ditingkatkan menggunakan stimulus dan tantangan.
- The social brain
Otak kita bersifat sosial. Interaksi dan keadaan sosial mempengaruhi tingkat stress. Proses belajar akan lebih efektif jika dilakukan dalam situasi yang menyenangkan pembelajar dimana proses membangun struktur pemahaman, pembelajaran yang kooperatif, dan interaksi sosial memungkinkan terjadi di dalamnya.
- The conscious and subconscious brain
Belajar melibatkan proses sadar dan bawah sadar. Belajar bukan hanya terjadi di dalam kelas, namun juga dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya Caine memaparkan dua belas prinsip brain-based learning beserta implikasinya dalam belajar, yaitu:
- Otak adalah sebuah prosesor parallel. Otak dapat menyajikan berbagai aktivitas, menggabungkan emosi, imajinasi, melibatkan system kesehatan dan memproses informasi untk pengetahuan dan kecerdasan dalam satu waktu. Pendidikan harus mencakup dan menggunakan semua dimensi dari proses parallel tersebut.
- Belajar dipengaruhi oleh fisiologi. Belajar adalah sebuah proses alamiah sealamiah organ tubuh saat bernafas dan memungkinkan organ lain untuk memfasilitasinya. Pada kenyataannya, benang merah sesunguhnya dalam tak kita dipengaruhi oleh hidup dan pengalaman belajar.
- Pencarian makna adalah pembawaan. Proses mengambil hikmah dari pengalaman yang didapat adalah pertahanan diri yang mendasar pada otak manusia. Otak membutuhkan dan secara otomatis merekam hal-hal yang menjadi kebiasaan serentak dengan pencarian dan merespon stimulus baru. Hal-hal yang telah menjadi kebiasaan dan hal yang baru, keduanya harus dikombinasikan dalam sebuah lingkungan belajar.
- Pencarian makna terjadi dengan meniru. Otak berusaha membedakan dan memahami hal-hal yang dicontohkan sebagaimana hal tersebut dapat terjadi dan mengekspresikannya dalam bentuk yang unik dan reatif agar dapat dipahami dengan sendirinya. Pendidikan yang efektif harus member kesempatan kepada pembelajar untuk memahami dengan caranya sendiri. Itu berarti para embelajar memerlukan kesempatan untk menyatukan kemampuan dan ide mereka sendiri dalam caranya ntuk memahami.
- Emosi sangat mempengaruhi proses meniru. Apa yang kita pelajari dipengaruhi dan diatur oleh emosi dan perasaan serta melibatkan harapan dan prasangka pribadi, egoisme, dan kebutuhan akan interaksi social. Emosi dan pemikiran saling terikat satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan. Suatu iklim emosi buatan tidak bisa dihindari untuk menyuarakan pendidikan.
- Setiap otak secara serempak mengamati dan menciptakan bagian-bagian dan keseluruhan pengetahuan yang didapat. Meskipun otak kanan dan otak kiri berbeda, namun kedua belahan otak tersebut berinteraksi dalam setiap aktivitas. Doktrin mengenai ‘dua bagian otak’ lebih berguna untk mengingatkan kita bahwa otak menyaring informasi ke dalam bagian-bagian dan mengamatinya pada satu waktu. Pendidikan yang baik akan memperhatikan prinsip ini. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengenalkan materi secara global juga ide-idenya sedari awal proses pembelajaran.
- Belajar melibatkan perhatian yang fokus dan persepsi yang meluas. Otak menyerapinformasi yang diterima secara langsung dan juga menyerap informasi dari hal-hal yang terjadi secara mendadak di luar focus perhatian. Faktanya, otak merespon seluruh hubungan sensorik selama terjadinya pengajaran dan komunikasi. ‘Persepsi meluas’ ini sangatlah berpotensi. Para pendidik harus bisa memperhatikan semua emungkinan yang terjadi dalam lingkungan belajar.
- Belajar selalu melibatkan proses sadar dan tidak sadar. Kebanyakan pembelajaran kita adalah hasil proses yang tidak kita sadari. Lebih jauh lagi, ia merupakan keseluruhan pemahaman yang berproses. Artinya, kebanyakan pemahaman mngkin tidak terjadi selama di kelas tetapi mungkin terjadi berjam-jam, bermingguminggu, bertahun-tahun kemudian. Pada pendidik harus mengatur apa yang akan dilakukannya sehingga dapat memfasilitasi proses selanjutnya yang terjadi secara tidak sadar melalui pengalaman yang akan didapat oleh pembelajar.
- Kita memiliki setidaknya dua sistem memori, yaitu spasial dan hafalan. Sistem memori spasial atau memori otobiografi alamiah yang kita miliki merekam semua yang terjadi pada tubuh, misalnya makanan yang kita makan. Kita juga memiliki system hafalan yang merecall informasi. Sistem-sistem ini termotivasi oleh reward dan hukuman. Dengan demikian, informasi yang berarti dan tak berarti diatur dan disimpan secara terpisah. Satu-satunya cara agar orang-orang dapat menerimu sebegitu banyaknya informasi secara efektif adalah dengan belajar memahami.
- Otak memahami dan mengingat paling baik saat kenyataan dan kemampuan menyatu dalam memori spasial alami. Bahasa ibu yang kita miliki dipelajari melalui multi pengalaman yang interaktif. Ini dibentuk oleh proses internal dan interaksi sosial. Subjek yang kompleks dapat dipahami dengan mudah saat terjadi pada pengalaman yang nyata.
- Belajar dapat berkembang oleh adanya tantangan dan terhalangi oleh ancaman. Otak dapat belajar secara optimal dan menciptakan koneksi maksimum saat menerima tantangan. Sebaliknya, otak menjadi tidak fleksibel dan kembali pada kelakuan primitif ketika di bawah ancaman. Para pendidik harus mengatur dan menciptakan atmosfir belajar yang rileks, melibatkan ancaman seminimal mungkin, dan tantangan semaksimal mungkin.
- Setiap otak adalah unik. Kita semua memiliki sistem otak yang sama, namun secara keseluruhan kita berbeda. Pilihan, variasi, dan proses mult sensor merupakan hal yang mendasar untuk brain-based learning.
Sedangkan tiga strategi utama yang dapat dikembangkan dalam implementasi Brain Based Learning yaitu: (1) menciptakan lingkungan belajar yang menantang kemampuan berpikir siswa; (2) menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan; dan (3) menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa (Sapa’at, 2009).
3.2. Penerapan Brain-based learning dalam pembelajaran bahasa Asing
Riset mengenai pendekaan brain-based learning dan pembelajaran bahasa asing telah membuktikan bahwa metode konvensional tidak akan menghasilkan pemahaman yang berkualitas dan mendalam pada diri para pembelajar. Siswa kita bukanlah tape recorder yang akan hanya menunggu pengetahuan yang akan kita berikan. Mereka adalah subjek yang bisa melakukan berbagai hal sekaligus. Mereka bisa bermain video game, berbicara di telepon genggam, dan mendengaran musik di saat yang sama tanpa melewatkan satu nada pun.
Para guru bahasa asing yang ingin mengupdate, menyegarkan, dan mematangkan pengajaran mereka semestinya menerapkan prinsip-prinsip belajar otak. Prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan Caine tersebut bisa menjadi dasar belajar-mengajar bahasa asing pada kualitas tertinggi.
Penerapan prinsip-prinsip brain-based learning dalam pembelajaran bahasa Asing sebagaimana dipaparkan Lombardi (2004) adalah sebagai berikut:
- Karena otak adalah sebuah system adaptif yang kompleks, maka otak dapat berfungsi pada berbagai level dengan berbagai cara secara simultan. Pembelajaran dengan menggunakan tugas yang terstruktur secara kompleks harus menggunakan pendekatan yang multi. Andrew Cohen berdasarkan penelitiannya (Lombardi, 2004) menyarankan para pengajar bahasa asing untuk merubah tugas verbal menjadi tugas visual, dan tugas visual menjadi tugas kinestetik (tugas yang merangsang siswa untuk bebas berimajinasi dan mewujudkannya ke dalam bentuk riil). Menantang otak, bukan melemahkannya dengan beban yang berlebih akan membuat pikiran pembelajar tetap ceria dan ini mendasar dalam pembelajaran bahasa asing. Aktivitas yang berubah secara dinamis merangsang pikiran dan tindakan dalam kelas bahasa asing.
- Otak bersifat sosial. Otak suka dan merespon dengan baik setiap interaksi sosial dan berbagi ide secara oral antar pribadi. Pembelajaran bahasa Asing hendaknya bersifat kooperatif. Tugas yang terstruktur, penunjukan peran dan tim, berbagi materi pelajaran, dan menciptakan ketergantungan antar anggota tim sangat diperlukan untuk menciptakan pembelajaran kooperatif dalam kelas bahasa. Model pembelajaran kooperatif sangat penting dalam pengajaran bahasa Asing, terutama untk mendukung kegiatan listening dan speaking, serta bermanfaat sebagai mekanisme pendukung untuk para pembelajar yang mempunyai masalah kepercayaan diri.
- Karena pencarian makna bersifat naluriah, pada dasarnya otak tidak hanya ingin mengetahui apa yang dipelajari, tetapi juga ingin mengetahui tujuan dan arti pentingnya. Singkatnya, otak memerlukan penjelasan. Ketika pengajar bahasa Asing berbagi dengan para siswa tentang apa dan mengapa mereka mempelajari sesuatu, bukan hanya apa dan bagaimana, otak menghargai yang demikian ini.
- Ketika otak menemui sebuah gagasan baru, ia mencari pengetahuan dan pengalaman yang telah ada sebelumnya. Pengajar bahasa Asing yang efektif akan memulai proses belajar dengan kumpulan gambar yang terintegrasi dengan gambar-gambar yang pernah dipelajari sebelumnya, membuat prediksi, memperkenalkan kosa kata, mengadakan sharing secara berpasangan, dan mempresentasikan video-video, untuk mempersiapkan otak menerima pengetahuan baru. Membantu siswa mengintegrasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang mereka terima sebelumnya membuat proses belajar lebih bermakna.
- Karena emosi sangat mempengaruhi proses peniruan, dalam kelas bahasa Asing, penciptaan suasana yang hangat, dan nuansa yang dapat mendorong proses pendidikan akan sangat mendukung kesuksesan hasil, misalnya: strategi pembelajaran yang bervariasi, dan menyusun bahan ajar yang bisa merangsang gairah para siswa.
- Karena setiap otak secara simultan menerima dan menciptakan bagian-bagian dan pemahaman secara utuh, maka sebagaimana kita menggunakan seni untuk mengajar matematika atau music untuk mengajar fisika, dalam pembelajaran bahasa Asing pun, pendekatan lintas-disiplin yang akan melibatkan interaksi dua belahan otak kanan dan kiri akan sangat bermanfaat.
- Karena belajar melibatkan perhatian yang terfokus sekaligus meluas, maka pengajar bahasa Asing harus memperhatikan aspek-aspek yang tidak tampak namun ada pada setiap diri siswa yang biasanya muncul dalam bentuk respon unik satu-persatu dari mereka.
- Karena belajar selalu melibatkan proses sadar dan bawah sadar, maka pengajar bahasa Asing harus memahami bahwa proses belajar di kelas hanyalah sebagian kecil dari proses belajar secara keseluruhan. Proses belajar lebih jauh terjadi selanjutnya ketika para siswa menggali kembali apa yang telah mereka pelajari, menghubungkannya dengan pengalaman hidup mereka, atau menerapkan apa yang telah mereka ketahui dalam hidup keseharian mereka. Untuk dapat menghadirkan pikiran bawah sadar yang tampak itu, pengajar bahasa Asing menggunakan refleksi dan metakognisi dengan cara bertanya kepada mereka maupun mengaplikasikan ilmu yang telah diterima. Bagaimana pengetahuan tersebut diterapkan? Dikaitkan? Bagaimana pula pengetahuan tersebut berfungsi dalam kehidupan nyata?
- Kita memiliki dua memori; jangka pendek dan jangka panjang. Dua macam ingatan tersebut membantu pembelajar bahasa Asing merekam seluruh pengalaman mereka, sebagai ingatan yang berarti dan tak berarti dan disimpan secara berbeda. Para pengajar bahasa Asing bisa memfokuskan diri pada dua tipe ingatan tersebut dengan menyusun aktivitas belajar menjadi bagian-bagian yang berarti, menempatkan ide-ide baru dalam konteksnya, menghadirkan cara belajar yang variatif dan multi bakat ke dalam kelas.
- Mempelajari sesuatu yang baru sebenarnya membuat otak tumbuh dengan membangun jalur saraf baru. Para pengajar bahasa Asing dapat memanfaatkan kenyataan ini dengan menerapkan strategi pembelajaran sampai tak terhingga banyaknya.
- Bahwa belajar dapat ditingkatkan dengan memberikan tantangan dan sebaliknya tertahan karena adanya ancaman, maka para pengajar bahasa Asing jangan sampai mengajarkan materi yang berada di bawah level kemampuan siswa. Jika mengajarkan hal yang sama dengan tingkat kemampuan siswa, maka mereka akan merasa nyaman namun tidak belajar banyak. Mengajarkan sesuatu yang sedikit di atas level kemampuan siswa, dengan kata lain menantang namun tidak mustahil mereka lakukan, dapat menggairahkan siswa untuk berupaya lebih keras. Pengajaran bahasa Asing dewasa ini lebih efektif jika bernuansa pertemanan, bukan kita versus mereka (baca:siswa).
- Prinsip bahwa setiap otak terorganisir secara unik telah menjawab mitos ‘Siswa Malas’. Masalah para pengajar bahasa Asing bukanlah ‘Seberapa pintar siswa saya’, tetapi ‘Bagaimana siswa saya pintar’. Jika diberikan asistensi yang tepat dalam mengatur proses belajar mereka melalui rencana kerja, berbagai pendekatan alternatif, dan pemantauan tugas-tugas yang diberikan, para pembelajar bahasa Asing dapat meningkatkan kemampuan dan sikap mereka terhadap pelajaran.
- 4. Kesimpulan
Pembelajaran bahasa Asing dewasa ini tidak lagi efektif dengan menggunakan pendekatan lama. Proses belajar mengajar harus diberikan tidak dengan cara memberi penjelasan panjang, tetapi dengan menciptakan suasana dialogis dan interaktif di kelas, baik antara siswa dan guru, maupun antara siswa dengan teman-temannya. Dalam belajar bahasa Asing, para siswa harus diajak kepada atmosfer kelas yang menarik melalui strategi pembelajaran yang lebih menghargai kekuatan otak mereka dengan cara: menerapkan teknik pembelajaran yang variatif dan dinamis serta menantang; tidak mengabaikan kebutuhan mereka untuk bersosialisasi; mengkomunikasikan tujuan pembelajaran dengan mereka; mengintegralkan materi ajar baru dengan pengetahuan yang telah didapatkan sebelumnya serta pengalaman-pengalaman mereka, Sedapat mungkin melibatkan siswa secara fisik dengan materi yang sedang dipelajari; memperhatikan konteks pembelajaran; menyelaraskan belahan otak kiri dan kanan siswa dengan menyusun materi ajar secara lintas-disipliner; serta tidak mengabaikan keunikan struktur kognitif masing-masing siswa dengan memperkaya alternatif pendekatan terhadap peserta didik.
REFERENSI
Jensen, E., Pembelajaran Berbasis Kemampuan Otak: Cara Baru dalam Pengajaran dan Pelatihan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
Lombardi, Judy, Practical Ways Brain-based Research Applies to ESL Learners, California State University Northridge, 2004, The Internet TESL Journal, Vol. X, No. 8, http://iteslj.org/Articles/Lombardi-BrainResearch.html
Sapa’at, A., Brain-based Learning, Artikel internet, 2010, http://matematika.upi.edu/index.php/brain-based-learning/
Tang, Frank Lixing, Brain-based Foreign Language Learning, ESL Journal, Robin Harvey New York University, 2009