Oleh Akhmad Saefudin SS ME (Staf Pengajar Madrasah Diniyyah Ath-Thohiriyyah Purwokerto, udien_humas@yahoo.com).
Karena terlambat masuk kelas, Maman (nama sebenarnya) harus berurusan dengan guru BP (kini guru BK). Singkat kisah, guru BK menjatuhkan hukuman atas keterlambatan Maman. Pertama, ia tidak boleh masuk kelas hingga jam pelajaran berikutnya. Kedua, Maman harus menulis kalimat ‘Saya tidak akan terlambat lagi’ sebanyak seratus kali. Peristiwa tersebut adalah salah satu hal yang penulis lihat dan alami semasa duduk di bangku SMP dulu.
Persepsi pendidikan kita selama ini mengatakan, setiap anak yang ber(ma)salah harus berurusan dengan guru BK. Tidak jarang terjadi mereka diberi sanksi, dari yang ringan hingga tidak boleh mengikuti pelajaran. Dalam hal ini siswa didik ibarat pesakitan yang layak dihukum agar tidak lagi mengulangi perbuatan serupa. Alasan kenapa anak didik membolos atau terlambat sekolah dan jenis pelanggaran lainnya, apa sebab-musabab melanggar aturan sekolah, dan lain-lain, jarang sekali digali guna dicarikan solusi yang terbaik. Lebih parah lagi, sanksi yang dijatuhkan kepada para siswa kerapkali bukan win-win solution, bahkan tidak jarang terjadi hukuman yang ditimpakan malah kontra-produktif bagi proses pendidikan itu sendiri. Jangan-jangan, eksistensi BP/BK tidak banyak berubah. Sehingga anak didik yang berurusan dengan guru BK pun mendapat stigma sebagai siswa yang bermasalah.
Pola pendidikan kita, mengutip Drost (2005:31), terlalu cepat menghukum dan tidak memberi kesempatan pada anak didik berbuat salah. Kalau setiap kesalahan anak didik langsung ditindak, sama halnya kita mendidik mereka menjadi penakut yang tidak akan pernah mempunyai inisiatif. Orang semacam itu, masih menurut Drost, tidak perlu bertanggung jawab karena hanya pembeo. Kalau anak salah, seharusnya diberi tahu apa yang salah dan dibantu memperbaiki kesalahannya. Dengan begitu, anak belajar dari kesalahan yang timbul dalam kehidupan setiap manusia. Namun, kalau setelah dibimbing anak didik tetap melakukan kesalahan yang sama, maka ia perlu ditindak dengan tegas.
Idealnya, penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) diberikan secara berimbang. Pujian lisan maupun tertulis adalah wujud penghargaan. Ironisnya, lembaga pendidikan kita terlampau pelit memberikan pujian (baca: apresiasi) kepada peserta didik secara umum. Penghargaan oleh pihak sekolah cenderung teruntuk siswa-siswi berprestasi, yang diukur dari capaian angka-angka nilai akademik belaka. Sementara anak didik berbakat yang tidak menonjol dalam hal akademik hampir tidak beroleh reward dalam aneka bentuknya. Maka, merupakan hal mendesak bagi setiap orangtua untuk mengapresiasi berbagai prestasi anak masing-masing. Kalimat-kalimat apresiasi berikut sudah selayaknya keluar dari mulut para orangtua, ibu untuk anak-anak tercinta: “Kamu memang anak Ibu yang manis! Kamu memang anak Ibu yang pintar! Tulisanmu sangat bagus, Nak! Ibu bangga denganmu, Nak! Dan sebagainya.
Sebagai orangtua kedua, guru pun perlu didorong untuk memberikan hukuman yang cerdas sekaligus mendidik, yang bermuara pada penggalian potensi sekaligus menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik. Hukuman bagi siswa bermasalah perlu disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Anak-anak yang melanggar peraturan sekolah bisa diberikan hukuman menjadi petugas upacara, pengibar bendera, dirigen, pembaca teks Pembukaan UUD 1945, atau komandan upacara sekalipun. Setelah menunaikan hukuman itu dengan baik, maka mereka pun layak mendapat pujian atau apresiasi sebagai bentuk reward. Saya kira, sudah saatnya anak-anak didik kita diberi hukuman yang eduka(produk)tif. Dan, para ibu perlu proaktif mendorong sekolah untuk mewujudkannya. Nah!
.
http://www.surya.co.id/2011/08/16/begini-cara-hukuman-cerdas-untuk-murid