Oleh Rulam Ahmadi
Belakangan ini kemiskinan merupakan salah satu isu sentral di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Suatu hal penting bagi Indonesia bahwa kemiskinan itu bukan hanya merupakan masalah pembangunan, namun lebih dari itu kemiskinan yang semakin meningkat menandakan semakin jauhnya tercapainya cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia sebagaimana termaktup dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni terwujudnya masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.
Pemerintahan demi pemerintahan telah melakukan berbagai program pengentasan kemiskinan, tetapi hasilnya jauh dari yang diharapkan. Apa yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih cenderung menggunakan pendekatan ekonomi, sehingga dengan pertumbuhan ekonomi diharapkan penduduk miskin akan berkurang. Namun kenyataannya yang terjadi bukan pertumbuhan ekonomi, melainkan pertumbuhan kemiskinan. Bantuan yang diberikan pada masyarakat miskin berupa uang dengan harapan untuk dijadikan modal usaha. Niat ini sangat baik, namun niat baik saja tidak cukup untuk membantu si miskin karena mereka memiliki karakter spesifik. Pengalaman Inpres Desa Tertinggal (IDT), misalnya, diplesetkan sebagai “Iki Duit Teko” (ini uang datang). Lantas yang mereka perbuat dengan uang itu bukan untuk modal usaha dan bukan juga untuk membeli kebutuhan pokok, melainkan digunakan untuk kebutuhan sekunder. Program terkini bantuan untuk kemiskinan sebagai dampak dari kenaikan BBM adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT). Program ini juga adalah sangat baik, namun implementasinya banyak persoalan. Persoalan langsung adalah banyaknya salah sasaran atau sasaran yang disasarkan demi kepentingan sekelompok sasaran. Akibatnya banyak orang yang penasaran. Persoalan tidak langsung adalah akibat jangka panjang, yakni terciptanya kebergantungan dan kemiskinan yang berkelanjutan.
Pengentasan kemiskinan hendaknya didasarkan pada pemahaman tentang dimensi-dimensi kemiskinan, sehingga apa yang kita lakukan tidak sia-sia. Kemiskinan merupakan hasil proses ekonomi, politik, dan sosial yang berinteraksi satu sama lain dan seringkali memperkuat satu sama lain dalam cara-cara yang memperburuk kerugian di mana penduduk miskin itu hidup. Aset yang kurang, pasar yang tidak dapat diakses, dan kesempatan kerja yang langka mengunci penduduk dalam kemiskinan material (World Development Report 2000/2001:1). Akibat kemiskinan juga sangat dipengaruhi oleh norma sosial, nilai, dan praktek adat dalam keluarga, masyarakat, atau pasar, yang mengarah pada ekslusi kelompok wanita, etnik, dan rasial, atau tidak beruntung secara sosial. Selain itu, World Development Report 2000/2001 menegaskan bahwa kerentanan terhadap peristiwa-peristiwa eksternal dan umumnya tidak dapat dikontrol – sakit, kekerasan, guncangan ekonomi, cuaca yang buruk, bencana alam – memperkuat perasaan sakit penduduk miskin, memperburuk kemiskinan material, dan memperlemah posisi tawar-menawar mereka (World Development Report 2000/2001:3). Beberapa faktor tersebut harus menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan dalam penyusunan dan implementasi kebijakan tentang pengentasan kemiskinan. Jika tidak, maka semua itu sandiwara belaka.
Membantu masyarakat miskin yang lazim berupa pemberian dana secara langsung seharusnya berubah. Hal ini sangat tergantung pada pihak pemerintah yang berperan sebagai pembuat kebijakan khususnya berkenaan dengan penanganan masalah kemiskinan, yang selama ini cenderung berperan sebagai pemberi dan masyarakat miskin sebagai penerima pemberian. Pemberian semacam itu kurang efektif karena pada gilirannya akan membuat mereka bergantung. Sebagaimana dikatakan oleh Ginandjar Kartasasmita (1995:22) bahwa peran aparatur negara harus sudah bergeser dari mengendalikan menjadi mengarahkan, dan dari memberi menjadi memberdayakan. Selanjutnya Ginandjar Kartasasmita (1995:20) menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain).
Banyak langkah penting untuk pengentasan kemiskinan, namun yang terpenting dalam semualangkah itu adalah pembangunan kapital manusianya, karena pada dasarnya mereka sendiri yang dapat menolong dirinya sendiri dengan suatu prinsip “membantu mereka untuk membantu dirinya sendiri” (help the people to help them selves). Ketahui bahwa penduduk yang hidup dalam kemiskinan secara bawaan lahiriah mampu bekerja dengan caranyanya sendiri untuk keluar dari kemiskinan secara bermartabat, dan dapat menunjukkan potensi kreatifnya untuk memperbaiki situasi mereka apabila lingkungan yang memungkinkan dan kesempatan yang benar itu ada (http://www.gdrc.org/icm/iym2005/role-of-microcredit.html#N_80_).
Menurut Economic and Social Commission for Asia and Pacific (ESCPA), bahwa program mobilisasi sosial harus dimasukkan ke dalam kebijakan desentralisasi, di mana penduduk miskin dapat dimotivasi, diorganisir dan diberdayakan untuk mencapai akses pada sumber-sumber dan kesempatan-kesempatan yang ada (Dulic, 2004). Perencanaan yang didesentralisasikan mempermudah partisipasi dan memaksimalkan mobilisasi sumber. Pada gilirannya, hal ini meyakinkan bahwa layanan itu akan lebih relevan pada kebutuhan masyarakat dan rumah tangga. Desentralisasi yang menegaskan perencanaan lokal tentang tindakan, menempatkan akuntabilitas dan tanggung jawab pada tingkat yang cocok, dan memungkinkan tindakan yang cepat mengikuti pengawasan dan pemecahan masalah (Ambler, 1999:10). Pentingnya partisipasi penduduk miskin dalam penyusunan dan implementasi program kemiskinan adalah untuk menumbuh-kembangkan rasa memiliki (sense of belongisness) dan motivasi mereka. Hanya dengan cara demikian program kemiskinan akan berhasil.
Urian di atas dapat disimpulkan bahwa pengentasan kemiskinan harus senantiasa mempertimbangkan unsur modal manusia dengan orientasi pada pembangunan manusia yang berkelanjutan demi tewujudnya bangsa yang mandiri. Bantuan dana secara langsung sudah saatnya berubah menjadi bagian integral dalam pendekatan pemberdayaan sehingga memungkinkan mereka untuk mengembangkan potensi kreatifnya melalui intervensi pendidikan yang tepat. Hanya dengan pendidikan yang cocok, potensi mereka akan berkembang secara optimal demi kelangsungan hidup mereka tanpa batas ruang dan waktu. Kesungguhan pemerintah dalam mengentas kemiskinan harus dibuktikan dengan menegakkan keadilan, di mana korupsi sebagai faktor utama kemiskinan harus diberantas ke akar-akarnya. Bila ini tidak dilakukan, perjuangan pengentasan kemiskinan hanyalah impian di siang bolong.
*) Rulam Ahmadi adalah dosen Universitas Islam Malang