Assalaamualaikum Pak Ustadz.
Saya mau tanya mengenai Qadha dalam salat. Di tempat saya ada sebagian orang yang apabila dia sakit tidak salat lima waktu, katanya nanti saja kalau sudah sembuh di-qadha. Ada juga yang apabila sakit kemudian sampai meninggal dan belum sempat salat (tidak salat selama sakit) maka ahli warisnya akan menggantinya dengan membayar fidyah. Benarkah cara seperti ini? Adakah dalilnya.
(Hidayat)
Jawab:
Mengerjakan suatu kewajiban setelah berlalu waktunya disebut mengqadha. Seorang Muslim seharusnya melaksanakan kewajibannya, termasuk salat pada waktu yang ditetapkan. Dia berdosa jika menangguhkannya sampai waktunya lewat, kecuali jika ada uzur. Dalam Perang Khandaq, Nabi Muhammad saw berada dalam situasi yang begitu mencekam, sehingga tidak sempat mengerjakan empat shalat sampai jauh malam. Akhirnya, beliau melaksanakan shalat Dzuhur, Asar, Maghrib, dan Isya secara berturut-turut dengan diselingi iqamah. Demikian riwayat yang berasal dari at-Tirmidz, an-Nasai, dan Ahmad.
Memang, setiap orang yang mempunyai kewajiban harus menunaikannya, “(Utang kepada) Allah lebih wajar untuk ditunaikan,” (HR Bukhari dan an-Nasai dari Ibnu Abbas).
Disepakati oleh para ulama bahwa wanita yang sedang haid dan baru melahirkan (nifas), dan orang kafir yang belum pernah memeluk Islam, atau orang gila, semuanya, tidak wajib meng-qadha saalatnya. Orang yang ketiduran, lupa, atau dalam situasi yang tidak mengizinkan (takut menyangkut diri atau orang lain seperti bidan atau dokter yang sedang menjaga pasien gawat) dituntut meng-qadha salatnya. Ketika itu, mereka tidak dinilai berdosa.
Qadha harus dilaksanakan segera begitu uzur atau halangan tadi terselesaikan. Jika seseorang berkali-kali tidak mengerjakan salat, baik karena uzur maupun tidak, maka dia harus memperkirakan—dan bahkan harus menduga keras atau meyakini—berapa kali dia tidak mengerjakan salat dan kemudian meng-qadha-nya. Adapun orang sakit yang telah wafat dan tidak dapat melaksanakan salat, walau dengan isyarat, ketika sakit, maka dalam mazhab Abu Hanifah, dia tidak wajib memberi wasiat untuk membayar kafarat atau fidyah.
Adapun bagi yang mampu mengerjakan salat— walau dengan isyarat—tetapi tidak melaksanakannya, maka dalam kasus semacam ini dia harus berwasiat agar keluarganya membayar kafarat. Tentu saja, dari harta yang ditinggalkannya. Keluarga boleh juga secara sukarela—bila yang bersangkutan tidak berpesan atau tidak memiliki harta—untuk membayarkan fidyah atau kafaratnya.
( rmd / rmd )
***
http://ramadan.detik.com/read/2012/07/18/173832/1968771/1254/apakah-salat-boleh-diqadha