
Uniknya, saat ditangkap lalu akan dibawa ke Mapolsek, seorang siswa SD memberi uang Rp 5.000 kepada polisi. “Agar dia tidak ditangkap dan dibawa ke kantor,” ujar seorang anggota Polsek Lueng Bata sambil geleng-geleng kepala. Ia tidak habis pikir anak usia SD sudah berani menyuap polisi.
Anggota Polsek yang tidak mau disebutkan namanya itu mengaku sangat terkejut dengan kejadian tersebut. Namun, pihak Polsek Lueng Bata tidak bersedia menyebutkan identitas anak tersebut karena masih di bawah umur. “Anak itu masih kecil, jadi tidak boleh kami sebut identitasnya termasuk siapa orang tuanya,” kata polisi itu.
Kasat Binmas Polresta Banda Aceh, Kompol Junaidi mengatakan, saat penangkapan dilakukan, polisi berhasil menangkap 12 siswa yang bolos sekolah. Sekitar pukul 09.00 mereka terlihat menghabiskan waktu di warnet dengan seragam sekolah. Dikarenakan polisi juga mengemban tugas membimbing masyarakat, ditangkaplah para pelajar itu guna diberi bimbingan.
Junaidi mengatakan, dari 12 siswa yang ditangkap itu, sembilan di antaranya dijemput orang tua mereka di Mapolsek.
Tiga lainnya tidak dijemput sehingga polisi mengantar mereka ke sekolah. “Kami hanya membina mereka, dengan harapan mereka tidak bolos sekolah lagi,” ujar Junaidi.
Koordinator Gerakan Anti-Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani yang diminta tanggapannya terkait kasus tersebut, mengatakan budaya korupsi yang telah sangat masif terjadi di Indonesia rupanya terekam dalam pikiran anak-anak. Saat mereka menghadapi masalah, jalan keluarnya adalah menyogok. “Ini terjadi karena mereka melihat orang dewasa sering melakukannya,” ucap Askhalani.
Ia menambahkan, budaya KKN di Indonesia telah merambah ke semua sendi kehidupan masyarakat, mulai dari orang dewasa sampai anak-anak sehingga korupsi sangat sulit diberantas.
“Belum lagi anak-anak melihat orang dewasa memberikan uang kepada polisi saat mereka ditilang atau melanggar hukum lainnya. Akhirnya, mereka belajar dari pengaruh negatif itu,” tuturnya.
Psikolog anak di Banda Aceh, Nursam Junita, kepada SH menyebutkan kejadian ada murid SD berani menyogok atau menyuap polisi tidak terjadi sendirinya. Ini karena si anak belajar dari orang dewasa melalui pendengaran atau melihat sendiri.
“Ketika mereka pernah melihat orang dewasa bisa menyuap polisi saat ditilang atau lainnya, saat berurusan dengan polisi mereka juga akan melakukan hal yang sama. Bisa jadi anak tersebut pernah mengalami langsung kejadian tersebut atau belajar dari membaca dan dari media lainnya,” ujar Nursam yang aktif di Geubrina Asa Center Banda Aceh.
Menurutnya, saat situasi terjepit karena akan ditangkap polisi akibat bolos sekolah, siswa tersebut pasti khawatir akan menghadapi masalah baru dengan orang tuanya. Jadi, ia berusaha melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan diri agar tidak sampai dibawa ke kantor polisi.
“Sebenarnya anak tersebut bisa disebut anak yang cerdas karena dapat berpikir dengan cepat, meskipun saat dia terjepit, cara menyelesaikan masalahnya salah. Namun, ini terjadi karena dia pernah melihat cara penyelesaian masalah seperti itu sehingga ikut mempraktikkan kejadian tersebut,” tutur Nursam.
Ia berpendapat, perilaku negatif anak tersebut dapat diubah dengan memperbanyak kegiatan positif. “Perilaku itu masih bisa diubah, selama semua pihak ikut mengubah perilaku negatif sehingga tidak dicontoh anak-anak,” ucapnya.
Sebagian Besar Menyuap
Data mencengangkan dikeluarkan Transparency International (TI) Indonesia, pada Januari 2014. Hasil survei yang dilaksanakan lembaga antikorupsi tersebut selama April-September 2013, menyimpulkan sebagian besar pemuda di Aceh pernah menyuap kepolisian dan aparat pemerintah lainnya.
Koordinator Program Kepemudaan Transparency International (TI) Indonesia, Lia Toriana, Senin (20/1), menyebutkan pemuda di Aceh masih menganggap semua lembaga yang melayani kepentingan dan keamanan publik masih melakukan praktik suap. “Data tersebut kami kumpulkan dari hasil survei yang dilakukan TI Indonesia terhadap anak muda di Provinsi Aceh selama April-September 2013,” kata Lia Toriana.
TI Indonesia melakukan survei terhadap 1.556 responden berusia 15-30 tahun dan 444 responden dewasa sebagai pembanding. Pemuda di Aceh tersebut ditanya tentang integritas dan terhadap tindakan antikorupsi.
Hal yang sangat mengejutkan adalah, hasil survei itu menunjukkan 82 persen dari 1.556 pemuda di Aceh mengaku pernah memberi suap kepada polisi saat ditilang. “Mereka berdamai dengan polisi dengan memberi suap agar tidak perlu membayar denda lebih besar,” ujarnya.
Ia juga memaparkan, dari hasil survei tersebut ditemukan 77 persen anak muda di Aceh tidak percaya institusi negara bidang keamanan dan ketertiban, atau TNI dan polisi, bersih dari tindak pidana korupsi, khususnya suap. “Hanya 23 persen anak muda di Aceh yang percaya institusi TNI dan polisi bersih tidak korupsi, khususnya suap,” katanya.
Ia menambahkan, 30 persen anak muda di Aceh mengaku pernah menemukan, bahkan menyuap, petugas di lembaga pemerintah saat mereka mengurus SIM atau paspor dengan cara cepat alias paspor atau SIM tembak. Hal ini membuktikan kepercayaan pemuda di Aceh terhadap institusi pemerintahan, khususnya yang melayani kepentingan publik bidang administrasi nasional, masih rendah.
Banyak juga responden yang mengaku pernah menyuap aparat pemerintah ketika mengurus berbagai surat di lembaga pemerintah. Padahal, mereka mengetahui melakukan suap bertentangan dengan hukum dan termasuk korupsi. “Anak muda di Aceh sangat paham dengan tindakan antikorupsi,” seru Tia.
Seorang pemuda di Banda Aceh, Wahyudi, menegaskan pernah menyuap polisi lalu lintas yang menangkapnya karena tidak memakai helm. “Saya menyuap atau berdamai dengan polisi agar prosesnya tidak lama dan saya tidak perlu berurusan dengan pengadilan. Saya juga dapat membayar dengan harga murah saat berdamai dengan polisi,” kata Wahyudi.
Mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Aceh tersebut mengetahui menyuap polisi bertentangan dengan hukum. “Tapi saya pilih berdamai agar prosesnya cepat,” ucapnya.
Sumber : Sinar Harapan
http://sinarharapan.co/news/read/141028024/-div-anak-sd-menyuap-polisi-div-div-div-