AKU BERHUMOR MAKA AKU ADA: IDENTIFIKASI DIRITOKOH LUPUS DALAM CERITA SERIAL LUPUS KECIL
Ari Ambarwati
Universitas Islam Malang
a.arianya@gmail.com
Abstrak: Artikel ini memaparkan humor sebagai sebagai alat identifikasi diri. Humor membangkitkan kesenangan pada pertisipannya. Tidak ada yang lucu secara natural. Humor memicu senyum dan tawa melalui proses penerimaan dan negosiasi antarpartisipan. Negosiasi juga muncul dalam cerita anak yang bermuatan humor. Wacana humor dalam Cerita Lupus Kecil digunakan sebagai arena mengonstruksi identitas diri sang tokoh. Tokoh Lupus memanipulasi dan menggunakan beberapa modus humor untuk mengukuhkan identitas dirinya sebagai anak yang cerdas dan disukai banyak orang. Hasil makalah ini diharapkan dapat menjadi pijakan awal untuk meneliti wacana humor dalam cerita anak dan menjadikan cerita humor sebagai sarana melatihkan keterampilan berbahasa dan bersastra pada anak-anak.
Kata Kunci: identifikasi diri,wacana humor
1. PENDAHULUAN
Humor adalah salah satu bentuk permainan (Wijana, 1994:2). Sebagai homo ludens (manusia bermain) manusia adalah mahluk yang suka bermain-main. Bermain adalah kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak, pun orang dewasa. Bahkan, bermain adalah sebagian dari proses belajar. Melalui permainan, kreativitas anak dibangkitkan, dirangsang dan dikembangkan. Melalui permainan juga seorang anak dipersiapkan menjadi bagian dari anggota masyarakat. Humor disajikan dalam berbagai bentuk, seperti dongeng, teka-teki, puisi rakyat, nyanyian rakyat, tembang dolanan, julukan, karikatur, kartun, nama tempat dan bahkan nama makanan yang mengundang tawa.
Danandjaja (1989:498) menyatakan bahwa humor dalam masyarakat, baik yang bersifat erotis, maupun protes sosial berfungsi sebagai penglipur lara. Hal ini disebabkan karena humor dapat melepaskan ketegangan batin yang menyangkut ketimpangan norma masyarakat yang dapat dikendurkan melalui canda dan tawa. Lebih jauh, Danandjaja menyatakan bahwa dalam situasi masyarakat yang sedang terpuruk, humor berperan besar melepaskan ketegangan yang dialami oleh suatu masyarakat (1989:16). Humor dapat membebaskan manusia dari kecemasan, kebingungan, kekejaman, dan kesengsaraan., sehingga manusia dapat mengambil tindakan atau keputusan yang lebih bijaksana.
Sebagai wacana kritik sosial, humor dapat ditemui di dalam berbagai media cetak, seperti surat kabar, majalah, dalam bentuk kartun, artikel ringan, atau juga cerita-cerita humor. Humor tidak saja dikonsumsi oleh orang dewasa tetapi juga anak-anak. Salah satu karya cerita anak-anak bermuatan humor dapat dijumpai dalam serial cerita anak-anak yang ditulis oleh Hilman Hariwijaya dan Boim, berlabel Lupus Kecil.Serial Lupus merupakan novel remaja yang diangkat dari cerpen-cerpen Lupus di majalah Hai pada tahun 1986 (Kejarlah Daku, Kau Kujitak) yang kemudian menjadi best sellers. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1989, terbit serial Lupus kecil pertama, yang berjudulLupus Kecil. Serial Lupus kecil terdiri dari 13 judul, yang terbit dalam rentang waktu yang cukup panjang, yakni antara 1989-2003. Pada Juni 2013 penerbit Gramedia kembali menerbitkan serial Cerita Lupus Kecil.
Objek yang akan dikaji pada makalah ini adalah wacana humor dalamteks cerita-cerita serial Lupus Kecil. Tujuan penelitian ini adalah memahami serta mengeksplorasi pengetahuan tentang aspek dan fungsi humor yang digunakan oleh tokoh dalam serial Lupus Kecil melalui ancangan studi wacana kritis, khususnya pendekatan SWK milik James Paul Gee,yakni Wacana (dengan huruf kapital W).
2. TOPIK BAHASAN
Topik bahasan dalam makalah ini adalah identifikasi diri tokoh Lupus melalui humor. Tokoh Lupus dalam serial Lupus Kecil adalah seorang anak berusia tujuh tahun, duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Ia digambarkan cerdas dan humoris. Lupus seorang anak periang, mempunyai seorang adik perempuan bernama Lulu. Karakternya yang periang dan suka bercanda membuat Lupus banyak mendapatkan pengalaman menyenangkan maupun sebaliknya. Humor, baik verbal maupun nonverbal, pada dasarnya merupakan rangsangan spontan untuk memancing tawa penikmatnya. Menurut Apte (1985:15), tertawa dan tersenyum adalah merupakan indikator yang paling jelas bagi pengalaman atau penikmatan humor (humor experience). Ada tiga teori yang berusaha menyingkap esensi humor, diantaranya adalah teori pembebasan (relief theory), teori pertentangan (theory of conflict), dan teori ketidaksejajaran (incongruity theory).
Teori pembebasan memandang humor sebagai alat pembebasan dari sesuatu yang menyakitkan atau menakutkan (Wijana: 1994:22). Ekspresi terbebas dari sesuatu yang menyakitkan tersebut bisa berupa tawa. Ekspresi tawa muncul bila sesuatu yang diharap-harapkan secara tiba-tiba tidak menjadi kenyataan. Adapun yang muncul adalah hal-hal sepele yang tidak diduga-duga (unexpectedly trivial).
Teori humor kedua adalah teori pertentangan. Teori ini berpandangan bahwa humor merupakan pertentangan antara dua kekuatan, yakni kekuatan untuk maju dan kekuatan untuk mundur (Wijana: 1994:24). Pertentangan dalam humor sebagai sesuatu yang mengandung ambivalensi yang mengacu pada dua konflik yang berbeda.
Teori ketiga yang berusaha menyingkap esensi humor adalah teori ketidaksejajaran. Teori ketidaksejajaran mengacupada pengaruh humor terhadap persepsi pikiran pembaca atau pendengarnya (Wijana, 1994:27). Dikatakan bahwa humor secara tidak kongruen menyatukan dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam satu objek yang kompleks. Secara verbal, dua hal atau konsep yang tidak kongruen itu dihubungkan dengan bentuk lingual yang sama.
Tiga teori tersebut akan digunakan untuk mengetahui aspek humor yang muncul dalam cerita serial Lupus Kecil. Selanjutnya, temuan tersebut akan ditelaah melalui satu piranti teoritis SWK (Studi Wacana Kritis) Gee yaitu Wacana.Penelitian ini mengaji wacana humor yang terdapat dalam cerita-cerita Lupus Kecil. Berdasarkan fokus yang dipilih, jenis penelitian ini merupakan penelitian analisis teks. Penelitian ini akan menganalisis teks yang terkandung dalam sebuah karya sastra dalam hal kumpulan cerita pendek dan novelet serial Lupus Kecil dengan menggunakan sumber-sumber pustaka yang berkaitan dengan fokus yang akan dianalisis.
Wacana tampak dalam cara berbicara, cara membaca/menulis, bersikap, berinteraksi, memberi penilaian,berpikir, merasakan sesuatu, berpakaian, dalam relasinya dengan orang lain, melalui beragam objek, piranti, maupun teknologi sehingga menghasilkan sikap khusus yang dapat diidentifikasi sebagai identitas sosial. Misalnya seperti identitas “siswa yang baik”, “dokter yang berkompeten”, “polisi yang tangguh”. Dalam kajian ini, humor yang dilontarkan oleh tokoh Lupus dikaji untuk mengetahui konstruksi serta identifikasi dirinya. Bagaimana ia menempatkan dirinya sebagai anak dari ibu dan ayahnya, kakak dari adiknya (Lulu), serta anggota dari komunitas publik yang lebih besar (sahabat, murid SD, anggota masyarakat). Kajian tersebut dibangun melalui tujuh pertanyaan tentang beberapa potongan bahasa dalam penggunaan (language in use)—baca: cuplikan narasi, dialog ataumonolog dalam teks serial Lupus Kecil. Tujuh pertanyaan tersebut menurut Gee dalam Rogers adalah seven building tasks, yaitu: signifikansi, aktifitas (praktik), identitas, keterhubungan, politik, koneksi, dan sistem tanda dan pengetahuan (2011:30).
Signifikansi adalah penggunaan bahasa dengan cara tertentu. Tidak ada hal yang istimewa sampai manusia membuat hal tersebut menjadi istimewa, demikian pula dengan bahasa. Bahasa bisa menjadi penanda siapa yang menuturkan dan memproduksi. Bahasa dapat menunjukkan aktifitas atau praktik yang tengah dikerjakan seseorang. Apakah ia sedang memohon, menyuruh orang lain melakukan tindakan untuknya, melarang, dan sebagainya. Bahasa yang diproduksi seseorang merepresentasikan peran yang sedang dimainkannya.
Penggunaan bahasa mengindikasikan keterhubungan (relationship) antar partisipan yang terlibat dalam percakapan. Keterhubungan tentu terikat dengan konteks dan hal-hal lain yang melari suatu percakapan. Konstruksi bahasa seseorang bisa jadi akan melahirkan situasi tertentu dimana distribusi perangkat-perangkat sosial mempunyai andil (politik). Ada dominasi, status sosial dan kekuasan yang tengah dimainkan. Hal-hal di dunia dapat dilihat terkoneksi dan berhubungan satu dengan yang lainnya. Jika kita berbicara tentang dunia ketiga, misalnya, yang terbayang adalah kondisi sosial dan ekonomi yang tertinggal serta sumber daya manusia yang rendah baik, khususnya secara intelektual. Penggunaan bahasa tertentu dapat membangun atau memporak-porandakan sistem tanda (sistem komunikasi) serta cara untuk mengetahui dunia. Ada banyak bahasa yang berbeda di dunia, demikian pula dialek dan ragam bahasa yang dimiliki masing-masing komunitas ataupun profesi tertentu.Kerangka kajian ini dibatasi dalam teks CeritaLupus Kecil. Dari kajian ini diharapkan dapat ditemukan pola identifikasi diri tokoh Lupus.
3. PEMBAHASAN
Bahasa yang digunakan dalam cerita serial Lupus Keciladalahbahasa informal. Teks dalam cerita ini lebih banyak ditulis dengan gayatutur lisan dan cenderung mencerminkan gaya tutur keseharian anak-anak yang tidak mengindahkan pola kalimat baku. Seperti contoh berikut ini.
(i)Lupus?
Iya, Lupus. Anak yang punya rambut tebal, bermata bulat, punya hidung lucu itu bernama Lupus. Kata dia, gampang kok ngenalnya. Kalau kamu jalan-jalan terus ketemu anak kecil dan kamu tanya namanya, dia menjawab “Lupus”, nah berarti dia itu Lupus. (Lupus Kecil, 1989:13)
(ii)Bosan bermain-main di depan, Lupus pun masuk kembali ke dalam rumah. Tapi ternyata ibunyabelum selesai membuat kue. Uh, kok lama sekali, ya? Biasanya nggak gini-gini amat?
Lupus memang tak tahu kalo ibunya di dapur tengah dalam kesulitan menerjemahkan resep kue yang berbahasa Prancis. Ibu Lupus sedang menduga-duga, apa kalo bikin kue Prancis garamnya harus garam Prancis, bukan garam Inggris?(Lupus Kecil, 1989:14).
Kutipan di atas menunjukkan kesan yang ingin dibangun dalam ceritaLupus adalah santai dan akrab. ‘Pemindahan’ kata kalau yang baku menjadi kalo, tidak menjadi nggak, begini menjadi gini-ginidalam narasi Lupus mengindikasikan suasana informal yang kuat. Pilihan menggunakan kata-kata nonbaku dalam cerita ini menguatkan pesan bahwa cerita ini ditujukan untuk membangun kedekatan dengan anak-anak usia sekolah dasar yang baru belajar bagaimana seharusnya mengembangkan sikap dalam berinteraksi dengan orang lain. Pernyataan di atas bisa dikategorikan sebagai kajian terhadap fonologi karena berkaitan dengan bunyi dan pola-pola bunyi yang diujarkan. Santosa menyatakan bahwa bunyi dan pola-pola bunyi berkorelasi dengan stratifikasi dan kelas sosial dalam masyarakat (2012:161). Dalam konteks ini, pilihan bahasa informal dalam cerita Lupus memberi penegasan lebih mementingkan jalinan keakraban dalam berinteraksi dengan menyederhanakan kata-kata baku menjadi lebih mudah diucapkan dan easy listening (mudah didengar/dipahami).
Secara signifikan, pilihan bahasa nonbaku yang digunakan mengindikasikan sosok Lupus yang masuk dalam kelompok sosial common children (anak-anak kebanyakan/anak-anak pada umumnya). Anak-anak yang baru menginjak bangku sekolah dasar dengan warisan sikap dan gaya bicara saat masih di taman kanak-kanak, yaitu cenderung memakai gaya bahasa santai, informal dan berorientasi pada dirinya sendiri (ego centries).
Bahasa nonformal, santai dan cenderung memancing tawa orang lain yang dipakai Lupus menunjukkan identitas dirinya sebagai anak periang, cerdas dan kritis menghadapi situasi yang tidak menguntungkan dirinya. Mari kita cermati monolog dan dialog berikut ini (Lupus sedang berakting menjadi penyiar radio untuk menghibur adiknya, Lulu.
(iii) “Di stadion utama Senayan, sejak kemarin sore hingga pagi hari tidak ada yang bermain sepak bola, hingga saya tidak tahu berapa golnya dan siapa wasitnya……Nah sekarang acara siaran berita sudah habis saudara-saudara, kini kita masuki acara Taman Indria bersama Bu Kasur. Adduuuh tapi sayang sekali, acara ini tak dapat disiarkan, lantaran kasurnya masih dijemur…
Tepat saat Lupus mengakhiri siaran beritanya, terdengar suara bel tamu berdentang.
“Ibu pulaaaang,,,” teriak Lulu….Tapi Lupus tetap di tempatnya, sampai kedua orang tuanya muncul dari pintu depan.
“Aduh, Lupus! Apa-apaan ini? Kenapa radio Bapak jadi berantakan begini,” seru bapaknya ketika
melihat radionya tergeletak tak berbunyi di lantai. “Pasti kamu yang merusaknya ya? Ayo kemari!!!”
“Saudara-saudara,” Lanjut Lupus tenang,”Ini baru berita penting…” (Lupus Kecil, 1989:35-36).
Lupus memposisikan dirinya sebagai anak yang periang yang suka menghibur orang lain. Ia juga cerdas dan kritis karena bisa berperan seolah-olah penyiar radio yang sedang membawakan acara. Ia langsung membawakan ‘acara’nya begitu saja, tanpa naskah yang ditulis sebelumnya. Ia membangun identitas dirinya sebagai anak yang pandai menghibur orang lain melalui kata-kata yang dirangkainya. Kata-kata tersebut menerbitkan tawa bagi Lulu, adiknya. Ia menegaskan dirinya sebagai anak periang yang mampu membalikkan keadaan yang memojokkan dirinya dengan menjadikan kemarahan ayahnya sebagai hal yang bernilai‘berita’. Dengan melakukan hal tersebut, Lupus membangun relasi anak-ayah dengan cara yang lebih akrab. Ia tahu ayahnya marah, maka ia berusaha membangun kedekatan melalui humor yang dilontarkannya.
Menggunakan bahasa berarti membangun atau sebaliknya merusak sistem tanda atau sistem komunikasi (Rogers, 2011:33). Lupus sadar kemarahan ayahnya akan menuntunnya pada posisi yang tidak menguntungkannya. Maka ia membalikkan kemarahan ayahnya sebagai sebuah hal yang mempunyai nilai “berita”. Ia berharap ayahnya mengapresiasi lontaran humornya dengan tidak melanjutkan kemarahannya.
Lupus sadar bagaimana memanfaatkan kelebihan yang dimilikinya yaitu sense of humor untuk membangun identitas dirinya. Ia adalah kakak yang pandai menghibur Lulu, adiknya. Ia tahu benar bagaimana membuat adiknya lupa sejenak akan kekesalan yang dialaminya karena menunggu kepulangan Ibunya, meski radio kesayangan ayahnya kemudian rusak dan menimbulkan kemarahan sang ayah. Sebagai anak, Lupus juga berusaha menjadi sosok yang bertanggung jawab. Seperti ketika Ibunya kesal karena Lulu susah makan. Lupus berusaha membantu dengan caranya sendiri, seperti pada cuplikan berikut ini.
(iv) Lupus yang sedang santai baca buku cerita, jadi memandang adiknya dengan heran. Makan kok nggak mau, apa sih susahnya, pikir Lupus. Apa perlu dibantu? Yah, kata Ibu Guru , orang hidup mesti tolong menolong untuk menyelesaikan satu pekerjaan. Makan kan juga termasuk pekerjaan juga. Maka harus dibantu. Otak Lupus berpikir cepat. Lalu dia pun mulai membantu Lulu. Mula-mula Lupus membantu menghabiskan perkedelnya. Lulu melihat itu malah senang. Tapi Lupus tetap asyik. Ia menyuapi mulutnya sendiri, hingga piring Lulu bersih tak bersisa (Lupus Kecil, 1989:70-71).
Dengan logikanya sendiri Lupus berusaha membantu Lulu untuk menghabiskan makanannya, meski apa yang dilakukannya salah. Lulu biasanya disuapi sang Ibu, tetapi saat itu Ibu sedang kedatangan tamu. Maka Lupus merasa ia berkewajiban membantu Ibunya. Dari peristiwa tersebut jelas ada ketidaksejajaran persepsi antara Lupus dan Ibunya. Ketidaksejajaran tersebut mengundang tawa Ibunya. Humor secara tidak kongruen menyatukan dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam satu objek yang kompleks.
Lupus adalah anak yang pandai bergaul. Ia mempunyai banyak sahabat dan teman. Ia tahu bagaimana menggunakan humor untuk mengidentifikasi dirinya sebagai pribadi yang setia kawan dan bisa menyenangkan sahabat dan teman-temannya,berikut cuplikannya.
Lupus sedang menghadiri pesta ultah Pepno, salah satu sahabatnya. Lupus yang berharap kue tar segera dipotong agak malas saat ia diajak melakukan permainan mengoper gelas yang berisi air secara berantai. Seharusnya ia mengoper gelas berisi minuman itu ke teman sebelahnya, tetapi ia malah meminumnya. Alhasil ia pun dihukum. Pilihan hukumannya, baca puisi. Tanpa ragu, Lupus membacakan puisi karyanya sendiri.
“Di laut sudah pasti ada air/Di air belum tentu ada laut/di rumah sudah pasti ada pintu/di pintu belum tentu ada rumah/di meja sudah pasti ada sepotong kue/dan kuenya belum tentu dipotong…
Anak-anak bertepuk riuh. Akhirnya saat yang mendebarkan bagi Lupus tiba, Pepno memotong
kue tar jadi beberapa bagian…(Lupus Kecil, 1989:54-55).
Lupus menggunakan puisi yang mengandung humor untuk menghibur temannya sekaligus memenuhi keinginannya. Ia ingin segera makan kue tar ulang tahun Pepno, maka ia dengan sadar membawakan puisi yang menyindir agar kue ulang tahun segera dipotong. Ia mendapat dukungan dari teman-temannya yang bertepuk tangan tanda setuju. Ia menggunakan humor untuk mendapatkan keinginannya. Kepandaian membawakan humor menempatkan Lupus sebagai sosok yang mudah mendapatkan teman, dan tentu saja ia juga mudah disukai orang lain karena sosoknya yang suka bercanda. Lupus menempatkan humor sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan meneguhkan identitas dirinya di tengah lingkungannya. Eksistensinya diakui sebagai anak yang lucu, pandai bergaul dan pintar.
4. SIMPULAN
Humor adalah salah satu permainan bahasa yang disampaikan melalui beragam media. Humor digunakan untuk menghibur diri, orang lain, maupun melepaskan ketegangan yang menghimpit seseorang. Humor juga dapat dipakai sebagai sarana untuk membentuk serta membangun identitas diri seorang anak. Humor dalam serial cerita Lupus Kecil adalah contoh bagaimana seorang anak memposisikan dirinya sebagai sosok yang berbeda dengan anak-anak lain. Lupus mengidentifikasikan dirinya sebagai anak yang periang, pandai bergaul dan suka bercanda.
Cerita anak-anak yang bermuatan humor dapat dijadikan referensi bagi anak-anak untuk mampu mengatasi persoalan sehari-hari yang mereka hadapi. Persoalan keseharian yang diangkat dalam serial Lupus Kecil menjadi relevan bagi pentingnya wacana humor dalam kehidupan anak-anak saat ini. Kondisi kehidupan dalam berbagai segi menuntut anak-anak menjadi aktor sosial yang selalu kompetitif. Kompetitif dan adaptif dalam segala hal. Keadaan ini rentan memicu stress dan kondisi psikologis yang tidak menguntungkan anak-anak. Kehadiran cerita anak-anak bermuatan humor adalah salah satu alat yang bisa digunakan untuk membantu meminimalkan tekanan yang dihadapi anak-anak. Untuk alasan itulah kajian serius tentang wacana humor dalam cerita anak-anak mendesak untuk dilakukan.
DAFTAR RUJUKAN
Apte, Mahadev L. 1985. Humor and Laughter. Ithaca. Cornell University Press.
Danandjaya, James. 1989. Humor, Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid VI, Jakarta. PT Cipta Adi Pustaka.
Hariwijaya, Hilman&Boim. 1989. Lupus Kecil. Jakarta. Gramedia.
Hariwijaya, Hilman&Boim, 1993. Jalan-jalan Seram. Jakarta. Gramedia.
Rogers, Rebecca. 2011. Critical Discorse Analysis in Education. New York. Taylor&Francis e-Library. Diunduh 2 September 2012.
Santosa, Anang. 2012. Studi Bahasa Kritis: Menguak Bahasa Membongkar Kuasa.Bandung. Mandar Maju.
Wijana, I Dewa Putu. 1994. Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia (Disertasi, tidak diterbitkan), UGM.