Oleh Muhammad Rizal Siregar [Tinggi Ilmu Hukum Graha Kirana Medan, dan Divisi Advokasi Solidaritas Buruh Sumatera Utara (SBSU].
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan hak setiap manusia di dunia. Di Indonesia hak tersebut di cantumkan dalam UUD 1945 pasal 31 (ayat 1) yang berbunyi: Pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dalam Undang-undang. (4), Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5), Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan dan peradaban, serta kesejahteraan umat manusia.3
Memnijam Filasafatnya “Paolo Freire”; Pendidikan sebagai bagian dari Transformasi Sosial untuk memanusiakan manusia, agar secara fungsional manusia diharapkan mampu memiliki kecerdasan (Inteligence, Spritual, Emotional) untuk menjalani kehidupannya dengan berbagai tanggungjawab, baik secara pribadi, sosial, maupun profesional.4
Dunia pendidikan merupakan sebuah dunia yang memiliki nilai murni (Paedagogie) yang serat akan ilmu. Nilai murnu ini menempatkan dunia pendidikan yang suci, dunia yang terbebas dari macam intrik negatif dan berbentuk pengaruh. Jika pendidikan bisa berjalan dengan baik, maka pendidikan harus berperan secara proforsif, konsektual, dan komprehensif. Untuk mencapai hal itu, tentu semestinya ditopang oleh perangkat pendidikan yang dibutuhkan, baik lunak (sofware) maupun keras (sofware). Pendidikan yang seperti ini akan mampu menjawab, sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat, dan juga tuntutan perkembangan zaman yang berubah.
Pendidikan bukan sesuatu yang bisa disederhanakan, sebab terkait dengan bagaimana konteks Sosial, Budaya, Ekonomi, Politik dalam suatu negara. sebagaimana Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas No 20/ 2003), yang merupakan salah satu perangkat pendidikan yang semestinya dirumuskan secara baik dan proporsional. Sebab, UU Sisdiknas itu berisi bagaimana tujuan Visi dan Misi, hingga mekanisme prosedural pendidikan diatur, dengan tidak melepaskan konteks sosial-politik saat ini dan masa depan. Oleh karena itu, tak salah apabila baik dan buruk sistem pendidikan dapat dilihat dari keberadaan UU, dan sistem pendidikannya.
Pendidikan sebagai upaya humanisasi, seringkali terbentur dengan sistem pendidikan nasional yang diatur oleh negara. Sistem Pendidikan Nasional dalam kenyataan tak bisa dilepaskan dari kepentingan politik, baik bagi kelompok partai, birokrasi pendidikan, maupun kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, tidak bisa dilepaskan dari realitas kepentingan politik, realitas sosial-ekonomi nasional maupun global. Karena itu, harapan untuk mencerdaskan bangsa sebenarnya lebih berfungsi sebagai jargon, daripada cita-cita pendidikan itu sendiri. Pemerintah, orang tua masyarakat, dan peserta didik sangat berbeda cara pandang dan mempersepsikan pendidikan itulah seringkali memicu konflik horizontal ditingkat masyarakat.
Upaya-upaya ke arah humanisasi melalui pendidikan menjadi perjuangan panjang, bagi setiap orang yang peduli dengan masa depan bangsa dan kesinambungan hidup bangsa Indonesia. Melalui pendidikan dilakukan upaya penguatan kualitas, pembentukan karakter generasi bangsa, peningkatan kesehjateraan sosial, dan melahirkan warga negara yang demokratis, inklusif, toleran dan multikultural. Oleh karena itu Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional seharusnya berpijak pada tujuan kemerdekaan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
B. Permasalahan
Bagaimana analisis kebijakan Undang-undang No.20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ?
C. Analisis Kebijakan Sisdikans
Dalam hal ini pendidikan bukan sesuatu yang bisa disederhanakan, sebab terkait erat dengan bagaimana konteks Sosial, Budaya, Ekonomi, Politik dalam suatu negara. Sebagaimana UU No. 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang merupakan salah satu perangkat pendidikan yang sementinya dirumuskan secara baik dan proporsional. Oleh karena itu, landasan dasar sebagaimana tertuang dalam UU No.20/2003 hanya mencakup dua aspek, yaitu ideologi negara dan aspek kontemporer.
Secara ideal, landasan dasar penentu sebuah kebijakan harus mampu mengakomodir semua tuntutan dan kebutuhan bangsa yang terjadi saat ini, yang tentunya untuk kemajuan dimasa mendatang. Sekian persoalan yang melanda Indonesia, kasus krisis moneter, ekonomi, moral, kebangsaan, agama, kejahatan politik, dan lain-lain. Ini jelas berkaitan dengan keberadaan pendidikan yang ada dan mengakibatkan terdistorsinya aturan-aturan yang terumus dalam undang-undang Sisdiknas.
Memasuki bab demi bab, pasal demi pasal dan ayat demi ayat pun tidak jauh berbeda. Ketidak relevanan Kohesifitas, Koherensitas, dan Korespondensitas menjadi sesuatu yang dapat di-elakkan, dalam arti (keterkaitan antara pasal satu dengan pasal yang lainnya). Meski penulis tidak menfikan masih terdapatnya beberapa pasal yang relevan. Penulis melihat dalam Pasal-pasal UU No. 20/ 2003 ini masih menjadi suatu polemik dan kontroversi di masyarakat, yakni :
Pertama, Desentralisasi dan kerancuan tanggungjawab. Perumusan dalam UU Sisdiknas tidak akan terlepas dari UU lainnya, misalnya UU Otonomi Daerah No.22/ 1999 dan UU Otonomi Kampus/ BHMN, PP No 61/ 1999. Kebijakan ini, jalur pelaksanaan pendidikan tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah an sich, seperti adanya jalur pendidikan formal, sebagai jalur pendidikan yang dikelola pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional maupun Departemen Pendidikan Agama). Akan tetapi juga oleh swasta (dalam negeri maupun luar negeri), atau pendidikan non-formal, dan pendidikan pribadi atau keluarga (in-formal). Begitu Bab Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (10) sampai (13) menegaskan. Yang berarti para pelaksana pendidikan mempunyai hak dan kewajiban, dan tanggungjawab yang tidak sama, sesuai dan wilayah garapannya masing-masing.
Kedua, Ketidakjelasan tanggungjawab antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Dalam UU Sisdiknas pada Pasal 10, Pasal 11 ayat (1) dan (2), Pasal 34 ayat (2) dan (3), berisi bahwa tanggungjawab pendidikan dipegang oleh pemetintah pusat dan pemerintah daerah. Akan tetapi dalam pasal ini tidak dijelaskan seeprti apa, bagaimana, dan sejauh mana batas hak dan kewajiban, dan tanggungjawab antara pemerintah pusat dan daerah. Terlebih lagi, jika dikaitkan dengan otonomi daerah. Dalam pasal-pasal ini sangat tidak jelas, pada pelaksanaannya nanti banyak upaya pelepas tanggungjawaban antara peemrintah pusat dan daerah.
Ketiga, Pemerintah dan masyarakat. Pada pasal 34 ayat (2), pemerintah menanggung biaya pendidikan wajib belajar tanpa memungut biaya. Akan tetapi pada ayat (3), wajib belajar menjadi tanggungjawab pemerintah yakni pemerintah dan masyarakat. Satu sisi pemerintah menjamin biaya pendidikan, tetapi satu sisi mayarakat juga harus menanggung. Pasal ini terlihat rancu, tidak ada pemilahan secara jelas antara pemerintah dan masyarakat.
Keempat, Pendidikan formal dan pendidikan non-formal, terdapat pada pasal 24 ayat (1) dan (2) tentang pendidikan non-formal. Bahwa pendidikan tinggi mempunyai hak otonom, akan tetapi pada pasal 10, pemerintah berhak melakukan intervensi terhadap pelaksanaan pendidikan secara umum. Pelaksanaan pendidikan Indonesia ada semacam sentralistik.
Sentaralistik dapat kita lihat dari adanya lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) yang hanya terpusat dibeberapa kota besar saja. Selain membuat jarak yang tidak pendek masyarakat untuk menjangkau, juga tidak jarang terjadinya perubahan psikologis para peserta pendidikan. Ketika mereka berasal dari suasana alam yang natural ke alam nurtural. Hal ini secara tidak langsung menserabut psikologis peserta pendidikan dari asal realitas alam mereka. Kesenjangan inilah yang kemudian melahirkan pasal 5 ayat (3). Upaya pemerintah mendesentralisasi pendidikan pada sistem aturan memang menjadi harapan bagi setiap warga negara, alasannya tidak lain terciptanya pemerataan yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan.
Akan tetapi, jika kita amati dalam beberapa pasal yang terkait, yakni munculnya aturan yang tidak berangkat dari rumusan batas-batas wilayah antara satu dengan yang lainnya secara jelas. Sejauh mana batasan-batasan wilayah pendidikan pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat swasta (dalam maupun luar negeri), dan pribadi masyarakat ?. Sebab dari batasan wilayah kita dapat melihat dengan jelas, hak, kewajiban dan tanggungjawab pemerintah, swasta, maupun pribadi masyarakat. Mana yang harus diatur dalam UU dan mana yang tidak, mana yang harus disamakan dan mana yang dibedakan tanpa menghilangkan kemajemukan, keberagaman, dalam negara bangsa Indonesia. Jelas UU Sisdiknas dapat terumus secara proporsif dan pendesentralisasian, tetapi justru terkesan melepaskan tanggungjawab, dan memperlihatkan kesan intervensi.
Dalam UU Sisdiknas ini terkait dengan tanggungjawab, pemerintah melakukan pendesentralisasian pendidikan. Akan tetapi kenyataannya malah melimpahkan tanggungjawab-nya yang begitu besar terhadap masyarakat, yakni Pasal 4 ayat (6), Pasal 6 ayat (2), Pasal 9, Pasal 12 ayat (2) poin 6, Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3). Begitu juga Pasal-pasal yang terkait dengan Otonomi Pendidikan, otonomi daerah dan otonomi kampus.
Pada persoalan otonomi, kerancuan terjadi ketika ketidak-jelasan pemaknaan otonomi itu sendiri. Sebab, yang terjadi pada otonomi kampus yang lebih dimaknai penghilangan jatah, yakni bagian dana bagi pendidikan yang merupakan kewajiban pemerintah atas bentuk tanggungjawab terhadap dunia pendidikan. Jika kemudian otonomi kampus adalah pengangguran atau penghilangan dana operasional bagi kampus atau pendidikan, (kita lihat alokasi anggaran pendidikan pada 2004 hanya dipatok Rp. 15,4 triliun (3,49%) total APBN).5
Dalam hal ini yang muncul adalah beban-beban besar yang ditanggungkan kepada masyarakat/ peserta pendidikan, seperti BOP (iuran wajib), mahalnya SPP dan sebagainya. Hal ini sebenarnya tidak menjadi persoalan yang banyak dipertentangkan, apabila memang masyarakat mampu atau siap memenuhi sekian dana-dana yang berkaitan dengan pendidikan. Akan tetapi jika kemudian masyarakat tidak mampu, maka yang akan terjadi adalah seperti yang dikemukakan Ivan Illich (1999;517), “Pendidikan hanyalah menimbulkan jurang yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Pendidikan menjadi proses dehumanisasi yang sistematis dan sangat licik, maka usulnya Illich, pendidikan (sekolahan) harus dihapus (descholling)”.6 Pendidikan yang seharusnya membebaskan manusia dari keterbelakangan, dan memanusiakan manusia dengan adanya kecerdasan secara pribadi, sosial dan profesional ternyata banyak dijadikan alat penindasan golongan (neo-kolonialisme).
Kelima, Sentralitas agama, dalam UU Sisdiknas dirumuskan bahwa agama adalah sentral jawaban (solusi) secara menyeluruh atas persoalan krisis sosial, dan moral yang melanda bangsa dan negara Indonesia. Sehingga pelegalisasian aspek agama begitu banyak diterapkan dalam ranah pendidikan. Hal itu terlihat pada pasal 3, 4, 12 ayat (1a) yang mengatur peran agama dalam pendidikan. Lantas pertanyaannya, benarkah agama mampu memecahkan persoalan krisis, degradasi, dekadensi moral bangsa yang terjadi saat ini?. kita coba mengkorespondensikan dengan bebrapa fakta yang ada, tanpa bermaksud mengenalisir. Pejabat politik dan negara yang notabanennya telah selesai menjalankan formalitas agama secara keseluruhan, akan tetapi tetap saja bermoral buruk, dan hampir saja dapat dikatakan pelaksanaan ‘formal’ agama tidak ada sama sekali terkait dengan persoalan tingkah laku.
Angka temuan kasus-kasus Korupsi, Kolusi, Nepotisme, kejahatan politik masih saja tinggi. Misalnya, dalam rukun Islam. rukun islam telah selesai dilaksanakan, bahkan sampai ada yang haji sampai 5 (lima) kali, akan tetapi tetap saja bertingkah laku munafik. Kita lihat masih sangat jelas bahwasanya pasal agama menjadi polemik yang tak selesai, yaitu pasal 12 ayat 1 poin (a); “setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak, mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik seagama”. Pasal agama diatas sebenarnya bukan persoalan benar atau salah, akan tetapi masih kurang jelas/ sfesifikasi pasal tersebut, sebab seagama disini masih membingungkan. Satu agama dalam kenyataan pluralitas agama ternyata masih terbagi dalam aliran atau kemazhaban yang berbeda (kebenaran dan keberagamaan yang baik). Seperti dalam agama Kristen, terdapat Kristen Katolik, Protestan, Kharismatik. Dalam Islam terdapat Islam Nahdatul Ulama (Ahli Sunnah Wal jamaah), dan Muhammadiyah (pembaharu) dan lain sebagainya. Disini kemudian yang menjadi rancu Pasal 12 ayat 1 poin (a), pasal ini sangat berbahaya jika diterjemahkan sampai pada wilayah politis.
Keenam, UU Sisdiknas melahirkan watak inlander dan orientasi inward looking. Yang dimaksud dengan pendidikan inward looking adalah proses untuk menciptakan kader-kader bangsa yang bisa membawa bangsa ini berdiri sejajar dengan bangsa lain.
Pendidikan dalam hal ini, hanya dimaknai sebagai proses konstelasi internal antar anak bangsa dalam konteks perebutan atas akses, baik akses pengetahuan maupun modal dari luar. Mungkin kita bisa melirik sejarah terpuruknya bangsa ini pada masa kolonialisme-imprealisme. Watak inlander atau inward looking telah muncul sejak para penjajah menginjakan kakinya di muka bumi nusantara ini. Kekalahan pribumi dalam menjaga kepulauan nusantara dari tangan penjajah, mengakibatkan mereka untuk menjadi bangsa yang selalu melihat persoalan kedalam. Dalam masa perlawanan terhadap penjajah, bangsa kita masih selalu melihat keluar dalam konteks relasi menunjukan bahwa negara ini adalah kabur keinginan/ ikut arus dalam konteks negara-negara lain. Dengan demikian setahap demi setahap masyarakat kita akan beralih ke PT asing dan akan meninggalkan PT lokal. PT asing yang didukung modal besar akan menyerang habis-habisan PT lokal dan kita akan menjadi bangsa pecundang dan penonton dinegeri sendiri.
Kesembilan, etatisme (campur tangan) pemerintah. UU Sisdiknas terlalu kental dengan campur tangan pemerintah yang berlebih-lebihan, seperti campur tangan kehidupan beragama, domonasi politik golongan, ketidakjelasan rumusan tujuan pendidikan, dan inkonsistensi penegak hukum. Padahal peluang masyarakat untuk ikut menyempurnakannya kini semakin sempit, dan tidak tercantum jelas dan tegas sifat ‘partisipatif dan kemitraan’ masyarakat sebagai dasar hubungan antara pemerintah dan penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat. Banyak pasal yang mengesampingkan hal ini, langsung maupun tidak langsung. Sehingga segalanya dikendalikan pemerintah daerah. Campur tangan pemerintah terlalu besar, peran sekolah swasta (Madrasah) kurang mendapat tempat secara luas. Pembentukan Dewan Pendidikan termuat dalam pasal 56 ayat (3). Tim penyidik demi kepentingan Akreditasi dan Sertifikasi lembaga pendidikan yang di pimpin Mendiknas dapat berkembang menjadi tindakan represif yang merugikan penyelenggara pendidikan oleh masyarakat.
Oleh karena itu ketika berbicara tentang pendidikan dan tanggungjawab atas kualitas manusia, mestinya kita sebagai rakyat harus berani meluruskan pandangan kita tentang pendidikan itu sendiri. Pendidikan kita harus dijalankan dengan kemerdekaan, kebangsaan, kemandirian, keikhlasan, kejujuran, dan keagamaan dalam suasana kekeluargaan.7 Inilah menjadi ruh pendidikan kita sehingga pendidikan tersebut bisa berjalan dengan pasal 31 UUD 1945. Tanpa adanya ruh pendidikan yang tersebut diatas, dipastikan penyelenggara pendidikan nasional akan mekanistis, formalistis, hampa makna, bahkan cendrung birokratis dan komersial.
Sekarang bukannya lagi orang-orang pusat merasa dirinya menjadi “supermen” yang serba tahu dan serba benar. Mental dan sikap mengatur dan rasa takut kehilangan kekuasaan sudah harus dihilangkan dari birokrat pendidikan.
D. Kesimpulan
Pendidikan sebagai upaya humanisasi, sebenarnya tidak tercermin dalam UU ini. Yang dilihat dalam UU ini ialah hanya untuk kepentingan politik dan kekuasaan semata. Dengan demikian cita-cita atau tujuan pendidikan nasional harus tunduk komersialistik dan kapitalistik. Kemudian tujuan utama dalam pendidikan adalah dapat menjalani kehidupan yang lebih bermakna ditengah-tengah masyarakat akan habis, sehingga pemerintah, orang tua, masyarakat, peserta didik tidak bisa menciptakan kedamaian, yang berpijak pada tujuan kemerdekaan berfikir dan bertindak.
Pendidikan fondasi yang cukup vital bagi anak-anak bangsa. Untuk itu kepada seluruh segenap masyarakat, mahasiswa, untuk melakukan sebuah revolusi terhadap sistem pendidikan nasional yang berbasis masyarakat, agar tidak ingin anak-anak bangsa menjadi robot-robot mekanis, yang tidak bernurani dan tidak bermoral.
DAFTAR PUSTAKA
— —
Kontak: infodiknas@yahoo.com