Oleh Kartini.
- A. Pengantar
Pada masa kolonial adanya aktivitas penyelengaraan pendidikan yang dilakukan oleh Belanda dalam catatan sejarah Indonesia telah menjajah negri ini selama 346 tahun, memiliki tujuan bukan untuk mencerdaskan bangsa Indonesia, melainkan pendidikan yang di fasilitasi oleh Belanda untuk kepentingan Belanda. Hal ini dilakukan belanda untuk salah satunya untuk menciptakan sumbaer daya manusia pribumi Indonesia sebagai tenaga kerja atau pegawai yang dapat dibayar dengan harga murah. Belanda sebagai negara yang menjajah Indonesia ingin menguasai tanah air melalui berbagai bidang, dan salah satunya adalah bidang pendidikan. Selain memanfaatkan sumber daya manusia, melalui pendidikan dengan mendirikan sekolah secara ideologi pemerintah belanda pun dengan mudah menyebarkan kristenisasi sebagai agama yang mereka anut dan memilki misi untuk disebarkan di tanah air Indonesia.[1]
Aktivitas pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Belanda tidak pro terhadap rakyat Indonesia dan menggunakan gaya feodal yang mengarahkan pada sistem pengkastaan antara atasan dan bawahan,[2]hingga dua dekade awal kemerdekaan, aktivitas pendidikan warisan penjajah Belanda masih diterapkan. Konstruk pendidikan yang telah dibuat belanda mengarah kepada kesenjangan sosial dan liberalisasi pendidikan. Kecendrungan aktivitas pendidikan sebagai kompetisi ekonomi menjadikan pendidikan sebagai suatu harga mahal untuk layak dinikmati rakyat Indonesia yang lebih banyak kalangan menegah kebawah, karena hanya kelompok elit saja yang dapat mengakses pendidikan, meskipun hanya pendidikan rendah. Salah satu dari sekian banyak kesenjangan pendidikan yang bersumber dari kompetensi ekonomi realitasnya dapat kita rasakan yaitu ketidakseimbangan pemerintah dalam memberikan bantuan antara sekolah negri dan swasta, sangat tidak selaras dengan hasil yang pemerintah inginkan dengan mengharapkan kedua sekolah yang berlainan status tersebut memiliki hasil yang sama. Berdasarkan hal tersebut perubahan pendidikan di Indonesia memerlukan konsep dan konstruk yang memiliki berbagai dimensi baik ekonomi, politik dan budaya.
- B. Pendidikan Untuk Semua dan Seumur Hidup
”Education For Everyone” John Comenius[3] berprinsip bahwa tidak hanya anak orang kaya atau yang punya kekuasaan saja yang bisa menikmati pendidikan. Pendidikan merupakan hak semua orang, semua anak laki-laki dan perempuan, anak orang terhormat, atau anak tidak terhormat, anak orang kaya atau miskin, maupun yang berasal dari kota atau desa, semuanya harus bisa menikmati pendidikan. Sehingga tidak terjadi perlakuan diskriminatif, perlakuan diskriminatif muncul karena kecemburuan, kebodohan, dan sikap memandang rendah manusia. Pendidikan adalah medium yang mampu menghapus segala penyebab diskriminasi tersebut.[4] Hal tersebut seharusnya dapat merubah status sosial dan menghilangkan kesenjangan sosial.
Dehumanisasi merupakan satu masalah mendasar dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan saat ini tidak lagi menghormati dan menghargai martabat manusia dan segala hak asasinya. Akibatnya, melalui proses pendidikan peserta didik sebagai generasi penerus tidak tumbuh dalam kemanusiaan sebagai subyek. Pendidikan termasuk di dalam konsepsi Hak Asasi Manusia, yaitu Hak Atas Pendidikan yang termasuk di dalam wilayah Hak Atas Ekonomi, Sosial, Budaya. Di dalam Kutipan Terjemahan Pasal 26 Universal Declaration on Human Rights 1948 dinyatakan :
“Setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidak-tidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan jurusan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pengajaran tinggi harus secara adil dapat diakses oleh semua orang, berdasarkan kepantasan.
Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas- luasnya serta memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi. Pendidikan harus menggalakkan saling pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian.[5]
Sistem pendidikan membuat manusia mampu menggunakan akal kreatif agar dapat survive di dunia ini. Pendidikan menjadi faktor penggerak yang utama bagi manusia untuk mengembangkan nasib menjadi lebih baik. Tak ada satu pun alasan bagi sebuah institusi pendidikan untuk menolak individu yang ingin menempuh pembelajaran. Setiap manusia memiliki hak dasar untuk merasakan pendidikan yang layak, seperti yang diyakini Romo Mangunwijaya bahwa kebodohan tidaklah dibawa sejak lahir tetapi sering diciptakan sesudah manusia lahir ke dunia. Hak dan kewajiban warga Negara adalah memperoleh sekurang-kurangnya pengetahuan dan kemampuan dasar yang meliputi kemampuan membaca, berhitung serta menggunakan bahasa Indonesia untuk dapat berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada dasarnya warga Negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan dalam tahap manapun dalam perjalanan hidupnya.[6]
Terkait mengenai hal pendidikan untuk semua dalam Islam, sejak awal Islam mendeklarasikan perang melawan kebodohan dan kemalasan dan menumbuhkan tradisi berpikir dan berekspresi sehingga wahyu yang diturunkan pertama kali oleh Allah berisi tentang perintah mencari ilmu, dalam surat Al-Alaq ayat 1, ”Iqra”! perintah mencari ilmu. Islam mengawali dengan perintah membaca, secara mendalam dengan membaca manusia mengetahui segala sesuatu, membaca alam, membaca peristiwa, dan hal tersebut dapat membuat manusia merubah pola berpikir dan penalaran menjadi lebih baik dan lebih dewasa dalam menjalankan kehidupan bahkan dengan membaca manusia dapat membangun peradaban dunia. Institusi-institusi pendidikan menjamur dan berjaya bersamaan dengan kejayaan Islam pada masa Harun Al-Rasyid dengan diawali madrasah muhammad sebagai institusi pertama dalam perjalanan sejarah perkembangan Islam di dunia. Islam memandang pengetahuan sebagai sebuah elemen esensial dari pembentukan kehidupan sosial, serta individu dan motif-motif di belakang kebangkitan budaya, ekonomi serta, sosial suatu bangsa. Islam memandang pencarian pengetahuan sebagai salah satu ajaran dan elemen penting dalam pembangunan masyarakat dan pembentukan peradaban, merubah cara berpikir manusia menjadi semakin cerdas.[7] Konsep pendidikan yang tidak terbatas ini juga telah lama diajarkan oleh Islam, sebagaimana dinyatakan dalam Hadits Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahad” Ungkapan hadits tersebut sekaligus menunjukkan bahwa ide yang terdapat dalam khazanah pemikiran Islam ini mendahului “life long education” yang dipopulerkan oleh Paul Lengrand dalam bukunya “An Introduction to Life Long Education”. Pendidikan seumur hidup yang yang dikemukakan ini tentunya tidak hanya terlaksana melalui jalur-jalur formal tetapi juga jalur informal[8] dan non formal[9], atau dengan kata lain pendidikan yang berlangsung seumur hidup menjadi tanggung jawab bersama keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Selanjutnya, Islam telah mengapresiasikan ilmu pengetahuan serta kemampuan kreatif guna pengembangan, pendewasaan, serta pencapaian kekayaan sosial. Islam juga meyakini bahwa suatu masyarakat yang menolak ilmu pengetahuan sebagai bagian dari pendidikan adalah penghambat kemajuan dan kekuatan mental serta ikatan-ikatan konseptualnya lemah.[10] Pendidikan menurut Ibn Khaldun adalah sarana untuk mentransformasikan nilai-nilai yang didapatkan dari pengalaman untuk mempertahankan eksistensi manusia dalam kehidupannya.Berdasarkan pemaparan tersebut penulis beranggapan, Islam telah memberikan perhatian besar terhadap pendidikan. Islam menyatakan ketinggiannya serta memandang pendidikan sebagai sebuah perkara yang esensial dalam kebangkitan pemikiran. Seseorang yang memiliki ilmu diharapkan dapat bermanfaat untuk dirinya sendiri, keluarga, untuk orang banyak serta untuk negaranya. Dengan ilmu, seseorang selain bermanfaat untuk kemaslahatan umat, juga akan selalu mensyukuri kenikmatan yang tuhan berikan.
Pandangan Hamka tentang pendidikan adalah bahwa pendidikan sebagai sarana yang dapat menunjang dan menimbulkan serta menjadi dasar bagi kemajuan dan kejayaan hidup manusia dalam berbagai ilmu pengetahuan. Pendidikan tersebut tergabung dalam dua prinsip yang saling mendukung, yaitu prinsip keberanian dan kemerdekaan berpikir. Namun yang terpenting adalah ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh keberanian dan kemerdekaan tersebut harus dapat menambah keimanan dan pemiliknya dan dilanjutkan dengan amal, akhlak serta keadilan. Bagi Hamka Ilmu yang tidak diikuti dengan amal tidak berguna bagi kehidupan. Ilmu pengetahuan mesti diamalkan bukan dipelajari saja.[11] Mencari ilmu bukan hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupan saja yang layak, tetapi lebih dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal Tuhannya, memeperluas akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari keridaan Allah[12]. Kesempatan untuk menikmati pendidikan tidak dibatasi ras, agama, perbedaan jenis kelamin, perbedaan fisik baik sehat jasmani maupun cacat secara fisik. Pendidikan merupakan hak semua orang untuk menikmatinya, tidak ada satu pun yang berhak melarang setiap orang untuk menikmati pendidikan.
Pendidikan sebagai suatu kegiatan mencerdaskan bangsa di Indonesia, pernyataan tersebut tersurat dalam buku pedoman negara yaitu terdapat pada pembukaan Undang-undang 1945.[13] Bahwa pendidikan sebagai salah satu upaya pencerdasan merupakan tugas negara untuk menyelenggarakannya dan setiap warga berhak menikmatinya.[14] Seseorang dapat melakukan suatu perubahan kondisi dalam kehidupannya, mengubah keadaan hidupnya dari kehidupan yang kurang layak menjadi layak, dari hidup pas-pasan menjadi hidup yang lebih dari cukup. Hal ini ilmu sosiologi pendidikan dikenal dengan perubahan status sosial.[15] Perubahan ini dilakukan melalui kegiatan pendidikan yaitu pendidikan formal.[16] Alternatifnya adalah melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan demikian, bukan hanya kehidupan seseorang tersebut saja yang layak akan tetapi, penghargaan dari masyarakat pun berbeda dari sebelumnya.[17] Menurut Emile Durkheim melalui pendidikan pula sikap taat pada aturan yang telah tertata sebelum manusia lahir bisa dibentuk.[18]
Realitas yang kini berkembang di negara kita adalah pendidikan telah menjadi sesuatu yang harganya sulit untuk dijangkau yang tidak dengan mudah bisa diakses oleh tiap warga negara. Kita percaya bahwa pendidikan adalah media bagi manusia untuk berlaku lebih baik di dunia ini. Dengan pendidikan segala aturan dan norma yang berlaku di masyarakat bisa di transformasikan kepada individu. Hal ini tidak selaras dengan penyelenggaraan kebijakan-kebijakan pemerintah, dalam beberapa awal periode penyelenggaraan kebijakan tersebut memang membawa angin segar untuk dunia pendidikan dan umumnya untuk rakyat, namun kebijakan yang berupa bantuan dana operasional sekolah tersebut cenderung lebih banyak kapasitasnya untuk sekolah negri, sementara sekolah swasta yang memiliki peserta didik menengah kebawah dalam pendapatan ekonomi mengalami ketidakseimbangan bantuan dari pemerintah, hal yang sama dalam pengajuan bantuan yang dilakukan sekolah swasta kepada pemerintah untuk mendukung operasional sekolah agar lebih baik, dalam hal tersebut pun sekolah swasta sulit untuk mendiplomasi pemerintah.
- C. Pendidikan : Kompetisi Komoditas
Pengaruh arus globalisasi dan ketidakseimbangan pemerintah dalam menyelenggarakan kebijakan pendidikan khususnya yang besifat material ataupun bantuan dana operasional serta persaingan dalam setiap lembaga pendidikan menjadikan pendidikan sebagai lahan industrialisasi yang saling berkompetisi menjual produk masing-masing lembaga. Adanya persaingan antara lembaga pendidikan dalam kelulusan pun dengan standar kelulusan yang dibuat pemerintah membuat pengelolan lembaga pendidikan inferior, hal lainnya mengenai daya serap lulusan, pemerintah belum bisa mengatasi pengangguran yang mayoritas lulusan baru baik dari sekolah menengah dan sederajat maupun perguruan tinggi. Liberalisasi[19] mengancam dunia pendidikan di Tanah Air. Komersialisasi pendidikan kian terasa dengan berlakunya Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Sejumlah pihak telah menggugat materi wet yang disahkan pada 17 Desember 2008 itu ke Mahkamah Konstitusi. Dalam perkembangan selanjutnya, sudah empat pihak yang mengajukan permohoonan judicial review terhadap undang-undang Badan Hukum Pendidikan. Hampir seluruh kalangan akademisi menginginkan penolakan undang-undang Badan Hukum Pendidikan. Permohonan yang menginginkan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan dicabut secara keseluruhan datang dari Tim Advokasi Koalisi Pendidikan yang didampingi oleh Taufik Basari. Pasal 53 Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang menjadi dasar dari UU BHP pun turut dipersoalkan. Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Masyarakat (ELSAM) Agung Putri, melihat kebijakan pendidikan Indonesia dibuat untuk menimbulkan ketergantungan terhadap uang. Semangat bahwa uang adalah segala-galanya dituangkan melalui bentuk minimnya peran negara. “Keyakinan yang ingin ditanamkan kepada seluruh warga negara Indonesia hingga anak cucu, adalah kesadaran bahwa kita ini adalah manusia yang menginginkan uang,” terangnya. Berbagai kebijakan, termasuk Badan Hukum Pendidikan merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan. “Badan Hukum Pendidikan itu lebih banyak untuk menyiasati satu agenda yang memang sudah menjadi kebulatan tekad dari pemerintah ini untuk melepaskan tanggung jawabnya memberikan dukungan kepada masyarakat, menjamin pendidikan.[20]
Berdasarkan pemaparan diatas dapat diasumsikan bahwa, di Iindonesia pendidikan belum menjadi prioritas nasional. Dari masa ke masa pemerintah menyerukan jargon-jargon untuk mencerdaskan seluruh rakyatnya. Realitasnya pemerintah belum serius dalam menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama nasional. Pendidikan sebagai pranata sosial dan masyarakat masih dianggap sebagai pranata yang kurang bergengsi, pranata ”kelas dua”. Karena bukan prioritas maka dana yang dialokasikan untuk pendidikan pun hanya sedikit yang dikeluarkan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara.[21]
Realitas yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan, sistem pendidikan di Indonesia tidak secara mutlak berpedoman pada prinsip-prinsip: otonomi, akuntabilitas, transparansi, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, serta partisipasi atas tanggung jawab negara. Dengan prinsip-prinsip ini, pengelolaan sistem pendidikan formal di Indonesia ke depan, diharapkan makin tertata dengan baik, makin profesional dan mampu membuat satu sistem pengelolaan pendidikan yang efektif dan efisien untuk meningkatkan mutu, kualitas dan daya saing. Peraturan sistem pendidikan nasional memang telah memberikan otonomi dan kewenangan yang besar dalam pengelolaan pendidikan pada masing-masing lembaga dan satuan pendidikan, baik yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun masyarakat. Pada tingkat satuan pendidikan, diberikan peluang adanya otonomi pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi. Otonomi di sini bermakna bahwa setiap lembaga pendidikan formal dituntut lebih memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik. Otonomi pengelolaan pendidikan bukan berarti bahwa lembaga pendidikan harus membiayai dirinya sendiri. Melainkan tetap ada peran dan tanggung jawab pemerintah dan partisipasi dari masyarakat dalam pendanaannya. Sebab pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyat yang wajib ditunaikan.
Berkaitan dengan permasalah pendanaan pendidikan, seharusnya pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan pada lembaga dan satuan pendidikan yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat. Pendanaan pendidikan yang wajib ditanggung pemerintah mencakup biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan. Selanjanjutnya yang harus menjadi kewajiban pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan dasar untuk tingkat SD dan SMP bebas dari pungutan. Sementara untuk pendidikan menengah tingkat SMA/SMK/MK dan pendidikan tinggi, pemerintah boleh mengambil sumbangan dari masyarakat seminimal mungkin. Peserta didik pada pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sebaiknya hanya ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuannya.[22]
- D. Kesimpulan
Eksistensi pendidikan merupakan sebuah kemaslahatan untuk rakyat dalam suatu Negara. Untuk sebuah kemajuan suatu Negara pendidikan sebagai sarana untuk memperbaiki kualitas rakyat menjadi lebih baik. Berkaitan mengenai hal pendidikan, pemerintah belum serius dalam menempatkan posisi pendidikan menjadi hal yang harus menjadi prioritas dalam Negara Indonesia. Hal ini terbukti dengan ketidakjelasan kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan, permasalah pendanaan pendidikan, mestinya pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan pada lembaga dan satuan pendidikan yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat. Pendanaan pendidikan yang wajib ditanggung pemerintah mencakup biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
Selain permasalahan pendanaan, permasalahan akademik mengenai kebijakan standar kelulusan yang tidak diimbangi dengan potensi dan mensamaratakan kemampuan setiap sumber daya manusia setiap satuan pendidikan, membuat setiap lembaga pendidikan berstatus swasta melakukan kompetisi untuk mengikuti kebijakan pemerintah dengan terpaksa. Sebuah dilematisasi, lembaga pendidikan swasta di satu sisi harus meluluskan siswa dengan nilai baik di satu sisi kehilangan banyak siswa sehingga lembaga pendidikan swasta melakukan promosi berkompetisi satu sama lain. Terakhir, diplomasi pemerintah dan perusahan seharusnya dilakukan untuk mendukung keberhasilan daya serap lulusan, sebagai realitas bahwa setelah seseorang berada di dunia pendidikan kemudia seseorang tersebut hartus berada pada dunia kerja.
Daftar Pustaka
Kontak: infodiknas@yahoo.com