Oleh Sudarmaji1, Hakimah Halim2 dan Djodjok Rahardjo2
1 Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan Banjarmasin
2 Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru
ABSTRACT
This research aim to: 1). Know interaction effect of cropping system and shade levels on leaf area index, and crop growth rate of mulato grass dan calopo, 2). Know adaptability of cropping system between mulato and calopo on shade levels. The research was done using Split Plot Design, with 2 factors. Primary factor are shade levels with 3 levels i.e : 0%, 25% and 50% shade. Crops systems as secondary factor, with 3 crop systems i.e : monoculture mulato, monoculture calopo dan mixing crop system of mulato-calopo with 50 : 50 percentage. Every treatment using 3 replications.
The result of this research indicated that interaction between crop systems and shade levels gave most significantly on crop growth rate and significantly on leaf area index. Responsibility of all crop system to leaf area index dan growth rate of forage, refers to linier negative. Mixing of crop systems mulato-calopo gave decreasingly smaller on leaf area index and growth rate forages than monoculture forage as well as increasingly of shade levels. Crop mixing system of mulato-calopo at shade condition have better adaptability than monoculture crop system.
Keyword : Crop system, shade, mulato grass, calopo
PENDAHULUAN
Kendala yang dihadapi sub-sektor peternakan adalah terbatasnya sumber hijauan makanan ternak. Penyediaan hijauan makanan ternak yang berkualitas dan berkelanjutan mutlak diperlukan dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas ternak, terutama ternak ruminansia. Masalah utama yang dihadapi dalam penyediaan hijauan makanan ternak adalah terbatasnya penggunaan dan pemilikan lahan, karena pada umumnya lahan produktif digunakan untuk tanaman pangan. Pemanfaatan areal pada lahan perkebunan adalah salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyediaan hijauan makanan ternak.
Luas areal perkebunan di Kalimantan Selatan pada tahun 2005 mencapai 156.729 ha untuk tanaman kelapa sawit, karet dan kelapa (Dinas Perkebunan Prop. Kalsel, 2006). Areal perkebunan yang begitu luas dan jarak tanam antar tanaman perkebunan yang renggang, merupakan lahan yang potensial untuk budidaya hijauan makanan ternak guna mendukung integrasi ternak dan tanaman perkebunan, sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan. Menurut Umiyasih dan Anggraeni (2003), untuk tanaman kelapa sawit dengan jarak tanam 9 m x 9 m, terdapat ruang antar tanaman pokok sebesar 70 – 80 % dari luas lahan dan dapat menghasilkan hijauan 21 – 24 ton ha-1 tahun-1. Dengan menggunakan perhitungan tersebut, maka areal perkebunan di Kalsel dapat menghasilkan hijauan makanan ternak 2,3 – 3,0 juta ton per tahun dan dapat memenuhi kebutuhan 161 – 210 ribu ekor sapi, dengan berat badan rata-rata 400 kg.
Permasalahan utama pemanfaatan lahan perkebunan untuk budidaya hijauan makanan ternak adalah adanya naungan dari canopy tanaman perkebunan. Menurut Wilson and Ludlow (1990), tingkat naungan oleh canopy tanaman perkebunan dapat mencapai 80%, tergantung dari jenis tanaman, jarak tanam dan umur tanaman perkebunan.
Menurunnya transmisi radiasi matahari menyebabkan perubahan iklim mikro di sekitar hijauan, berupa turunnya suhu udara dan evapotranspirasi, serta meningkatnya kelembaban relatif (Wong and Wilson, 1980). Kondisi lingkungan tersebut mengakibatkan perubahan proses-proses di dalam tanaman seperti fotosintesis, transpirasi dan respirasi (Struik and Deinum, 1982),
Terdapat keragaman antar spesies rumput dan legum dalam merespon berbagai tingkat naungan, tidak banyak spesies rumput dan legum yang mampu bertahan pada kondisi tingkat naungan yang berat. Rumput benggala (Panicum maximum, rumput bede (Brachiaria decumbens), Calopogonium caeruleum, Desmodium ovalifolium dan Pueraria phaseoloides dilaporkan memiliki sifat toleran terhadap naungan. Spesies rumput dan legum yang toleran terhadap naungan, menunjukkan kemampuan tanaman secara efisien menggunakan intensitas radiasi matahari yang rendah untuk fotosintesis, pengambilan karbondioksida dan pertumbuhan (Bjorkman and Holmgren, 1966 dalam Wong, et al., 1985 a).
Sistem pertanaman yang digunakan dalam budidaya hijauan makanan ternak dapat berupa monokultur atau campuran rumput-legum. Pertanaman hijauan makanan ternak diantara tanaman perkebunan yang lazim dilakukan adalah pertanaman monokultur legum, dengan tujuan untuk mengurangi erosi permukaan tanah, menambah bahan organik dan cadangan unsur hara, memperbaiki aerasi, menjaga kelembaban tanah, menekan perkembangan gulma dan menghemat biaya pemupukan (Umiyasih dan Anggraeni, 2003). Pertanaman monokultur legum memiliki kelemahan, karena produksi bahan keringnya lebih rendah daripada pertanaman monokultur rumput. Sedangkan pertanaman monokultur rumput meskipun menghasilkan bahan kering yang lebih tinggi tetapi memiliki kualitas yang lebih rendah dan menguras hara lebih banyak daripada monokultur legum (Stür dan Horne, 2001). Pertanaman campuran rumput-legum lebih tinggi hasil bahan kering dan kandungan nitrogennya daripada pertanaman monokultur rumput, hal ini terkait dengan kemampuan legum dalam memfiksasi N2 dari udara (Sleugh, et al., 2000; Zemenchick, et al., 2002 dan Berdahl, et al., 2004).
Kalopo (Calopogonium mucunoides Desv.) merupakan legum yang lazim dipergunakan sebagai penutup tanah (Cover crop) dan pengendalian gulma di perkebunan (Umiyasih dan Anggraeni, 2003). Legum Kalopo mempunyai toleransi yang sedang terhadap naungan dan ketahanan yang kuat terhadap tekanan penggembalaan, memiliki kemampuan fiksasi N2 3,8 mg N hari -1 tanaman -1. Kalopo cocok (compatible) tumbuh bersama rumput dari genus Panicum, Hyparrhenia dan Brachiaria (FAO, 2002 )
Rumput mulato (Brachiaria hybrid cv. Mulato) merupakan spesies yang relatif baru, hasil persilangan apomiktik antara Brachiaria ruziziensis dengan Brachiaria brizantha cv. Marandu yang diproduksi oleh Centro Internacional de Agricultura Tropical (CIAT) Kolumbia, dengan kode produksi (CIAT 36061). Rumput mulato adalah hasil persilangan Brachiaria yang pertama kali tersedia secara komersial, superior dalam kualitas dan produktivitas, dapat dipergunakan untuk produksi susu maupun daging, tahan terhadap tekanan penggembalaan, kemampuan pertumbuhan kembali (regrowth) yang baik, dapat digunakan sebagai rumput potong atau rumput gembala, palatabilitasnya sangat baik.
Penelitian sistem pertanaman rumput dan legum di bawah naungan belum banyak dilakukan oleh karenanya menarik untuk diteliti, terlebih dengan menggunakan rumput mulato.
Tujuan Penelitian
- Mengetahui pengaruh interaksi sistem pertanaman dengan tingkat naungan terhadap indeks luas daun dan laju tumbuh tanaman rumput mulato dan kalopo.
- Mengetahui kemampuan adaptasi sistem pertanaman rumput mulato dan kalopo terhadap naungan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Jalan Sukamaju Kecamatan Landasan Ulin Kotamadya Banjarbaru dan laboratoriun Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Unlam, selama 3 bulan yaitu dari bulan April 2007 sampai dengan bulan Juni 2007.
Benih kalopo (Calopogonium mucunoides Desv.) diperoleh dari IPB Bogor, rumput mulato (Brachiaria hybrid cv. Mulato) diperoleh dari Balai Penyuluh Pertanian Kecamatan Basarang Kabupaten Kapuas. Bahan lain yang digunakan adalah pupuk kotoran ayam sebagai pupuk dasar, Urea, SP-36, KCl, dolomit, Furadan 3 G dan Dursban 20 EC.
Paranet digunakan sebagai naungan, dengan tingkat naungan 25 % dan 50 %. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan, leaf area meter, oven, kayu galam dan bambu.
Rancangan Percobaan
Penelitian merupakan percobaan faktorial dua faktor. Faktor yang dicobakan adalah : Faktor Naungan (N), terdiri atas tiga taraf, yaitu : N0 = tanpa naungan, N1 = 25 % naungan dan N2 = 50 % naungan. Faktor sistem pertanaman (S), terdiri atas tiga taraf, yaitu : S1 = monokultur mulato, S2 = monokultur kalopo dan S3 = campuran mulato – kalopo dengan perbandingan 50 : 50.
Penelitian dilaksanakan di lapangan, ditata dalam Rancangan Petak Terbagi (split plot design) dimana faktor naungan ditempatkan sebagai petak utama dan faktor sistem pertanaman sebagai anak petak, menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan.
Teknik Budidaya
Pembibitan
Sebelum disemai, benih legum direndam selama 5 menit di dalam larutan Dithane M-45 dengan dosis 2 g l-1 air, hal ini dimaksudkan untuk mencegah serangan cendawan. Benih legum disemai pada bak semai yang berlapiskan kertas lembab. Setelah muncul kecambah, selanjutnya dipindah ke dalam polibag.
Pembibitan rumput dilakukan pada bedengan lahan, dengan cara menanam sobekan rumpun masing-masing tiga batang per titik tanam dan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Setelah seminggu, dilakukan pemangkasan.
Pengolahan Tanah
Lahan yang sudah ditetapkan sebagai lokasi penelitian terlebih dahulu dilakukan analisis tanah untuk mengetahui kondisi kandungan hara tanah. Tanah dibersihkan dan diolah menggunakan sabit dan cangkul. Setelah diperoleh struktur tanah yang gembur, kemudian dibentuk petakan-petakan dengan ukuran 2,5 m x 2,5 m sebanyak 27 petak.
Pengapuran dan Pemupukan
Kapur dolomit pemberiannya ditujukan untuk meningkatkan status Ca dan Mg dengan dosis 500 kg.ha-1 dolomit CaMg(CO3)2 atau setara dengan 312,5 g per petak dan diberikan dengan cara disebar merata di atas permukaan tanah, dua minggu sebelum tanam.
Pupuk kandang kotoran ayam sebagai pupuk dasar sebanyak 2 ton ha-1 setara dengan 1.250 g per petak. Diberikan dengan cara disebar merata pada seluruh lahan pertanaman, satu minggu sebelum tanam.
Pemupukan Urea, SP-36 dan KCl masing-masing dengan dosis 25 kg ha-1, 100 kg ha-1 dan 100 kg ha-1. Pupuk Urea dan KCl pemberiannya dibagi menjadi setengah dosis pada saat tanam dan setengah dosis berikutnya diberikan pada umur 4 minggu setelah tanam, sedangkan SP-36 diberikan keseluruhan dosis pada saat tanam.
Pembuatan Naungan
Paranet sebagai naungan dipasang setelah pengolahan tanah dan pembuatan petak pada setiap petak utama sesuai perlakuan, dengan tingkat naungan 25 % dan 50 %. Lebar naungan adalah 3,6 m, dengan menggabungkan dua buah paranet. Untuk menyangga paranet digunakan kayu galam dan bambu dengan ketinggian naungan satu meter dari permukaan tanah. Pada sebelah timur dan barat dari petak utama, paranet dilebihkan masing-masing satu meter.
Penanaman
Penanaman rumput mulato dan kalopo dilakukan dengan menggunakan bahan tanam hasil pembibitan (umur satu bulan). Jarak tanam yang digunakan adalah 25 cm x 25 cm, dengan populasi 100 tanaman per petak. Pada pertanaman campuran dilakukan penanaman mulato dan kalopo secara berselang-seling antar barisan tanaman.
Pemeliharaan
Penyulaman. Penyulaman dilakukan terhadap tanaman yang mati. Penyulaman dilakukan dengan cara mengganti tanaman yang mati dengan tanaman cadangan dari pembibitan. Penyulaman dilakukan satu minggu sesudah tanam.
Penyiangan dan Pembumbunan. Penyiangan dilakukan jika ada tumbuhan pengganggu, sedangkan pembumbunan dilakukan saat tanaman berumur 15 dan 30 hari setelah tanam.
Pencegahan serangan hama dan penyakit. Pencegahan serangan hama dilakukan dengan menggunakan pestisida Furadan 3 G untuk mencegah serangan semut dan nematoda dari akar, Dursban 20 EC dengan dosis 3 ml l -1 air pada saat tanaman berumur dua sampai tiga minggu setelah tanam. Sedangkan untuk pencegahan penyakit yang diakibatkan cendawan, disemprotkan Dithane M-45 dengan dosis 2 g l -1 air.
Penyiraman. dilakukan pada sore hari, jika tidak turun hujan. Volume air yang digunakan untuk menyiram setiap petak adalah sama, dengan menggunakan sprayer.
Pemotongan/defoliasi
Trimming dilakukan pada saat tanaman berumur 1 minggu setelah tanam, dimaksudkan untuk menyeragamkan pertumbuhan. Pemotongan sampel tanaman destruksi untuk mengukur laju tumbuh tanaman dilakukan pada umur 3 minggu setelah trimming dan panen dilakukan pada umur 6 minggu setelah trimming. Tinggi pemotongan adalah 10 cm di atas permukaan tanah.
Pengamatan
Indeks Luas Daun (ILD)
Luas daun diukur dengan menggunakan alat Leaf Area Meter. Indeks Luas Daun dihitung dengan rumus :
, dimana :
ILD = Indeks luas daun
LD = Luas daun
Lt = Luas lahan yang ditumbuhi tanaman
Laju Tumbuh Tanaman (LTT)
Laju tumbuh tanaman didasarkan pada berat kering total tanaman, dilakukan dengan menimbang bagian pucuk tanaman, kemudian dikeringkan dalam oven sampai berat kering konstan pada suhu 80 oC. Pengukuran dilakukan pada 3 minggu setelah trimming dan pada saat panen (6 minggu setelah trimming). Kemudian dianalisis berdasarkan (Sitompul dan Guritno, 1995), dengan rumus
, dimana :
LPT = Laju pertumbuhan tanaman
GA = Luas tanah
W = Berat kering
T = Waktu
Laju tumbuh tanaman dinyatakan dalam satuan g m -2 hari-1.
Analisis Data
Sebelum dilakukan analisis ragam terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas ragam menggunakan uji Bartlett. Analisis ragam dilakukan bersamaan dengan analisis regresi, menggunakan polinomial ortogonal. Apabila hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh perlakuan yang nyata atau sangat nyata, selanjutnya dilakukan uji beda nilai tengah menggunakan uji DMRT (Steel and Torrie, 1980).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Indeks Luas Daun (ILD)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tingkat naungan dan sistem pertanaman secara tunggal berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksinya berpengaruh nyata terhadap ILD.
Tabel 1. Rata-rata ILD pengaruh utama dan interaksi tingkat naungan dengan sistem pertanaman
Tingkat Naungan (N) |
Sistem Pertanaman (S) |
Rata-rata (N) |
Monokultur Monokultur Campuran
Mulato Kalopo Mulato-Kalopo (S1) (S2) (S3) |
||
N0 (0 %)
N1 (25 %) N2 (50 %) |
5,37 c 5,95 c 5,64 c
4,20 b 4,64 b 5,31 c 3,22 a 3,62 a 4,39 b |
5,65 c
4,72 b 3,74 a |
Rata-rata
(S) |
4,27 c 4,74 b 5,11 c |
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris atau kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada taraf nyata 5 %.
Hasil uji beda nilai tengah seperti pada Tabel 2, menunjukkan bahwa untuk seluruh sistem pertanaman terjadi penurunan ILD secara signifikan seiring dengan meningkatnya tingkat naungan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata ILD antar sistem pertanaman pada tingkat naungan 0 %, pada tingkat naungan 25 % dan 50 % ILD tertinggi adalah campuran rumput mulato-kalopo, masing-masing (5,31) dan (4,39).
Hasil uji polinomial ortogonal, regresi linier sangat nyata pada pengaruh interaksi tingkat naungan dan sistem pertanaman. Berdasarkan persamaan regresi pada Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan tingkat naungan (%) dengan indeks luas daun pada berbagai sistem pertanaman
Pada Gambar 1 terlihat bahwa hubungan linier negatif antara tingkat naungan dengan ILD pada seluruh sistem pertanaman.
Hasil ini sejalan dengan yang dilaporkan Wong, et al. (1985 a dan 1985 b), dimana terjadi penurunan luas daun (dm2 pot-1) pada 12 spesies rumput dan legum tropika, tetapi terjadi peningkatan Luas Daun Spesifik (SLA) seiring dengan peningkatan naungan.
Menurunnya ILD akibat naungan ini diduga disebabkan oleh terhambatnya pertumbuhan tanaman, terutama daun. Menurut Salisbury dan Ross (1995), daun tunggal pada tanaman yang ternaungi akan lebih lebar dan tipis daripada daun tunggal yang tidak ternaungi. Hal ini sebagai bentuk adaptasi morfologi tanaman untuk memaksimalkan penangkapan cahaya dengan intensitas rendah. Meskipun terjadi penambahan luas pada daun tunggal, tetapi karena berkurangnya jumlah daun menyebabkan ILD yang kecil.
Lebih tingginya ILD pertanaman campuran daripada pertanaman monokultur pada kondisi naungan, menunjukan kompetisi antar tanaman yang lebih rendah pada pertanaman campuran dalam kondisi intensitas cahaya sebagai faktor pembatas. Inklinasi daun rumput mulato yang cenderung tegak (erektofil) dan kalopo yang cenderung horizontal (planofil) mengakibatkan penyebaran daun yang lebih merata dan berkurangnya daun yang saling menutupi. Menurut Heddy (1987), sistem petanaman campuran dengan tanaman yang berbeda secara berseling akan menghasilkan LAI yang ideal dan mengarah kepada LAI optimum, sebab tajuk daun (canopy) terbentuk dari spesies tumbuhan yang berbeda.
Laju Tumbuh Tanaman (LTT)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tingkat naungan dan sistem pertanaman secara tunggal serta interaksinya berpengaruh sangat nyata terhadap Laju Tumbuh Tanaman.
Tabel 3. Rata-rata laju tumbuh tanaman (g m-2 hari-1) pengaruh utama dan interaksi tingkat naungan dengan sistem pertanaman
Tingkat Naungan (N) |
Sistem Pertanaman (S) |
Rata-rata (N) |
Monokultur Monokultur Campuran
Mulato Kalopo Mulato-Kalopo (S1) (S2) (S3) |
||
N0 (0 %) N1 (25 %) N2 (50 %) |
13,97 f 7,00 c 11,31 e
11,32 e 5,11 b 11,18 e 9,26 d 4,05 a 9,81 d |
10,75 c
9,20 b 7,71 a |
Rata-rata
(S) |
11,52 c 5,39 a 10,76 b |
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris atau kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada taraf nyata 5 %.
Hasil uji beda nilai tengah seperti pada Tabel 3, menunjukkan bahwa pada pertanaman monokultur mulato dan monokultur kalopo terjadi penurunan LTT secara signifikan seiring dengan meningkatnya tingkat naungan.
Pada pertanaman campuran penurunan LTT secara nyata terjadi pada tingkat naungan 50 % (9,81) dibanding dengan tanpa naungan (11,31). LTT tertinggi pada tingkat naungan 0 % adalah monokultur mulato (13,97), pada tingkat naungan 25 % adalah monokultur mulato (11,32) dan campuran mulato-kalopo (11,18), pada tingkat naungan 50 % adalah adalah monokultur mulato (9,26) dan campuran mulato-kalopo (9,81).
Hasil uji polinomial ortogonal, regresi linier sangat nyata pada pengaruh tingkat naungan. Berdasarkan persamaan regresi pada Gambar 2, terlihat hubungan linier negatif antara tingkat naungan dengan laju tumbuh tanaman pada seluruh sistem pertanaman.
Gambar 2. Hubungan tingkat naungan (%) dengan laju tumbuh tanaman (g m2 hari-1) pada berbagai sistem pertanaman
Penurunan LTT pada seluruh sistem pertanaman seiring dengan meningkatnya tingkat naungan diduga disebabkan oleh menurunnya intensitas cahaya. Menurunnya intensitas cahaya mengakibatkan laju fotosintesis berkurang dan akhirnya menurunkan LTT. Menurut Gardner, et al. (1991) terjadi peningkatan laju fotosintesis yang berarti seiring dengan peningkatan intensitas cahaya sampai pada titik jenuh cahaya. Sebagian fotosintat dipergunakan tanaman untuk pertumbuhan.
Penurunan LTT pada pertanaman campuran yang lebih rendah daripada pertanaman monokultur seiring dengan meningkatnya naungan, merupakan efek kumulatif pertumbuhan vegetatif yang lebih baik, salah satunya adalah pertanaman campuran memiliki ILD yang lebih tinggi.
Terdapat hubungan linier positif antara ILD dengan LTT, dimana peningkatan ILD akan meningkatkan LTT sampai batas ILD optimum saat dimana LTT mencapai maksimum (Gardner, et al., 1991).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
- Interaksi tingkat naungan dengan sistem pertanaman berpengaruh sangat nyata terhadap laju tumbuh tanaman dan berpengaruh nyata terhadap indeks luas daun.
- Respon seluruh sistem pertanaman dalam indeks luas daun dan laju tumbuh tanaman terhadap peningkatan naungan adalah linier negatif. Penurunan pada pertanaman campuran rumput mulato-kalopo lebih rendah daripada pertanaman monokultur.
- Pertanaman campuran mulato-kalopo pada kondisi naungan mempunyai kemampuan adaptasi yang lebih baik daripada pertanaman monokultur.
Saran
Melakukan penelitian lanjutan pertanaman campuran rumput mulato-kalopo dan campuran rumput mulato dengan berbagai tanaman legum lainnya di lahan perkebunan, dengan berbagai tingkat naungan kanopi tanaman perkebunan.
DAFTAR PUSTAKA
Kontak 081333052032