Oleh OR. Heru Praptana, Adolf Bastian dan M. Yasin.
ABSTRAK
Tungro merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi yang menjadi permasalahan dalam usaha peningkatan produksi padi nasional. Penyakit yang disebabkan oleh dua jenis virus (virus bulat dan virus batang) yang ditularkan oleh wereng hijau Nephotettix virescens telah menyebar dan menyebabkan kehilangan hasil di beberapa sentra produksi padi di Indonesia. Tiga faktor utama penyebab terjadinya serangan tungro adalah ketersediaan sumber inokulum virus, adanya serangga penular dan keberadaan tanaman peka. Teknologi pengendalian tungro telah diterapkan sejak tahun 1983, yang meliputi pemilihan waktu tanam tepat, pergiliran varietas dan penggunaan insektisida pada kondisi tertentu. Penerapan pengendalian terpadu tungro yang bertujuan untuk menghindarkan pertanaman dari infeksi virus yang meliputi tiga komponen utama yaitu pemilihan waktu tanam tepat, penggunaan varietas tahan dan pergiliran varietas telah berhasil mengurangi persentase serangan penyakit tungro. Keterpaduan komponen pengendalian kultur teknis seperti pola tanam serempak, eradikasi sumber inokulum sebelum hambur benih, tanam dengan sistem legowo serta penggunaan insektisida sesuai proporsi akan mendukung keberhasilan dalam pengendalian penyakit tungro.
Kata kunci: tungro, pengendalian terpadu tungro
PENDAHULUAN
Tungro merupakan salah satu penyakit pada tanaman padi yang menjadi kendala dalam peningkatan stabilitas produksi padi nasional dan ancaman bagi ketahanan pangan yang berkelanjutan (Widiarta et al., 2003). Tanaman padi yang terserang penyakit tungro umumnya akan mengalami kekerdilan, daun berwarna oranye dan sedikit terpelintir, jumlah anakan berkurang dan nilai kehampaan malai tinggi. Potensi hasil optimal suatu varietas padi tidak akan tercapai apabila terserang tungro bahkan tidak akan diperoleh hasil apabila infeksi tungro terjadi sejak fase vegetatif atau tahap persemaian (Hasanuddin, 2002). Di Indonesia, kehilangan hasil akibat serangan tungro dalam kurun waktu 1996-2002 mencapai 12.078 ton/tahun atau senilai Rp. 12-15 milyar (Soetarto et al., 2001).
Tungro disebabkan oleh dua jenis virus yaitu virus batang (rice tungro bacilliform virus=RTBV) dan virus bulat (rice tungro spherical virus=RTSV). Kedua jenis virus tersebut hanya dapat ditularkan
oleh wereng hijau secara semipersisten (Hibino and Cabunagan, 1986). Terdapat lima spesies wereng hijau yang dapat menularkan virus tungro dengan efisiensi yang berbeda dan Nephotetix virescens Distant merupakan penular (vector) yang paling penting di antara keempat spesies yang lain karena memiliki efisiensi paling tinggi di dalam menularkan virus tungro yaitu sebesar 80% (Siwi et al., 1999).
Pada tahun 1972/1973 telah terjadi ledakan tungro di Sulawesi Selatan dan pada tahun 1998/1999 terjadi serangan berat di Lombok Tengah dan Lombok Timur seluas 10.000-15.000 ha (Hasanuddin, 1999). Ledakan penyakit tungro juga terjadi pada akhir tahun 1995 di Surakarta yang mengakibatkan sekitar 12.340 ha sawah puso atau setara dengan Rp. 25 milyar (Anonim, 1995) dan pada Mh 2003/2004 terjadi serangan seluas 2.700 ha di Propinsi Banten. Serangan tungro di Sulawesi Tengah terjadi di Kab. Donggala, Tolitoli dan Parigi Moutong dan pada musim tanam 2002 serangan terluas terjadi di Parigi Moutong (Negara et al., 2004). Di Sulawesi Tenggara, serangan tungro terjadi di Kab. Konawe khususnya di wilayah Wawotobi dan Pondidaha yang keduanya merupakan sentra pengem-bangan padi (Idris et al., 2004). Sampai saat ini serangan tungro masih sering terjadi di Sulawesi Selatan, Bali, Jawa Barat dan Jawa Tengah yang semuanya merupakan sentra produksi padi nasional.
Berbagai usaha pengendalian tungro telah dilakukan, di antaranya melalui pengelolaan tanaman terpadu yang meliputi penanaman varietas tahan, pemilihan waktu tanam yang tepat, pola tanam serempak, pergiliran varietas, tanam dengan sistem tanam benih langsung (tabela), manipulasi faktor lingkungan dan penggunaan insektisida (Muis et al., 1990). Sejak tahun 1983 telah diterapkan paket teknologi pengendalian terpadu tungro dengan 3 komponen utama yaitu: 1) penentuan waktu tanam, 2) pergiliran varietas menurut gen ketahanannya terhadap wereng hijau dan 3) penggunaan insektisida pada keadaan tertentu. Paket tersebut telah direkomendasikan untuk diterapkan di seluruh daerah endemis tungro di Indonesia, namun demikian pelak-sanaannya masih mengalami kendala disebabkan oleh keragaman kondisi lingkungan dan sosioekonomi petani (Muis at al., 1989).
TUNGRO DAN PENULARANNYA
Vektor memperoleh virus dari tanaman terserang tungro, selanjutnya apabila vektor yang telah mengandung virus menghisap tanaman sehat maka terjadi penularan virus. Dalam penularan tungro, RTBV merupakan virus dependen, sedangkan RTSV sebagai virus pembantu (helper virus). Wereng hijau dapat menularkan RTSV dan RTBV secara bersamaan dari sumber inokulum yang mengandung kedua virus Penularan RTBV hanya terjadi apabila vektor telah menghisap RTSV terlebih dahulu, sedangkan penularan RTSV dapat terjadi tanpa bantuan RTBV (Sumardiyono et al., 2004).
Vektor memerlukan waktu selama 15-30 menit untuk memperoleh virus dari sumber inokulum (aqusition feeding) dan melakukan penularan (inoculation feeding) selama 10-30 menit. Virus tidak memerlukan masa inkubasi di dalam tubuh vektor, sedangkan masa inkubasi pada tanaman berkisar antara 1-3 minggu (Hibino and Cabautan, 1986). Masa retensi virus tungro pada tubuh vektor dapat mencapai 5 hari (Sumardiyono et al., 2004), namun apabila vektor menghisap kedua jenis virus maka retensi untuk RTBV adalah 4 hari dan 3 hari untuk RTSV dan vektor akan kehilangan virus saat ganti kulit (Hibino, 1983).
Tanaman padi yang terinfeksi kedua jenis virus tungro menunjukkan gejala yang komplek, apabila hanya terinfeksi RTBV maka gejala yang ditimbulkan lebih ringan, sedangkan apabila hanya terinfeksi RTSV maka tanaman tidak menunjukkan gejala (Hibino, 1987). Gejala tungro mulai terlihat pada saat tanaman berumur 10-15 hari setelah inokulasi, sedangkan di pertanaman gejala muncul pada 21-30 hari setelah tanam (Ling, 1976).
PENYEBAB TERJADINYA SERANGAN TUNGRO
Tinggi rendahnya intensitas serangan tungro sangat ditentukan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah ketersediaan sumber inokulum, adanya serangga penular, adanya tanaman peka serta kondisi lingkungan yang memungkinkan, namun keberadaan vektor yang mengandung virus (viruliferous vector) merupakan faktor yang paling penting (Ganapathy et al., 1999). Intensitas serangan tungro juga dipengaruhi oleh stadia tanaman, tingkat ketahanan varietas dan stadia sumber inokulum. Semakin muda stadia tanaman, ketersediaan sumber inokulum yang tergolong varietas peka dan tingginya populasi vektor infektif menyebabkan tingginya intensitas serangan tungro (Raga et al., 2004).
Tingkat infeksi awal penyakit tungro ditentukan oleh populasi vektor infektif yang migrasi ke pertanaman, sedangkan perkembangan serangan selanjutnya ditentukan oleh persentase infeksi awal dan kepadatan vektor generasi pertama. Terjadinya ledakan tungro umumnya terjadi dari sumber infeksi yang berkembang pada pertanaman yang tidak serempak. Persentae infektifitas vektor migran pada stadia awal pertanaman menyebabkan tingginya intensitas serangan tungro yang selanjutnya menjadi sumber infeksi bagi pertanaman di sekitarnya (Raga et al., 2004).
Faktor lingkungan berpengaruh terhadap terjadinya infeksi tungro baik bersifat umum maupun spesifik lokasi tertentu. Populasi wereng hijau pada musim kemarau lebih rendah dari pada musim hujan (Carino, 1980). Keberadaan wereng hijau sangat dipengaruhi oleh iklim terutama suhu yang berpengaruh terhadap daur hidup wereng hijau, pemerolehan virus (aqquisition feeding) dan penularan virus (inoculation feeding) (Hasanuddin, 1991). Curah hujan dan kelembaban relatif berpengaruh terhadap dinamika populasi wereng hijau (Siwi et al., 1987). Peningkatan intensitas serangan tungro seiring dengan meningkatnya populasi vektor infektif di lapangan.
PENGENDALIAN PENYAKIT TUNGRO
Ketersediaan faktor-faktor penye-bab terjadinya seranga tungro sangat bervariasi dari musim ke musim, dengan demikian waktu tanam dan varietas yang dipilih sangat erat hubungannya dengan timbulnya penyakit tungro (Muis dan Hasanuddin, 1985). Oleh karena itu pengendalian tungro harus dilakukan secara komprehensif dengan memperhatikan berbagai aspek seperti penyebaran virus tungro, fluktuasi populasi wereng hijau, perubahan kondisi lingkungan dan sosial ekonomi petani (Hasanuddin et al., 2001). Pengendalian terpadu yang mengintegrasikan berbagai komponen pengendalian secara sistematik dan harmonis dalam satu paket teknologi pengendalian tungro diharapkan dapat diterapkan pada segala kondisi lingkungan dan sosial ekonomi petani.
Oleh sebab itu maka diterapkan teknologi pengendalian tungro terpadu bertujuan untuk menghindarkan pertanaman dari serangan tungro (escape strategy) dengan komponen utama waktu tanam tepat, penggunaan varietas tahan dan pergiliran varietas tahan. Namun demikian teknologi ini kurang sesuai untuk daerah-daerah dengan pola tanam yang tidak serempak, maka strategi yang dikembangkan adalah pengendalian tungro dengan eliminasi RTSV. Diketahui bahwa RTSV memegang peranan penting dalam penularan virus tungro, maka dengan eliminasi RTSV akan menghambat atau mencegah penularan tungro dan diharapkan dapat diterapkan pada daerah dengan segala pola tanam (Widiarta et al., 2004).
1. Waktu Tanam Tepat
Waktu tanam tepat merupakan komponen pengelolaan hama terpadu yang telah memberikan dampak positif di Sulawesi Selatan (Manwan et al., 1987). Waktu tanam berhubungan erat dengan pola fluktuasi populasi wereng hijau. Waktu tanam tepat diidentifikasi berdasarkan pola fluktuasi populasi wereng hijau, keberadaan virus tungro dan curah hujan. Pola fluktuasi populasi wereng hijau di suatu tempat akan berbeda dari musim ke musim tergantung keadaan curah hujan sehingga akan terjadi puncak populasi pada waktu atau bulan tertentu (Sogawa, 1976). Waktu atau bulan-bulan dengan keberadaan virus tungro dan populasi wereng hijau tinggi merupakan ancaman akan terjadinya infeksi tinggi.
Oleh sebab itu usaha pengendalian tungro dilakukan dengan menanam sebelum terjadi kepadatan populasi yang tinggi. Tingginya serangan tungro dapat disebabkan oleh tingginya tekanan vektor. Semakin tinggi populasi vektor maka semakin tinggi intensitas serangan tungro (Tiongco et al., 1983). Pada saat populasi wereng hijau tinggi, pertanaman telah masuk fase generatif sehingga mengurangi tekanan infeksi virus (Hasanuddin, 2002), karena semakin muda tanaman terinfeksi maka semakin besar persentase kehilangan hasil yang ditimbulkan (Anonim, 1992). Penerapan pengendalian dengan waktu tanam tepat memerlukan pola tanam yang serempak.
2. Penggunaan Varietas Tahan
Komponen yang paling penting dan mudah di lakukan dalam strategi pengendalian tungro adalah penggunaan varietas tahan (Sama, 1985), bahkan paling efektif dalam usaha pengendalian tungro pada berbagai ekosistem di Indonesia (Daradjat et al., 1999). Varietas tahan sangat efektif dan efisien mengendalikan tungro karena dapat mengurangi peran RTSV sehingga wereng hijau tidak dapat menularkan virus batang (Anonim, 2003). Ketahanan varietas terhadap virus tungro akan menekan intensitas serangan dan ketahanan terhadap vektor akan menekan penularan tungro. Peningkatan proporsi varietas tahan di suatu hamparan berpengaruh nyata dalam mengurangi keberadaan tungro (Holt, 1996). Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa penanaman varietas tahan wereng hijau terbukti efektif menurunkan keberadaan tungro (Sama et al., 1991).
Beberapa varietas tahan virus tungro dan wereng hijau telah dilepas untuk mengendalikan tungro seperti Tukad Unda, Tukad Petanu, Tukad Balian, Kalimas dan Bondoyudo (Daradjat et al., 2004). Namun ketahanan varietas bersifat spesifik lokasi yang berarti bahwa suatu varietas menunjukkan tahan terhadap strain virus di daerah tertentu tetapi tidak tahan terhadap strain virus di daerah lain (Baehaki dan Suharto, 1985). Beberapa varietas seperti Tukad Petanu dianjurkan di seluruh daerah endemis tungro, Tukad Unda terbatas untuk Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan dan Tukad Balian hanya dapat dikembangkan di Bali dan Sulawesi Selatan (Widiarta et al., 2003).
Kenyataan yang terjadi bahwa tingkat kesukaan petani terhadap suatu varietas berbeda-beda pada masing-masing daerah. Dasar pertimbangannya adalah kualitas rasa dan potensi hasil tinggi walaupun varietas tersebut peka terhadap tungro. Oleh karena itu perakitan varietas tahan dari sumber tetua tahan virus dengan varietas yang disukai di suatu daerah perlu dilakukan untuk memperoleh varietas tahan spesifik lokasi yang dapat mengurangi serangan tungro, mendukung dilakukannya pergiliran varietas.
3. Pergiliran Varietas
Pergiliran varietas tahan akan memperpanjang durasi ketahanan varietas dan mengurangi tekanan seleksi wereng hijau. Pergiliran varietas memerlukan informasi tingkat adaptasi wereng hijau terhadap varietas tahan (Widiarta et al., 2004). Varietas tahan tidak boleh ditanam terus-menerus karena dapat meningkatkan tekanan seleksi vektor dan memungkinkan berkembangnya wereng hijau biotipe baru (Sama, 1985; Daradjat et al., 1999). Koloni wereng hijau sangat mudah beradaptasi terhadap varietas tahan bila telah berhasil terbentuk hingga enam generasi (Siwi dan Suzuki, 1991), bahkan dapat terjadi setelah generasi ke-3 dan generasi selanjutnya, khususnya generasi ke-6, aspek biologi wereng hijau tidak berbeda nyata apabila berada dalam varietas peka (Taulu et al., 1987). Telah dilaporkan pula bahwa durasi ketahanan varietas terhadap wereng hijau sekitar 2 generasi siklus hidup wereng hijau (Heinrich et al., 1982).
Pergiliran varietas tahan vektor berdasarkan gen tahan yang dimiliki oleh setiap varietas maka terdapat empat golongan yaitu T0-T4. Golongan T0 (tidak memiliki gen tahan) adalah varietas IR5, Pelita, Atomita, Cisadane, Cikapundung dan Lusi. Varietas yang tergolong T1 (memiliki gn tahan Glh 1) adalah IR20, IR30, IR26, IR46, Citarum dan Serayu. Varietas yang tergolong T2 (memiliki gen tahan Glh 6) adalah IR32, IR38, IR36, IR47, Semeru, Asahan, Ciliwung, Krueng Aceh dan Bengawan Solo. Varietas yang tergolong T3 (memiliki gen tahan Glh 5) adalah IR50, IR48, IR54, IR52 dan IR64. Sedangkan varietas yang tergolong T4 (memiliki gen tahan Glh 4) adalah IR66, IR70, IR72, IR68, Barumun dan Klara (Widiarta et al., 2004).
Kenyataan yang terjadi bahwa, karena lambatnya proses adopsi varietas tahan tungro maka dalam kondisi aman atau cukup lama tidak ada serangan tungro di daerah endemis maka petani cenderung menanam varietas yang tidak tahan tungro (Daradjat et al., 2004). Varietas Ciliwung telah ditanam secara meluas dan terus menerus sejak dilepas tahun 1988 (Fagi et al., 2002). Varietas tersebut termasuk tahan wereng hijau T2 dengan gen tahan Glh-6. Pada tahun 1996, Ciliwung masih tahan terhadap wereng hijau, namun saat ini sudah tidak tahan lagi (Siwi et al., 1999). Petani memilih Ciliwung dan menanamnya terus-menerus karena sesuai dengan keinginan pasar, sedangkan varietas tahan seperti IR66 dan IR74 kurang disenangi. Oleh karena itu sosialisasi varietas tahan tungro ke seluruh daerah endemis maupun non endemis perlu dilakukan melalui uji multilokasi ataupun diseminasi penampilan varietas untuk memperoleh varietas tahan tungro spesifik lokasi dan sesuai dengan permintaan pengguna.
4. Kultur Teknis
Pengelolaan tanaman terpadu dalam pengendalian tungro meliputi beberapa komponen yaitu tanam serempak, sebar benih sebelum puncak kepadatan populasi wereng hijau, sebar benih setelah lahan dibersihkan, tanam dengan cara legowo dan manipulasi faktor lingkungan (Muis et al., 1990). Tungro akan selalu ada pada daerah dengan pola tanam tidak serempak dan penanaman sepanjang tahun. Pola tanam serempak akan memutus siklus perkembangan vektor dan keberadaan sumber inokulum. Serangan tungro tidak akan terjadi apabila tidak tersedia sumber inokulum walaupun ditemukan adanya vektor dan sebaliknya walaupun kepadatan populasi vektor sangat rendah namun apabila tersedia sumber inokulum maka akan terjadi serangan tungro. Vektor dewasa pada pola tanam tidak serempak lebih aktif memencar dibandingkan pada pola tanam serempak (Aryawan et al., 1993 dalam Widiarta et al., 2004).
Waktu hambur benih yang tepat juga merupakan strategi awal menghindari infeksi virus. Oleh karena itu eradikasi sumber inokulum dan pembersihan lahan sebelum persemaian perlu dilakukan. Diketahui bahwa virus tungro dapat berkembang pada beberapa jenis gulma seperti C. rotundus, Leptochloa chinensis, Jussiaea repens Trianthema portulacastrum, Monochoria vaginalis dan Phylantus niruri (Widiarta et al., 2004). Eradikasi dilakukan tanpa memperhatikan keberadaan vektor apabila telah ditemukan sumber inokulum khusunya pada tanaman stadia muda di bawah umur 6 minggu setelah tanam (MST). Hambur benih sebelum terjadi peningkatan populasi vektor akan mengurangi terjadinya infeksi virus di persemaian. Hasil penelitian Sumardiyono et al., (2004), menunjukkan bahwa peningkatan intensitas serangan tungro terjadi sejak tiga minggu pertama yang merupakan hasil penularan dari persemaian. Satu atau dua minggu berikutnya intensitas serangan tungro tetap atau sedikit meningkat setelah terjadi penularan sekunder dari sumber inokulum yang telah ada dan pada minggu-minggu selanjutnya akan terjadi peningkatan lagi.
Penanaman dengan cara legowo dua baris atau empat baris dapat menekan pemencaran wereng hijau. Mengatur ketersediaan air merupakan bentuk manipulasi lingkungan yang mempengaruhi penyebaran tungro. Kondisi pertanaman yang kering akan merangsang pemencaran wereng hijau yang akan memperluas penyebaran tungro (Widiarta et al., 2004).
5. Penggunaan Insektisida
Penggunaan insektisida dalam mengendalikan tungro bertujuan untuk eradikasi vektor pada pertanaman yang terserang tungro agar tidak menyebar ke pertanaman lain dan mencegah terjadinya infeksi virus pada pertanaman sehat. Insektisida sistemik bentuk butiran lebih efektif dalam mencegah infeksi tungro oleh vektor seperti carbofuran, aminosulfan dan UC54229 (Habibuddin et al., 1987). Insektisida imidacloprit atau tiametoksan dapat digunakan pada persemaian untuk manghambat penularan tungro oleh vektor. Penggunaan insektisida hayati dengan jamur entomopatogen diketahui dapat mengurangi dan menekan pemencaran vektor. Jamur Beauveria bassiana dan Metharizium anisopliae dapat menekan pemencaran dan menyebabkan mortalitas vektor dengan masa inkubasi yang berbeda (Widiarta et al., 2004). Aplikasi insektisida pada satu hari setelah tanam (HST) dan 30 HST dapat mengendalikan populasi wereng hijau dan mengurangi intensitas serangan tungro (Manwan et al., 1987).
Namun demikian insektisida mempunyai kemampuan terbatas dalam mengendalikan wereng hijau infektif. Diketahui bahwa masa inokulasi (inoculation feeding) virus tungro sangat pendek yaitu 7 menit waktu tercepat dan 30 menit waktu terlambat sehingga sebelum wereng hijau mati karena insektisida, virus telah ditularkan (Ling, 1968 dalam Widiarta et al., 2004). Aplikasi insektisida dengan daya bunuh cepat hanya efektif menekan keberadaan tungro pada pertanaman padi dengan pola tanam serempak karena terbatasnya wereng hijau migran yang infektif (Widiarta et al., 1998 dalam Widiarta et al., 2004). Yang perlu diperhatikan dalam aplikaisi insektisida dalam pengendalian tungro adalah ketepatan bahan aktif yang dipakai, ketepatan dosis yang digunakan, ketepatan waktu aplikasi dan ketepatan dalam perhitungan ekonomi.
KESIMPULAN
Pengendalian tungro harus dilakukan dengan mengintegrasikan seluruh komponen pengendalian secara terpadu yang meliputi waktu tanam tepat, penggunaan varietas tahan, pergiliran varietas, kultur teknis dalam pengelolaan tanaman terpadu dan penggunaan insektisida yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA