Oleh Aris Kurniawan
.
BAB I : PENDAHULUAN
Dinamika pada era milenium III ini ditandai oleh fenomena globalisasi. Fenomena ini membuat banyak negara di dunia, khususnya negara berkembang dan miskin, dihinggapi oleh kecemasan dan kepanikan. Perkembangan masyarakat atau sistem dunia dan modernisasi kian tak terbendung. Fenomena kekuatan globalisasi yang umumnya dihasilkan dan dipetik manfaatnya oleh negara maju, menjadi tantangan yang harus dihadapi bagi negara-negara berkembang.
Menghadapi keadaan tersebut, hanya dua pilihan yang dapat diambil. Pilihan itu ialah menyerah dan membiarkan diri tergerus oleh arus globalisasi, atau secara cerdik mengambil manfaat dari proses globalisasi. Jika pilihan kedua yang diambil, maka kita harus memiliki kesiapan memasuki the world systems tersebut. Itu berarti, perlu dilakukan persiapan dan penataan berbagai perangkat yang dimiliki agar dapat menghadapi era tersebut dengan baik. Kunci kebertahanan dan keberjayaan suatu bangsa atau negara dalam era of human capital atau knowledge society ini terletak pada kualitas sumber daya manusia.
Berbagai tantangan zaman tersebut mau tidak mau berpengaruh terhadap berbagai sektor kehidupan, termasuk pendidikan. Semestinya, pendidikan berada di garda terdepan dalam mengantisipasi dan merespon perubahan yang sedang dan akan terjadi. Namun, kenyataan kerap menunjukkan bahwa pendidikan kerap diperlakukan sekedar faktor pendukung belaka. Keadaan ini terutama terjadi di negara miskin/berkembang yang menerapkan kebijakan pendidikan sebagai trickle down effect dari bidang perekonomian. Akibatnya, dunia pendidikan kerap kedodoran, idiot, atau bahkan mati rasa terhadap perubahan yang terjadi, stagnan atau reaktif, dan hanya menghasilkan produk-produk didik yang usang dan tak berdaya dalam menghadapi derasnya peru-bahan zaman. Keadaan seperti itu mengakibatkan terjadinya krisis pendidikan.
Krisis dalam pendidikan memang tidak bisa dihindari. Bahkan ia akan selalu terjadi. Betapa pun keadarnya. Tidak hanya di negara-negara terbelakang/ berkembang, bahkan juga di negara-negara maju. Krisis pendidikan itu tak hanya berkenaan dengan sistem, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan itu sendiri. Pemicunya tidak semata bersumber dari persoalan domestik, tetapi juga masalah-masalah internasional lainnya, seperti perubahan lingkungan, perubahan perkembangan berpikir dan kebijakan, serta perubahan pemikiran dalam pendidikan (Coombs, 1985).
Berbagai fenomena perkembangan zaman itu mau tidak mau akan berpengaruh terhadap/dan harus diakomodasi oleh dunia pendidikan. Perubahan yang sedang dan akan terjadi harus menjadi pijakan bagi seluruh stake holders pada bidang pendidikan untuk menata kembali arah dan eksistensinya. Sebab, bila tidak, maka pendidikan di Indonesia ini hanya akan menghasilkan manusia-manusia berijasah, tetapi lemah tak berdaya dan tak berarti apa-apa. Jika itu terjadi, maka tepatlah apa yang dikatakan Ivan Illich bahwa sekolah telah menemui kematiannya. Dan produk didik hanyalah ‘mayat-mayat berjalan’ yang tak memiliki energi masa depan. Sungguh mengerikan bila hal itu benar-benar terjadi.
Dengan memperhatikan karakteristik pendidikan Indonesia serta tantangan yang dihadapinya, maka dapatlah digambarkan tuntutan yang berkenaan dengan hasil belajar peserta didik, institusi pendidikan di Indonesia, serta pengelolaan pendidikan di Indonesia. Tujuan ini kemudian dirumuskan dalam sebuah kurikulum.
Kurikulum merupakan elemen strategis dalam sebuah layanan program pendidikan. Ia adalah ’cetak biru’ (blue print) atau acuan bagi segenap pihak yang terkait dengan penyelenggaraan program. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa kurikulum yang baik semestinya akan menghasilkan proses dan produk pendidikan yang baik. Sebaliknya, kurikulum yang kurang baik akan membuahkan proses dan hasil pendidikan yang kurang baik juga.
Melihat betapa penting peran kurikulum dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk merevisi, mengembangkan dan menyempurnakan desain kurikulum pendidikan Indonesia yang bisa menghasilkan proses dan produk pendidikan yang bermutu dan kompetitif. Usaha penyempurnaan kurikulum ini sudah dimulai sejak Indonesia memprokalimirkan kemerdekaanya. Sampai saat ini, tercatat 10 kurikulum pernah dikembangkan dan dilaksanakan dalam sistem pendidikan nasional.
Namun fakta dilapangan menunjukkan bahwa sampai sekarang pendidikan kita masih compang-camping justru karena sering terjadi perubahan kurikulum. Setiap pergantian menteri maka pasti terjadi perubahan yang buntutnya malah membuat bingung pelaku pendidikan. Padahal kurikulum seharusnya tidak boleh berubah secara radikal, ibaratnya pejabat berikutnya tinggal melanjutkan apa yang telah ditinggalkan oleh pendahulunya, tetapi mungkin karena rasa gengsi yang salah kaprah dari beliaunya sehingga agak malu hati jika tidak melakukan perubahan, alias ingin disebut meninggalkan jasa kelak. Sedikit panas dan memerahkan telinga memang tapi inilah kenyataan.
Fakta terkini tentang perubahan kurikulum adalah pergantian dari KBK ke KTSP. Pergantian kurikulum ini melahirkan beberapa masalah yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama ketidaksiapan guru sebagai pelaksana di lapangan dalam menjalankan kurikulum yang berbuah pada tidak maksimalnya pada proses maupun hasil pendidikan. Kedua standar isi pada KTSP yang yang secara konseptual masih perlu untuk direvisi atau diperjelas, karena menimbulkan kerancuan pemahaman yang pada akhirnya akan menyulitkan pengembangan kurikulum itu sendiri.
Kedua masalah tersebut akan dikaji dan dikupas lebih mendalam, bukan untuk mencari siapa yang salah dan paling bertanggung jawab atas kesalahan itu. Namun, untuk memahami sumber permasalahan yang muncul dan mencoba memberikan solusi cerdas yang bisa digunakan untuk bisa segera lepas dari ‘lingkaran setan’ masalah kurikulum yang terus berlangsung selama ini.
BAB II: KAJIAN TEORITIS
A. Konsep Kurikulum
Konsep dasar tentang kurikulum dan esensi pendidikan yang dimiliki para pengembang kurikulum pendidikan pada tingkat satuan pendidikan ataupun tingkat nasional akan berpengaruh terhadap formula kurikulum yang dirancang untuk satuan pendidikan. Program belajar atau kurikulum yang dirancang untuk peserta didik pendidikan di masa depan harus mempertimbangkan esensi dan fungsi pokok pendidikan dalam pengembangan kualitas sumber daya manusa yang diperlukan untuk kehidupan mereka di masyarakat, dan sekaligus mempertimbangkan karakteristik perbedaan kelompok peserta didik di masing-masing jenis dan jenjang satuan pendidikan. Konsep dasar yang komprehensif dan luas tentang fungsi pendidikan tidak hanya dipergunakan untuk semua masyarakat, tetapi hendaknya tertuju pada suatu kajian tentang praktek dan kebijakan pendidikan pada tingkat awal dari semua negara yang memberikan suatu landasan yang mantap bagi praktek belajar peserta didik di masa depan dan keterampilan hidup (life skills) yang esensial untuk menghidupi sebuah kehidupan yang konstruktif dalam masyarakat. Dalam menghadapi harapan dan tantangan masa depan yang lebih baik, pendidikan dipandang sebagai esensi kehidupan, baik bagi perkembangan pribadi maupun perkembangan masyarakat. Misi pendidikan adalah memungkinkan setiap orang, tanpa kecuali, mengembangkan sepenuhnya semua bakat individu, dan mewujudkan potensi kreatifnya, termasuk tanggung jawab terhadap hidup sendiri, dan pencapaian tujuan pribadi. Misi ini akan dapat tercapai dengan melalui strategi yang disebut belajar sepanjang hidup (learning throughout life), yang dipandang sebagai detak jantung dari masyarakat.
Konsep ini memenuhi tantangan yang ditimbulkan oleh sebuah dunia yang berubah dengan cepat. Konsep ini bukanlah konsep baru, karena sebelumnya telah ada konsep pendidikan sepanjang hidup, yang menekankan perlunya bagi orang untuk kembali ke pendidikan bukan persekolahan, agar berhubungan dengan situasi baru yang timbul dalam kehidupan pribadi mereka dan dunia kerja mereka. Kebutuhan tersebut masih tetap dirasakan, dan bahkan menjadi lebih kuat. Hanya dengan memenuhi kebutuhan itulah, setiap individu belajar bagaimana belajar, to learn how to learn.
Dengan mengikuti gagasan konsep belajar sepanjang hidup, memberikan tekanan yang lebih besar pada salah satu dari empat pilar yang diusulkan dan digambarkan sebagai dasar pendidikan, yaitu: belajar hidup bersama (learning to live together). Dalam pola ini pendidikan dilakukan dengan mengembangkan suatu pemahaman tentang orang lain dan sejarah, tradisi, dan nilai-nilai spiritual mereka, dan bertopang pada landasan tersebut, menciptakan suatu semangat baru yang dibimbing oleh kesadaran tentang resiko atau tantangan masa depan, akan mendorong orang melaksanakan proyek bersama atau mengelola konflik yang pasti terjadi, dengan suatu cara yang bijaksana dan damai.
Untuk itu, maka langkah pendidikannya adalah pilar yang pertama adalah belajar mengetahui (learning to know). Adanya perubahan yang cepat yang dibawa oleh kemajuan ilmiah dan norma-norma baru tentang kegiatan ekonomi dan sosial, tekanan pada belajar untuk hidup bersama dipadukan dengan suatu pendidikan umum yang cukup luas dengan melalui belajar memperoleh pengetahuan sebagai alat untuk memahami hidup.
Belajar bekerja (learning to do) adalah pilar pendidikan yang selanjutnya harus dipelajari oleh peserta didik pendidikan dasar. Disamping belajar bekerja melakukan sesuatu pekerjaan, secara lebih umum perlu pula menguasai kemampuan yang memungkinkan orang mampu menghadapi berbagai situasi yang sering tidak dapat diduga sebelumnya, dan bekerja dalam berbagai tim.
Akhirnya, pilar pendidikan yang keempat yang harus dipelajari peserta didik pendidikan dasar adalah belajar menjadi dirinya sendiri (learning to be). Hal ini berarti bahwa program kurikulum pendidikan dasar harus memfasilitasi peserta didik untuk belajar untuk lebih bebas dan mempunyai pandangan sendiri yang disertai dengan rasa tanggung jawab pribadi yang lebih kuat untuk mencapai tujuan hidup pribadinya atau tujuan bersama sebagai anggota masysrakat.
Kecenderungan untuk menyediakan program pendidikan atau kurikulum yang diorientasikan untuk orang dan kelompok tertentu, terutama pada institusi pendidikan yang diklaim oleh masyarakat sebagai sekolah “favorit”, perlu dihindari secara dini. Apabila dibiarkan, maka kondisi ini dapat berdampak pada perlakuan yang diskriminatif terhadap anak bangsa. Di samping itu masih banyak anak usia sekolah yang belum terjangkau oleh satuan pendidikan dasar yang tersedia. Atau kalaupun sekolah tersedia dalam jarak yang terjangkau, kendala-kendala psikologis dan budaya masih menghalangi mereka untuk memasuki sekolah. Oleh karena itu, perlu diakomodasi ide-ide “pendidikan untuk semua” yang antara lain membuat kesempatan bagi semua siswa untuk mengakses pendidikan di manapun dan kapanpun. Disamping itu, perlu diciptakan program belajar yang dapat mengakomodasi kebutuhan anak dari berbagai strata dan latar belakang sosial dan budaya.
Untuk mencapai tujuan pendidikan yang bermutu untuk seluruh lapisan peserta didik pendidikan dasar, maka program kurikulum harus dirancang sebagai keseluruhan dari penawaran lembaga pendidikan (sekolah) termasuk kegiatan di luar kelas/sekolah dengan rangkaian mata pelajaran dan kegiatan yang terpadu. Setiap satuan pendidikan memperoleh identitas atas dasar cara mereka menjalankan program-program kurikulum yang dikembangkannya. Faktor-faktor yang menentukan isi tiap program harus muncul jauh di luar batas-batas sekolah/satuan pendidikan. Faktor-faktor itu timbul melalui kekuatan-kekuatan sosial, kultural, ekonomi, dan konsep politik. Program kurikulum pendidikan suatu sekolah/satuan pendidikan harus mewakili keseluruhan sistem pengaruh yang membangun lingkungan belajar bagi peserta didik. Program itu sendiri terdiri atas unsur-unsur tertentu yang mencakup maksud dan tujuan, kurikulum, metode pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar peserta didik.
Segi kurikulum dari program pendidikan harus meliputi hal-hal esensial yang dibutuhkan peserta didik, seperti: bidang-bidang studi apa yang akan disajikan; untuk maksud-maksud khusus apa bidang studi tersebut disajikan; bagaimana bidang studi tersebut hendak disusun dan dihubung-hubungkan; dan bagaimana bidang studi tersebut diajarkan kepada peserta didik. Dengan kata lain, kurikulum pendidikan dasar harus dikembangkan secara terpadu dan berlandaskan kepada pengembangkan kemampuan pemecahan masalah kehidupan yang dikuasai peserta didik
Secara konseptual, sekurang-kurangnya kurikulum pendidikan masa depan perlu mangakomodasikan secara sistematis dimensi-dimensi pengembangan peserta didik sebagai berikut:
1. Pengembangan individu – aspek-aspek hidup pribadi (dimensi pribadi):
a. Religi: kesadaran beragama
b. Fisik: kesehatan jasmani dan pertumbuhan
c. Emosi: kesehatan mental dan stabilitas emosi
d. Etika: integritas moral
e. Estétika: pengejaran kultural dan rekreasi
2. Pengembangan cara berpikir dan teknik memeriksa – kecerdasan yang terlatih (dimensi kecerdasan):
a. Penguasaan pengetahuan: konsep-konsep dan informasi
b. Komunikasi pengetahuan: keterampilan untuk memperoleh dan menyampaikan informasi
c. Penciptaan pengetahuan: cara pemeriksaaan, diskriminasi, dan imaginasi.
d. Hasrat akan pengetahuan: kesukaan akan belajar.
3. Penyebaran warisan budaya – nilai-nilai civic dan moral bangsa (dimensi sosial):
a. Hubungan antar manusia: kerjasama, toleransi
b. Hubungan individu-negara: hak dan kewajiban civic, kesetiaan dan patriotisme, solidaritas nasional
c. Hubungan individu-dunia: hubungan antar bangsa-bangsa, pemahaman dunia.
d. Hubungan individu-lingkungan hidupnya: ekologi.
4. Pemenuhan kebutuhan sosial yang vital dan menyumbang kepada kesejahteraan ekonomi, social, dan politik – lapangan teknik (dimensi produktif):
a. Pilihan pekerjaan: informasi dan bimbingan
b. Persiapan untuk bekerja: latihan dan penempatan
c. Rumah dan keluarga: mengatur rumah tangga, ketrampilan mengerjakan sesuatu sendiri, perkawinan
d. Konsumen: membeli, menjual, investasi.
Untuk mendukung keterlaksanaan program pendidikan tersebut di atas, perlu dikembangkan suatu masyarakat belajar (learning society) pada setiap satuan pendidikan dasar. Hal tersebut dimungkinkan, karena setiap aspek kehidupan, baik pada tingkat individual maupun sosial, menawarkan kesempatan untuk belajar dan bekerja. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum pendidikan dasar masa depan perlu mendorong dan memfasilitasi penggalian potensi pendidikan dari media teknologi informasi modern, dunia kerja atau kultural, dan pengisian waktu luang.
Selain itu, perlu dikembangkan pula kebiasaan peserta didik untuk memanfaatkan setiap kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri, baik yang terkait dengan apa yang meraka pelajari di satuan pendidikannya, maupun yang terkait dengan kehidupan mereka sehari-hari. Dengan formula program pendidikan (kurikulum) seperti yang diungkapkan tersebut di atas, maka diharapkan akan tercipta satuan pendididikan yang menumbuhkan keinginan peserta didiknya untuk belajar maupun kesenangan dalam belajar, kemampuan untuk belajar bagaimana belajar, dan keingin-tahuan intelektual. Dengan cara itu, terbayanglah akan hadirnya suatu masyarakat masa depan dimana setiap individunya akan menjadi guru dan juga pelajar sekaligus.
B. Prinsip Pengembangan Kurikulum
1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Prinsip ini sangat penting, karena hakikat fungsi pendidikan adalah memberdayakan dan mengembangkan multi potensi peserta didik..
2. Beragam dan terpadu atau menyeluruh (holistik).
Prinsip ini sangat penting, namun rumusan dalam dokumen perlu dipertajam agar pihak sekolah mudah menerjemahkannya. Prinsip keragaman karakteristik atau potensi peserta didik hendaknya diarahkan bahwa penyusunan KTSP di samping memiliki muatan wajib juga harus mengakomodasi bakat/hobi peserta didik melalui muatan pengembangan diri. Keragaman kecerdasan hendaknya diakomodasi melalui variasi program dan dibarengi dengan muatan pendidikan nilai dan moral yang berlaku di masyarakat dan budaya bangsa Indonesia. Dengan kata lain keragaman kecerdasan hendaknya mencakup bukan hanya kecerdasan intelektual (IQ = Intelegency Quotion), tetapi juga diakomodasikan kecerdasan emosi (EQ = Emotional Quotion), dan kecerdasan spiritual (SQ = Spiritual Quotion) guna pembentukan dan pembinaan pribadi peserta didik seutuhnya. Program akselerasi diperuntukan bagi peserta didik yang memiliki kecerdasan tinggi, dan pengadaan remediasi bagi peserta didik yang memiliki kecerdasan rendah, tetapi substansi isi pelajaran tidak didegradasi. Keragaman jenjang pendidikan diarahkan bahwa tingkat kompetensi lulusan satuan pendidikan atau kompetensi lulusan mata pelajaran yang dituntut pada satuan pendidikan dasar (SMP) harus lebih tinggi dan lebih luas daripada pada pendidikan dasar (SD). Demikian pula tingkat kompetensi yang harus dicapai pada tingkat SMP memberikan landasan bagi tingkat kompetensi satuan pendidikan menengah (SMA/MI). Rumusan prinsip pengembangan kurikulum (KTSP) yang berkaitan dengan keragaman kondisi daerah perlu diarahkan adanya
muatan lokal yang dipilih dengan tepat sesuai dengan sumberdaya yang feasible dilaksanakan di daerah yang bersangkutan.
Penerapan prinsip keterpaduan rumusannya perlu diarahkan bahwa KTSP
yang dikembangkan perlu memperhatikan keterkaitan diantara substansi yang terdapat dalam muatan wajib, muatan lokal maupun pengembangan diri, sehingga satu dengan yang lainnya saling memperkuat dan saling melengkapi. Keterpaduan juga perlu diartikan sebagai kesinambungan substansi mata pelajaran sejenis diantara tingkatan kelas dalam lingkup satuan pendidikan. Kesinambungan substansi tersebut perlu memperhatikan asas spiral.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Prinsip pengembangan kurikulum ini dipandang sangat penting juga. Namun dalam dokumen Standar Isi ini perlu ditekankan bahwa KTSP harus menampilkan kemutakhiran mata ajaran dan kemutakhiran isi, sehingga peserta didik dapat menguasai iptek dan seni di zamannya; inilah pentingnya setiap isi hendaknya bermuatan nilai intelektual, yaitu mengembangkan berpikir kritis terhadap isi yang dipelajari. Ilmu berkembang karena setiap ilmuwan mengkritisi setiap ilmu yang ada, menemukan kelemahan yang ada, lalu mencari solusi bagi pengembangan itu selanjutnya. Bahkan menggali makna apalagi setelah mempelajari isi mata pelajaran tersebut, mungkinkah dapat memetik mata pelajaran nilai sosio-politik, nilai pendidikan, dan nilai religinya untuk bekal hidup peserta didik sebagai warga masyarakat dan warga negara yang baik. Prinsip yang dituangkan dalam dokumen standar Isi menimbulkan interpretasi terlalu mendorong untuk mengikuti perkembangan high technology, padahal local technology atau teknologi tepat guna juga akan memberi manfaat untuk dipelajari di sekolah. Selain itu perlu disadari bahwa sains bayinya teknologi, karena merupakan terapan praktis bagi kehidupan manusia. Berbagai temuan teknologi canggih berkat belajar dari pengembangan kandungan pendidikan dari sains, seperti pendidikan teknik arsitektur, sistem jalan raya, seni rupa batik/motif dan sebagainya.
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Rumusan prinsip relevansi ini sudah reatif tepat karena ketidak berhasilan pendidikan selama ini terlalu mempertahankan paradigma education through science bukan science through education atau education for life yang memerankan pendidikan sebagai perkakas untuk memberdayakan potensi peserta didik yang mampu memecahkan permasalahan kehidupan yang dihadapinya. Pengembangan kompetensi pribadi, kompetensi berpikir, dan kompetensi sosial perlu ditegaskan bahwa kompetensi tersebut tidak ditampilkan berupa mata pelajaran melainkan implikasi dari mata pelajaran, sehingga pelatihan dalam mata pelajaran perlu dimuati aspek aplikasi dengan diberi waktu yang memadai.
5. Menyeluruh dan Berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan, dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan
6. Belajar Sepanjang Hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memerhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
7. Seimbang Antara Kepentingan Nasional dan Kepentingan Daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memerhatikan kepentingan nasional dan
kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan
memberdayakan sejalan dengan motto Bhinneka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
BAB III: TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Penyempurnaan bagi setiap kebijakan, pada hakikatnya merupakan suatu perubahan, yang seharusnya dilakukan dari waktu ke waktu. Namun, setiap penyempurnaan seringkali disikapi sebagai hal baru yang terkadang dapat menimbulkan perbedaan persepsi bagi setiap pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan. Fullan (2001) mengatakan, akan timbul perbedaan persepsi antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan untuk setiap perubahan pada sektor pendidikan. Dari sisi pembuat kebijakan, terdapat asumsi bahwa pada umumnya guru-guru sebagai pelaksana kebijakan cenderung kurang menyukai adanya perubahan. Sebaliknya, guru-guru cenderung meyakini bahwa perubahan dimaksud adalah untuk kepentingan pembuat kebijakan dan tidak sepenuhnya didasarkan atas filosofi yang kuat dan jelas mengenai perlunya perubahan. Guru-guru juga meyakini bahwa umumnya pembuat kebijakan kurang memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat dilaksanakannya proses pembelajaran.
Setelah mendapatkan dasar pemahaman yang komprehensif terhadap kurikulum dan bagaimana prinsip pengembangannya, dapat ditarik satu benang merah bahwa berbagai masalah yang muncul dalam pendidikan di Indonesia disebabkan, salah satunya, oleh kerapuhan bangunan kurikulum baik dari segi desainnya maupun pada taraf implementasinya.
Dari segi desain kurikulum, terjadi perbedaan atau kesenjangan antara konsep kurikulum secara umum dengan dokumen kurikulum (norma) yang diberlakukan. Sedangkan pada proses implementasi, perbedaan antara konsep, norma kurikulum sangat berbanding terbalik dengan fakta yang ada di lapangan.
A. Kesenjangan antara konsep dan norma (dokumen kurikulum)
Sebuah studi menemukan beberapa kelemahan yang cukup mendasar dalam dokumen kurikulum tingkat satuan pendidikan yang saat ini diimplementasikan di Indonesia. kelemahan tersebut disebabkan karena adanya penafsiran yang salah pada teori yang ada sehingga menyebabkan kerancuan dan ketidakjelasan dalam perumusan dokumen.
Beberapa kelemahan terkait dokumen kurikulum tersebut adalah: a) muatan lokal, b) program pengembangan diri, c) Ujian Nasional.
a. Muatan lokal
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2004 Pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat Muatan Lokal.
Menurut Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah terbitan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) tahun 2006, Muatan Lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada, atau materinya terlalu banyak sehingga harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Substansi mata pelajaran muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan.
Namun dalam perumusanny, banyak sekali panduan mengenai pelaksanaan pembelajaran yang tidak sesuai dengan konsep muatan local yang sebenarnya. Hal ini tentu menyebabkan pendangkalan makna muatan local itu sendiri. contoh dari kasus ini adalah sebagaimana yang ditemukan dalam panduan tentang penyusunan muatan local oleh direktorat Sekolah Mengah Kejuruan (SMK). Mata pelajaran muatan lokal untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), lebih menitikberatkan pada pengembangan kompetensi yang dapat mendukung ketercapaian kompetensi fungsional (‘produktif’) sesuai dengan program keahlian. Hal ini berarti bahwa pengembangan substansi muatan lokal lebih berorientasi pada kompetensi kejuruan. Padahal, batasan yang diberikan di dalam Permendiknas lebih bersifat universal dan mengacu pada pengembangan manusia seutuhnya.
Bersadarkan kajian tersebut di atas, maka harus dipahami bahwa muatan lokal bukanlah nama suatu mata pelajaran tertentu, tetapi merupakan kelompok mata pelajaran atau mata pelajaran yang dikaitkan dengan daerah atau lingkungan tempat tinggal peserta didik. Kemasan mata pelajaran mulok harus mempertimbangkan manfaat untuk peserta didik bukan sebaliknya. Pengenalan daerahnya penting sehingga dia tahu potensi daerahnya, sehingga peserta didik tahu apa yang akan dia kerjakan di masa setelah dia lulus nantinya. Tetapi jangan salah kaprah, sebab banyak orang yang keliru memilih materi mulok, bukan bermanfaat malah menjadi beban.
Salah satu contoh umpamanya, apabila pada daerah itu banyak penenun batik, maka Menenun Batik dijadikan mulok, atau apabila pada suatu daerah terdapat banyak pabrik keramik, maka pengelolaan dan pembuatan keramik menjadi muloknya.
b. Pengembangan diri
Dalam struktur kurikulum pengembangan diri dikemas dalam Program Bimbingan Konseling dan ektra kurikuler. Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik.
Kajian dilapangan menunjukkan bahwa Implementsi Pengembangan diri pelaksanaannya masih parsial, dan belum terintegrited dengan program Intra. Untuk terpadunya kegiatan pengembangan diri, maka perlu disusun Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan diri peserta didik melalui antara lain ; Mengintegrasikan kedalam setiap mata pelajaran dan atau dalam bentuk SKKS ( Satuan Kredit Kegiatan Kesiswaan ). SKKS adalah satuan kredit kegiatan kesiswaan dalam jangka waktu tertentu yang diprogramkan untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri peserta didik sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik serta merupakan bentuk pengakuan sekolah.
c. Ujian Nasional
Lulus Ujian Nasional merupakan dambaan bagi setiap siswa. Tetapi kenapa ujian nasional itu terbatas kepada tiga mata pelajaran saja, padahal seseorang yang pandai akuntansi atau agama misalnya dia bisa berkiprah di masyarakat . Hanya disebabkan tidak lulus ujian bahasa Indonesia atau matematika, atau bahasa Inggris dia harus menelan pel pahit harus tidak lulus ujian Nasional.
Kalau untuk melihat standar mutu hanya dengan melihat hasil ujian nasional tanpa dikaitkan dengan kelulusan, yang notabene hanya melibatkan beberapa mata pelajaran saja, maka terjadi satu sentimen negative terhadap mataplajaran yang lain. Ada anggapan bahwa mapel selain mapel UAN adalah mapel “kelas dua” yang tidak harus mendapatkan porsi pembelajaran yang optimal. Hal ini bisa dilihat dari sebaran jam yang ada pada struktur kurikulm yang ada. Mapel yang akan diujikan pada UAN akan mendapatkan perhatian yang lebih daripada mapel yang lain.
Belum lagi kebijakan bagi peserta didik pada SMK. Pelaksanaan UAN tidak memiliki relevansi dengan mata pelajaran yang dipelajarai dan yang diujikan karena ada mata uji yang tidak dipelajarai tetapi diujikan, ini merupak suatau kebijakan yang lucu dan cukup mengada-ada.
Melihat kelemahan yang ada tersebut, maka pelaksanaan UAN harus dipertimbangkan lagi keberadaanya. Kalaupun pemerintah masih ngotot untuk melaksanakannya, maka dalam pelaksanaannya harus mempertimbangkan dua hal. Pertama, keseimbangan dan relevansi antara mata pelajaran yang diujikan di UAN dan karakteristik pembelajaran pada setiap jenis pendidikan. Kedua, mekanisme kelulusan yang berimbang antara hasil UAN dengan hasil belajar otentik selama proses pembelajaran di sekolah.
B. Kesenjangan antara konsep dan fakta
Kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh sekolah. Ini merupakan kebijakan baru dari pemerintah dalam rangka mengakomodasi kepentingan sekolah, daerah dan sekaligus untuk mengembangkan potensi masyarakat. Namun dalam implementasinya masih mengahadapi berbagai kendala yang meliputi antara lain manajemen kurikulum, organisasi dan manajemen sekolah, ketenagaan, sarana prasarana, peserta didik, pembiayaan, peran serta masyarakat, lingkungan dan kultur sekolah
Jabaran fakta di lapangan yang mengungkapkan kendala dalam implementasi kurikulum dalam setiap aspek diperikan sebagai berikut
a. Aspek manajemen kurikulum
1) Persepsi dalam menjabarkan Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi ke dalam standar kompetensi, kompetensi dasar, dan rencana proses pembelajaran (silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), masih relative beragam.
2) Sebagian besar warga sekolah belum memahami secara memadai mengenai standar isi (standar kompetensi dan kompetensi dasar) secara substantive khususnya dalam implementasi KTSP.
3) Belum tersusun KTSP yang berdasarkan hasil analisis kebutuhan sekolah dan hasil analisis keunggulan lokal (potensi daerah).
b. Aspek organisasi dan manajemen sekolah
1) Belum memadainya wawasan tentang manajemen penjaminan mutu (Quality Assurance) sehingga belum dapat menyusun program-program peningkatan mutu sekolah secara komprehensif
2) Masih terbatasnya sarana prasana dan penguasaan teknologi informasi oleh seluruh komponen sekolah.
c. Aspek ketenagaan
1) Sebagaian besar guru masih kurang memahami standar isi yang harus dijabarkan dalam pengembangan kurikulum tingkat intruksional, operasional dan eksperensial.
2) Adanya keterbatasan jumlah tenaga pengajar/guru untuk mengampuh matapelajaran baru antara lain Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), seni budaya dan muatan lokal
d. Aspek sarana dan prasarana
1) Adanya keterbatasan jumlah, kualitas dan relevansi fasilitas pembelajaran bila dikaitkan terhadap tuntutan pemenuhan standar isi dan perkembangan Ipteks.
2) Adanya keterbatasan jumlah judul, banyak buku, dan keluasan akses dalam penggunaan virtual library (perpustakaan maya)
3) Adanya keterbatasan jumlah ruang kelas bila dibandingkan dengan jumlah rombongan belajar dan tuntutan pelaksanaan pembelajaran moving class.
e. Aspek peserta didik
1) Tingkat kemampuan bekal ajar siswa yang masuk ke SMK sebagaian besar masih relatif rendah bila dilihat dari prasyarat untuk mengikuti pembelajaran sesuai dengan program keahlian yang dipilih.
2) Tingkat kedisiplinan sebagian siswa SMK masih relatif rendah, hal ini ditunjukkan oleh tingginya tingkat kenakalan dan penyalahgunaan narkoba.
f. Aspek pembiayaan
1) Besarnya alokasi anggaran untuk operasional sekolah sesuai dengan tuntutanKTSP baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah masih relatifterbatas.
2) Relevansi alokasi anggaran baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerahmasih relatif rendah bila dikaitkan dengan tuntutan pelaksanaan standar isi,standar proses dan standar kelulusan.
3) Kepedulian dan kemampuan masyarakat dalam peran sertanya yang terkaitdengan pembiayaan pendidikan masih relatif rendah.
g. Aspek peran serta masyarakat
1) Peran serta institusi pasangan (dunia usaha dan dunia industri) dalampelaksanaan pembelajaran untuk bidang produktif masih relatif rendah biladikaitkan dengan tuntutan pelaksanaan standar isi, standar proses dan standar kelulusan.
2) Jaringan kerjasama antara sekolah dan institusi pasangan (dunia usaha dan dunia industri) dalam upaya untuk optimalisasi pemanfaatan sumber belajar sesuai dengan tuntutan pelaksanaan standar isi, standar proses dan standar kelulusan masih relatif rendah.
h. Aspek lingkungan dan kultur sekolah
1) Adanya sebagian warga sekolah (pendidik dan tenaga kependidikan) yangmasih relatif belum memiliki kemandirian/otoritas profesional dalammenjalankan perannnya melaksanakan KTSP sesuai dengan tuntutan, jiwa dan karakteristik dari kurikulum tersebut.
2) Adanya sebagian warga sekolah (pendidik dan tenaga kependidikan) yang masih terbiasa menunggu instruksi untuk melaksanakan sesuatu, terbiasa dengan pola seragam dan kurang kreatif dalam menjalankan perannya sesuai dengan tuntutan KTSP.
Melihat kendala yang muncul tersebut, maka beberapa hal yang bisa diperjatikan atau dilakukan adalah:
1. Pembelajaran yang seimbang antara di ”sekolah” dan di ”dunia kerja”.
2. Mengacu pada keperluan kompetensi kerja di dunia kerja yang berubah sangat cepat perlu dilakukan need assesment.
3. Perubahan yang terjadi sebaiknya direncanakan secara baik dan berkelanjutan sehingga tidak menimbulkan kebingungan pada tingkat pelaksana.
4. Kegiatan sosialisasi tak hanya dilakukan pada sebatas seminar, lokakarya,
5. workshop tetapi sampai dengan pendampingan sebagai real action dalam penyusunan KTSP ditingkat satuan pendidikan. Pelaksanaan dapat melibatkan unsur pusat kurikulum, direktorat terkait, dinas pendidikan setempat maupun tim pengembang kurikulum di tiap-tiap propinsi dan kotamadya/kabupaten
6. Dinas Pendidikan Propinsi atau Kota perlu menfasilitasi dan memberikan pendampingan dalam penyusunan dan pengembangan KTSP pada satuan pendidikan sesuai dengan standar Nasional Pendidikan
7. SDM sekolah (pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik) melalui (1) program peningkatan kualifikasi dan setifikasi guru, (2) pelatihan-pelatihan untuk pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan tuntutan kemajuan teknologi informasi, dan (3) program matrikulasi bagi peserta didik pada mata pelajaran tertentu (Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika dan Komputer).
8. Sarana dan prasarana melalui pemenuhan kebutuhan secara bertahap dan sistematik sesuai dengan tuntutan standar sarana dan prasarana pendidikan dalam PP 19 Tahun 2005 dengan memberdayakan peranserta masyarakat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Referensi