Oleh: Hery Suprayitno
.
Bagian I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia indonesia, pemerintah telah berkomitmen untuk melaksanakan amanah undang-undang, yaitu dengan mengalokasikan sekitar 20% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN ) guna dibelanjakan disektor pendidikan.
Bukti dari keseriusan pemerintah tersebut antara lain diwujudkan dalam bentuk perkrutan tenaga berpendidikan (guru), yang bertujuan untuk mengurangi kekurangan jumlah tenaga kependidikan dan sekaligus mengapresiasi pengabdian para tenaga sukarelawan yang telah bertahun-tahun lamanya mengabdikan dirinya didunia pendidikan serta memeratakannya keseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebijakan ini diambil agar tujuan wajib belajar 9 tahun yang telah dicanangkan jauh hari sebelumnya dapat dijalankan sesuai dengan harapan bersama.
Rekrutmen tenaga kependidikan ini dilakukan untuk pertama kalinya oleh pemerintah pusat dan untuk selanjutnya diserahkan kepada masing-masing daerah. Rekrutmen itu sendiri dilakukan melalui dua jalur, pertama melalui jalur test, dan yang kedua melalui jalur pengangkatan langsung berdasarkan data calon kependidikan yang sudah teridentifikasi dalam data based milik Badan Kepegawaian Negara ( BKN ) berdasarkan usulan dari setiap daerah, serta sudah memenuhi persyaratan sebagaimana yang sudah ditetapkan.
Regulasi lain yang diambil oleh pemerintah dalam bidang kependidikan adalah dengan mengadakan program sertifikasi guru. Program sertifikasi guru ini mulai efektif pada tahun 2005 dan akan dituntaskan pada tahun 2014. Program ini bertujuan untuk meningkatkan mutu atau kemampuan guru sesuai dengan standart seorang pendidik dan pengajar, yang nantinya akan mengimbas kepada meningkatnya kesejateraan guru yang bersangkutan. Hal ini dilakukan karena peran guru sangat dominan terhadap keberhasilan proses pendidikan walaupun bukan merupakan satu-satunya penentu.
Guru yang berkualitas akan membawa dan mengntarkan peserta didiknya kearah kedewasaan yang positif dan tidak semu, sehingga akan mampu menjadikan dirinya sebagai tonggak penyanggah keutuhan dan kedaulatan bangsa yang berkarakter. Oleh sebab itu guru wajib mengikuti uji sertifikasi yang pelaksanaannya dilakukan melalui dua jalur, yaitu jalur fortofolio dan jalur diklat atau PLPG.
Dan apabila sorang guru telah dinyatakan lolos dari uji sertifikasi tersebut, apakah melalui jalur fortofolio ataukah jalan diklat sebagaimana yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui perguruan tinggi yang telah ditunjuk untuk melaksanakannya, maka pemerintah memberikan reward berupa tambahan tunjangan kesejahteraan guru sebesar satu kali gaji pokok. Hal tersebut sesuai dengan apa yang tersirat dalam undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen.
Perlu untuk diketahui bahwa cita-cita pemerintah untuk mewujudkan guru yang berkualitas ini tidaklah bertepuk sebelah tangan, hal tersebut tercermin pada anggaran sertifikasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 2006 mencapai angka Rp.35,8 miliar untuk 20.000 orang guru dari total jumlah guru sebanyak 2,7 juta orang (berdasarkan APBN-P 2006) dan pada tahun 2007 anggaran tersebut ditingkatkan lagi menjadi Rp.308,9 miliar untuk 190.450orang guru (berdasarkan APBN 2007) ( Widi,2007:14).
Dengan memperhatikan realita diatas, anemo masyarakat untuk menjadikan guru sebagai lahan untuk mencari nafkah menjadi meningkat. Para orang tua mendorong agar anak-anaknya mau untuk menjadi guru, sedangkan para muda yang notabene dulunya kurang berminat, sekarang berbalik arah anak bahkan berlomba-lomba untuk menjadi seorang guru. Demikian pula dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi yang adapun, seakan tidak kalah gesitnya menangkap peluang tersebut dengan menawarkan program-program studi yang selaras dengan regulasi dari pemerintah, dan sepertinya laris manis diterima oleh pasar.
Fenomena diatas sangat wajar terjadi, mengingat ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa ada gula ada semut. Tetapi akankah hal ini akan berlangsung tanpa kendali ? Akankah calon mahasiswa, mahasiswa dan lulusannya serta perguruan tinggi disamping anggota masyarakat pemakainya berfikir untuk kebutuhan sesaat ?
Dan apakah mereka pernah berfikir akan nasib anak didiknya kelak di kemudian hari ? Serta apakah nasib bangsa akan tergadaikan sebagai akibat dari ketidakmengertian secara kolektif ?
Guru adalah profesi yang mulia, guru adalah pengajar dan pendidik bagi generasi penerus bangsa. Tanggung jawab suatu bangsa ada dipundak guru. Jepang bisa bangkit dari kehancuran sebagai akibat dari kekalahannya dari perang dunia (PD) ke-2, juga karena jasa dari para gurunya yang masih hidup ketika itu.
Oleh karena itu, perlu untuk dipahami oleh para pemain didunia pendidikan, khususnya bagi anggota masyarakat yang akan menerjuni profesi tadi, menegani beberapa hal yang berkaitan dengan profesi keguruan yang sangat kompleks.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut diatas, berikut ini disampaikan beberapa permasalahan yang ada diseputar profesi keguruan diantaranya adalah sebagai berikut :
1.2.1 Apakah tujuan pendidikan itu ?
1.2.2 Mudahkah menjadi guru ?
1.2.3 Kompetensi apa sajakah yang harus dimiliki oleh guru professional ?
1.2.4 Komponen pengetahuan apa sajakah yang harus dikuasai oleh seorang guru ?
1.2.5 Bagaimanakah cara mengatasi permasalahan kesalahan guru dalam proses pembelajaran di sekolah ?
1.3 Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dari permasalahan tersebut diatas adalah :
1.3.1 Memberikan cara pandang dan pemahaman yang benar kepada anggota masyarakat mengenai profesi keguruan.
1.3.2 Memberi bekal kepada calon guru agar mampu memahami dan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru professional secara utuh.
1.3.3 Memberikan refresing kepada para guru agar selalu meningkatkan keprofesionalannya demi kemajuan dunia pendidikan sebagaiman diidam-idamkan bersama.
Bagian II
Pembahasan
2.1 Tujuan Pendidikan
Di dalam Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab ( Putra-putri Indonesia.com, 2010 ).
Tujuan tersebut dapat dikatakan sebagai penjabaran dari isi pasal 31 ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang (UUD 1945 versi amandemen : 2010 ).
Dari yang tersirat pada undang-undang tersebut diatas, pemerintah menghendaki proses berlangsungnya pendidikan tidak hanya ditekankan pada kecerdasan intelegensi (IQ) saja, melainkan juga pada kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Intelegensi menurut Western (1996) dalam Satiadarma (2003:2) dinyatakan bahwa intelegensi berbentuk multifaset, artinya intelegensi diekspresikan dalam berbagai bentuk dan pengukurannya dilakukan secara skolastik. Skolastik maksudnya adalah berdasarkan kemampuan yang diajarkan disekolah. Oleh karena itu peranan guru disekolah memiliki arti yang sangat penting terhadap perkembangan intelegensi setiap anak didiknya. Guru dituntut untuk selalu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan tanpa tekanan, sehingga intelegensi anak dapat berkembang secara optimal.
Dengan tingkat perkembangan yang optimal tersebut nantinya akan mampu mengarahkan anak didik didalam menguasai ilmu dan teknologi yang selalu berkembang dan berubah pada setiap tatanan kehidupan.
Bagi guru pemahaman terhadap IQ ini sangat diperlukan mengingat tugas dan tanggung jawabnya kepada perkembangan peserta didiknya. Berikut ini disampaikan perngertian intelegensi menurut Gardnen (1983) dalam Satiadarma (2003 : 5) bahwa intelegensi bukanlah merupakan suatu konstruk unit tunggal, namun merupakan konstruk sejumlah kemampuan yang masing-masing dapat berdiri sendiri. Intelegensi yang dimaksud meliputi intelegensi bahasa (linguistik), intelegensi logika-matematika (logic-matematical), intelegensi keruangan (spatial), intelegensi musical (musical), intelegensi kinestetik (bodily – kinesthetic), intelegensi interpersonal, intelegensi intrapersonal, intelegensi naturalis, intelegensi – spiritual dan intelegensi ekstensial.
Selain kecerdasan IQ, pembentukan watak dan karakter peserta didik juga disyaratkan oleh undang-undang kita. Sebagai guru yang cerdas tentunya harus mampu menjadi suri tauladan bagi anak-anaknya.
Untuk itu, sebelum guru mampu bertindak lebih jauh, maka seorang guru harus lebih dahulu mengetahui serta memahami kecerdasan emosi (EQ) anak.
Menurut Davies dan rekan-rekan (1998) dalam Satiadarma (2003:27), disebutkan bahwa intelegensi emosi (EQ) adalah kemampuan seorang untuk mengendalikan emosi dirinya sendiri dan orang lain, membedakan satu emosi dengan yang lain dan menggunakan informasi tersebut untuk menuntun proses berfikir serta perilaku seseorang.
Dalam kecerdasan emosi terdapat beberapa ketrampilan yang harus dikuasai oleh peserta didik, dimana ketrampilan tadi merupakan indicator bagi ketrampilan dan kecerdasan emosi tersebut.
Menurut Salovery, Goleman (1995) dalam Satiadarma (2003:33)kecerdasan emosi tersebut meliputi beberapa ketrampilan sebagai berikut :
1. Memahami pengalaman emosi pribadi
2. Mengendalikan emosi
3. Memotivasi diri
4. Memahami emosi orang lain, dan
5. Mengembangkan hubungan dengan orang lain
Watak atau karakter adalah dasar setiap manusia, tetapi dengan melalui proses pendidikan dan pelatihan yang intensif serta berkelanjutan akan mampu mengarahkan ke hal yang positif, sehingga kemampuan dalam mengendalikan emosi serta menyalurkannya dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Guru sebagai sosok manusia dewasa yang terlebih dahulu mampu mengendalikan dirinya, akan mampu pula mengendalikan peserta didiknya.
Hal tersebut diatas sangat dimungkinkan karena anak akan lebih percaya kepada gurunya daripada orang tuanya sendiri dalam proses pendidikannya.
Selain dua kecerdasan tersebut diatas, ada satu lagi kecerdasan yang harus dimunculkan dalam proses pendidikan oleh guru yaitu kecerdasan spiritual (SQ). kecerdasan spiritual untuk pertama kalinya di utarakan olh Zohar dan Marshall dalam Satiadarma (2003:41). Menurut Zohar dan Marshall, SQ adalah sebagai puncak dari kecerdasan (the unlimate intelligence).
Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kesadaran dalam diri kita yang membuat kita menemukan dan mengembangkan bakat-bakat bawaan, intensi, otoritas batin, kemampuan membedakan yang salah dan benar serta kebijaksanaan. (Satiadarma, 2003 : 42 )
Karena SQ ini menempati puncak pada tingkat kecerdasan seseorang, maka dengan SQ ini pulalah kecerdasan EQ dan IQ dapat ditingkatkan secara konsisten. Kemampua SQ, EQ dan IQ yang tinggi akan mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang seutuhnya serta berguna baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain yang ada disekitarnya.
Guru sebagai agen tunggal pendidikan dituntut untuk menguasai pengetahuan tentang berbagai macam bentuk kecerdasan yang ada, untuk itu disamping belajar seorang guru harus mampu menjalin kerjasama dengan pihak-pihak terkait didalam mendukung tugas-tugasnya disekolah baik secara langsung maupun tidak langsung.
2.2 Mudahkah Menjadi Guru ?
Dalam sebuah wawancara, pakar pendidikan Arief Rahman (Jawa Pos, 2007:14) mengatakan bahwa menjadi guru memang tidak mudah, harus ada standar yang harus dipenuhi. Hasil kutipan dari wawancara tersebut menarik untuk kita telaah lebih lanjut.
Guru adalah sebuah profesi. Guru adalah salah satu komponen pendidikan. Di tangan gurulah nasib bangsa digantungkan. Tugas dan tanggung jawab guru amatlah besar. Hal ini bisa dipahami, mengingat tugas guru adalah memanusiakan manusia. Manusia yang utuh, manusia yang berakhlak, berilmu dan beriman. Jadi pekerjaan guru bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan, sebab manusia adalah makhluk yang unik.
Sebagai sebuah profesi, hendaklah kita mengetahui terlebih dahulu pengertian dari profesi itu sendiri. Pengertian profesi menurut Dr. Sukun Pribadi (1976) dalam Hamalik (2003:1) adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa, karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebuah profesi mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Profesi adalah suatu pernyataan atau suatu janji yang terbuka
2. Profesi mengandung unsur pengabdian
3. Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan.
Beranjak dari ketiga unsur tadi, sudah barang tentu menjadi seorang guru itu tidaklah mudah. Apalagi kalau melihat pada unsur yang kedua, yaitu profesi mengandung unsur pengabdian, jelas dalam hal ini kita harus pandai-pandai berfikir sebelum bertindak, sebab menjadi guru kebahagiaanlah yang akan kita dapatkan dan bukan materi yang kita kejar.
Dalam melaksanakan tugas utamanya, yaitu dalam proses pembelajaran, guru mempunyai peran yang tidak sedikit jumlahnya. Menurut Mulyasa (2005) peran guru dalam pembelajaran antara lain sebagai berikut :
1. Guru sebagai pendidik
2. Guru sebagai pengajar
3. Guru sebagai pembimbing
4. Guru sebagai pelatih
5. Guru sebagai penasehat
6. Guru sebagai pembaharu (innovator)
7. Guru sebagai model dan teladan
8. Guru sebagai pribadi
9. Guru sebagai peneliti
10. Guru sebagai pendorong kreativitas
11. Guru sebagai pembangkit pandangan
12. Guru sebagai pekerja rutin
13. Guru sebagai pemindah kemah
14. Guru sebagai pembawa cerita
15. Guru sebagai actor
16. Guru sebagai emancipator
17. Guru sebagai evaluator
18. Guru sebagai pengawet
19. Guru sebagai kulminator
Tidak dapat dibayangkan, bahwa seorang guru dituntut harus menguasai dan berperan sebagaimana yang dikemukakan oleh Mulyasa tersebut dalam satu kurun waktu yang bersamaan. Peran guru yang sedemikian banyaknya tadi tentulah sangat berat dilakukan dan membutuhkan keseriusan yang mendalam bagi guru untuk melaksanakannya. Walaupun demikian peran tadi akan menjadi mudah dan ringan tatkala keinginan untuk menjadi guru tadi dilandasi pada keinginan hati nurani dan bakat yang dipunyai oleh seorang calon guru.
Arti dari uraian diatas adalah untuk menjadi guru haruslah merupakan panggilan hidup. Menurut David Hansen (1995) dalam Suparno (2004:9) panggilan hidup itu dibagi menjadi dua kriteria, yaitu :
1. Pekerjaan itu membantu mengembangkan orang lain (ada unsur social)
2. Pekerjaan itu juga mengembangkan dan memenuhi diri kita sebagai pribadi
Berdasarkan dua kriteria tersebut, sudah jelas bagi kita bahwa apabila pekerjaan guru yang dilakukan tersebut dilandasi dengan panggilan hidup, maka akan banyak orang lain disekitar kita yang akan ikut berkembang kearah yang lebih baik. Disamping bagi guru itu sendiri akan mampu menjadikan dirinya sebagai orang yang penuh arti bagi dirinya dan orang lain.Dengan demikian , tendensinya bukan hanya untuk mengejar materi semata.
2.3 Kompetensi Guru
Guru berkualitas adalah guru yang mempunyai standart kompetensi sesuai dengan tuntutan profesinya. Kompetensi guru tersebut meliputi kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi kemasyarakatan. Ketiga kompetensi tersebut tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Jadi seorang guru dituntut untuk menguasai ketiga-tiganya secara utuh ( Hamalik, 2003 ).
Dalam perkembangannya, kompetensi guru bertambah satu lagi yaitu kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan berkenaan dengan pemahaman penguasaan kelas ( sumber : Depdiknas ). Dengan demikian standart kompetensi yang harus dikuasai oleh guru ada empat macam, yaitu :
1. Kompetensi Pedagogik, yang uraiannya sebagaimana tersebut diatas.
2. Kompetensi Kepribadian, yaitu kemampuan guru dalam mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa.
3. Kompetensi Profesional, yaitu memiliki kemampuan berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi yang diampunya.
4. Kompetensi Sosial, yaitu kemampuan untuk berkomunikasi dan bergaul baik-baik dengan siswa, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua / wali siswa serta masyarakat sekitar ( Jawa Pos, 2007:14 ).
Menurut Hamalik (2003) dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi dikemukakan, bahwa guru yang dinilai berkompeten secara professional, apabila :
1. Guru tersebut mampu mengembangkan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya.
2. Guru tersebut mampu melaksanakan peranan-peranannya secara berhasil.
3. Guru tersebut mampu bekerja dalam usaha mencapai tujuan pendidikan (tujuan institusional) sekolah.
4. Guru tersebut mampu melaksanakan peranannya dalam proses mengajar dan belajar di kelas.
Dengan demikian guru yang berkompeten adalah guru yang dalam setiap pengabdiannya selalu berfikir untuk meningkatkan rasa tanggung jawab nya, peranannya, serta usahanya dalam mencapai tujuan pendidikan, baik tujuan pendidikan secara umum maupun tujuan institusional di sekolah.
Penguasaan terhadap standart kompetensi membuktikan bahwa guru tersebut professional dibidang tugasnya. Sebagai indikator dari tingkat keprofesionalannya tadi, dapat dicermati melalui kriteria professional guru yang dihasilkan dalam lokakarya kurikulum pendidikan guru UPI Bandung sebagaimana yang dikutip dalam Hamalik (2003:37-38) berikut ini :
a. Fisik
Secara fisik guru yang professional harus memnuhi syarat- syarat sebagai berikut :
Ø Sehat jasmani dan rohani
Ø Tidak mempunyai cacat tubuh yang bias menimbulkan ejekan atau cemoohan atau rasa kasihan dari anak didik.
b. Mental Kepribadiaan
Guru yang professional harus memiliki kepribadian sebagai berikut :
Ø Berkepribadian pancasila
Ø Mampu menghayati GBHN
Ø Mencintai bangsa dan sesama manusia dan rasa kasih sayang kepada anak didik.
Ø Berbudi pekerti yang luhur.
Ø Berjiwa kreatif
Ø Mampu menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa.
Ø Mampu mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab yang besar akan tugasnya.
Ø Mampu mengembangkan kecerdasan yang tinggi.
Ø Bersifat terbuka, peka dan inovatif,
Ø Menunjukkan rasa cinta kepada profesinya.
Ø Ketaatannya akan disiplin.
Ø Memiliki sense of human.
c. Keilmuan atau Pengetahuan
Seorang guru dituntut untuk selalu mengembangkan keilmuannya yang meliputi hal-hal sebagai berikut :
Ø Memahami ilmu yang dapat melandasi pembentukan pribadi.
Ø Memahami ilmu pendidikan dan keguruan dan mampu menerapkan dalam tugasnya sebagai pendidik.
Ø Memahami, menguasai, serta mencintai ilmu pengetahuan yang akan diajarkan.
Ø Memiliki pengetahuan yang cukup tentang bidang-bidang yang lain.
Ø Senang membaca buku-buku ilmiah.
Ø Mampu memecahkan persoalan secara sistematis terutama yang berhubungan dengan bidang studi serta,
Ø Memahami prinsip-prinsip kegiatan belajar mengajar.
d. Ketrampilan
Ketrampilan mutlak dimiliki oleh guru yang professional, ketrampilan tersebut meliputi :
Ø Kemampuan berperan sebagai organisator proses belajar mengajar.
Ø Kemampuan menyusun bahan pelajaran atas dasar pendekatan structural, interdisyiline, fungsional, behavior dan teknologi.
Ø Kemampuan menyusun garis-garis besar program pengajaran.
Ø Kemampuan memecahkan dan melaksanakan teknik-teknik mengajar yang baik dalam mecapai tujuan pendidikan.
Ø Kemamuan merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan.
Ø Memahami dan mampu melaksanakan kegiatan dan pendidikan luar sekolah.
Sebagai guru professional, apapun alasannya harus menguasai semua kriteria tersebut. Hal itu perlu dilakukan sebagai wujud pertangungjawaban seorang guru terhadap tuntutan keprofesionalannya. Oleh, karena itu seorang guru harus selalu dan banyak belajar serta berlatih untuk meningkatkan kemampuan dirinya. Peran serta dari teman sejawat beserta anggota masyarakat akan turut pula mempengaruhi keberhasilan guru didalam meningkatkan kompetensinya.
Pembinaan secara berkala terhadap diri guru oleh pihak-pihak yang berkompeten terhadap usaha peningkatan mutu keguruan perlu digalakkan kembali. Kegiatan evaluasi digunakan untuk perbaikan kinerja guru itu sendiri. Pemberian reward terhadap guru yang berprestasi mutlak diperlukan, sebagai motivator guru yang lain di dalam meningkatkan kompetensinya masing-masing.
2.4 Kompenen-komponen Pengetahuan Guru
Menurut M.Haberman dan Stennet sebagaimana yang dikutip dari Habert la grone (1964) dalam Hamalik (2003) terdapat lima daerah pengetahuan yang perlu dikuasai dengan baik oleh setiap calon guru. Ke lima daerah pengetahuan tersebut, meliputi :
1. Studi analisis terhadap pengajaran
2. Struktur dan kegunaan pengetahuan
3. Konsep-konsep tentang perkembangan manusia dan belajar
4. Disain belajar mengajar, dan
5. Demonstrasi serta evaluasi kompetensi-kompetensi mengajar.
Berpijak pada pendapat Haberman diatas, menurut Hamalik (2003:106) pengetahuan guru setidaknya harus mengandung 12 komponen yang mencirikan seorang guru yang baik. Komponen – komponen tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Ketrampilan,
2. Etika,
3. Disiplin Ilmiah,
4. Konsep-konsep dasar,
5. Pelajar / Siswa,
6. Suasana Sosial,
7. Belajar Pedagogik atau metodologi pengajaran,
8. Proses,
9. Teknologi,
10. Pengembangan diri (self)
11. Perubahan, serta
12. Inovasi
Dalam kesehariannya ke dua belas komponen tersebut harus muncul pada diri guru. Sehingga tujuan dalam pembelajaran dapat dicapai dengan baik. Seorang guru dituntut untuk memiliki ketrampilan mengajar yang benar dan baik bagi anak didiknya. Ketrampilan mengajar yang menyenangkan akan mampu melibatkan anak secara aktif untuk ikut didalamnya.
Etika, terkait dengan pribadi guru. Guru adalah suri tauladan bagi lingkungannya, terlebih bagi anak didiknya sehingga segala sesuatu tergantung pada sikap guru di dalam memberikan contoh yang terbaik bagi anak didiknya.
Didalam proses berfikir, seorang guru harus mampu berfikir secara ilmiah. Kaidah-kaidah tersebut akan sangat berpengaruh bagi perkembangan jiwa anak didiknya.
Berfikir dengan menggunakan disiplin ilmiah memungkinkan anak untuk mengenal konsep-konsep dasar suatu ilmu pengetahuan yang diterimanya dari guru yang juga telah menguasainya. Hal ini tidak terlepas dengan pengenalan guru terhadap diri siswanya. Guru yang baik adalah guru yang mampu mengkomunikasikan ilmunya sesuai dengan karakter para anak didiknya.
Proses selanjutnya adalah guru harus lebih memahami kembali ilmu pedagogik serta metodologi pengajarannya. Dengan menguasainya seorang guru akan mampu memilah dan memilih pendekatan atau strategi belajar yang cocok dan disertai pula dengan metode serta teknis yang tepat didalam menyampaikan suatu materi tertentu.
Proses belajar mengajar yang ideal adalah yang menyenangkan bagi anak didik, oleh sebab itu seorang guru yang baik harus mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif serta didukung dengan teknologi yang sesuai dengan perkembangan jiwa anak.
Untuk mewujudkan semua hal diatas seorang guru dituntut untuk selalu mengembangkan dirinya, baik melalui saluran yang sudah ada yaitu melalui KKG dan MGMP ataupun melalui petemuan-pertemuan ilmiah, semisal seminar, lokakarya, workshop atau diklat-diklat lainnya dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensinya.
Perubahan itu perlu, hal tersebut berkenaan dengan perkembangan pola dunia yang semakin menuntut kita, para guru untuk selalu mewaspadai dan mengikuti perkembangan itu supaya tidak ketinggalan zaman. Pola belajar life long education perlu digiatkan kembali. Dengan demikian inovasi-inovasi dibidang keilmuan, khususnya bidang pendidikan dapat diselenggarakan dengan seksama oleh guru-guru yang telah mengantongi standart sebagai guru yang professional.
Proses belajar mengajar tidak boleh stagnan, penciptaan proses belajar mengajar yang menyenangkan, inovatif, dan produktif diharapkan akan banyak bermunculan ditangan guru-guru yang kreatif, guru –guru yang berkompeten, dan guru-guru yang professional.
2.5 Cara mengatasi Permasalahan Pembelajaran
Guru yang professional adalah guru yang menguasai kompetensinya dengan baik. Kalau sudah demikian halnya, maka seorang guru akan mampu mengatasi segala bentuk permasalahannya, khususnya permasalahan dalam pembelajaran dikelasnya masing-masing. Permasalahan akan selalu muncul apabila terjadi kesenjangan antara hasil yang dicapai dengan tumpuan harapan yang diinginkan sebelumnya.
Permasalahan yang muncul biasanya banyak terjadi pada diri guru itu sendiri. Seorang guru secara sadar maupun tidak sadar acap kali sering melakukan kesalahan-kesalahan dalam proses pembelajarannya. Kesalahan-kesalahan tersebut apabila tidak cepat dibenahi dan ditata kembali dengan baik, maka akan mengakibatkan dampak negative yang serius, dan pada akhirnya dapat menimbulkan kegagalan pada tigkat pencapaian tujuan pendidikan secara menyeluruh.
Kesalahan-kesalahan dalam proses pembelajaran menurut Mulyasa (2005) antara lain sebagai berikut :
1. Mengambil jalan pintas dalam pembelajaran.
2. Menunggupeserta didik berperilaku negative.
3. menggunakan destruktif discipline.
4. Merasa paling pandai.
5. Tidak adil (Diskriminatif), dan
6. Memaksa hak peserta didik.
Disamping tujuh kesalahan tersebut diatas masih ada juga bentuk kesalahan–kesalahan yang lain, semisal pemberian contoh perilaku yang menyimpang (merokok bagi guru laki-laki), guru kurang kreatif, ketidakpahaman guru terhadap produk IT dan pengimplementasiannya dalam proses pembelajarannya, guru kurang menguasai materi pembelajaran dan apabila guru mau menginstropeksi dirinya masing-masing masih banyak bentuk kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan baik disengaja maupun tidak sengaja.
Kesalahan-kesalahan tersebut sering muncul sebagai akibat dari kekurangpahaman guru terhadap bidang tugasnya. Hal ini dikarenakan guru tersebut tidak memiliki tingkat penguasaan kompetensi guru dengan baik.
Kesalahan-kesalahan tersebut mestinya dapat diminimalisir bahkan dieliminasi, apabila guru yang bersangkutan memahami pokok-pokok permasalahan yang akan dan sedang terjadi selama dalam proses pembelajaran disekolah.
Untuk mengatasi berbagai macam bentuk kesalahan tersebut diatas, berikut ini akan diuraikan sebagian kecil solusi pemecahannya.
Kesalahan guru yang dalam pelaksanaan proses pembelajaran sering mengambil jalan pintas, solusinya dalah guru tersebutharus melakukan instropeksi internal akan kegagalannya dalam pencapaian tujuan. Kegagalan ini sebagai akibat dari tidak adanya persiapan mengajar. Seorang guru harus dapat melaksanakan reorganisasi terhadap proses pembelajarannya. Pengembangan rencana persiapan pengajaran (RPP) mutlak diperlukan. Dan didalam pelaksanaannya guru harus terampil dalam mengelola organisasi kelas sesuai dengan kemampuannya untuk mencapai akhir dari tujuan materi yang diajarkannya.
Seorang guru yang baik akan selalu menerima kritik dalam setiap pelaksanaan pembelajarannya. Kegiatan evaluasi pada setiap akhir pembelajaran perlu dilakukan oleh seorang guru sehingga dapat diketahui tingkat keberhasilan guru tersebut di dalam mengajar. Satu hal yang perlu diingat bahwa tidak semua anak memahami keinginan kita sebagai orang dewasa.
Kesalahan berikut yang perlu mendapatkan pemecahan adalah menunggu peserta didik berperilaku negative. Hukuman merupakan alat untuk menjauhkan anak dari perbuatan negative, akan tetapi karena ketidakpahaman pendidik hukuman ini acap kali diberikan, ketika anak didik berperilaku menyimpang dari ketentuan. Dan akibatnya anak biasanya menjadi minder. Untuk menghindari hal tersebut, alangkah baiknya hukuman tidak diberikan dan sebagai gantinya adalah dengan mengadakan pembinaan. Pembinaan yang dilakukan secara rutin pada setiap proses pembelajaran merupakan tindakan preventif untuk mencegah peserta didik berperilaku negative.
Menggunakan destruktif disiplin dalam proses pembelajaran merupakan tindakan yang kurang tepat. Hal tersebut baik langsung maupun tidak langsung akan menghambat perkembangan jiwa anak. Sehingga pada akhirnya anak akan menutup dirinya, jauh dari kebebasan seperti yang diharapkan. Dan apabila hal ini terjadi, dapat dikatan guru yang menggunakan distruktif discipline dalam setiap proses pembelajarannya talah membunuh karakter anak didiknya. Mestinya hal ini tidak dilakukan, mengingat tugas guru adalah untuk mengembangkan karakter positif anak serta kompentensi yang dimiliki ke arah yang lebih baik. Untuk itu guru harus menggunakan pendekatan persuasif di dalam mengatasi pola tingkah laku anak yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dan itu adalah cara yang terbaik dan bijaksana.
Tanpa disadari atau tidak dalam setiap proses pembelajarannya, seorang guru kerap sekali mengabaikan perbedaan peserta didiknya. Hal tersebut terlihat dari penggunaan metode pembelajaran yang kurang bervariasi. Anak didik yang kita hadapi, masing-masing memiliki tingkat kemampuan dan kompetensi yang berbeda dalam menyerap pelajaran. Oleh sebab itu penggunaan metode yang bervariasi sangat dianjurkan. Ingat, tidak ada satu metode yang lebih baik diantara metode-metode yang lainnya.
Kesalahan lain yang perlu mendapat perhatian adalah guru merasa paling pandai. Kalau hal itu terbukti kebenarannya, maka guru tersebut mudah melakukan tindakan yang tidak mendidik. Guru menganggap dirinya paling super, sedangkan anak didiknya dianggap sebagai botol kosong yang hanya siap diisi saja. Kalau sudah demikian, artinya seorang guru sudah tidak lagi memandang anak sebagai subjek atau sebagai sosok manusia yang memiliki kompetensi lagi. Jelas hal ini merupakan bentuk kesalahan yang luar biasa.
Satu hal yang perlu diingat, bahwa tugas guru adalah untuk mengembangkan kompetensi anak. Artinya peran guru dalam proses pembelajarannya hanyalah sebagai fasilitator. Dan tentu saja hal tersebut sangat bertentangan apabila guru menganggap dirinya paling pandai.
Ketidakadilan dalam proses pembelajaran akan memunculkan persaingan yang tidak sehat pada anak didik. Disisi lain sebagian anak bersemangat dalam belajarnya, tetapi disisi lain pula anak merasa tersisihkan. Perhatian meyeluruh dan penuh rasa cinta pad setiap peserta didik harus selalu ditumbuhkembangkan pada diri seorang guru untuk mengatasi ketidak adilan tersebut.
Hal terakhir yang perlu mendapat perhatian disini adalah kesalahan guru yang sering memaksakan hak anak. Untuk mengatasi hal tersebut guru perlu merubah kebiasaan buruknya dengan mengadakan pembelajaran yang aktif, inovatif dan menyenangkan. Pendekatan denga pola ini dilakukan, agar supaya peserta didik juga merasa dihargai dalam setiap tindakannya. Arti kata, anak didik tidak hanya menerima apa-apa yang telah disiapkan oleh gurunya, tetapi mereka juga berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Mereka juga turut menentukan segala sesuatu yang akan mereka terima dalam usaha perkembangannya.
Bagian III
Penutup
3.1. Simpulan
Selengkapnya hub 081333052032.