Oleh Yeni Nur Azizah
.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada era reformasi ini, perubahan paradigma berfikir merupakan tuntutan yang sangat mutlak dan tidak dapat ditawar. Karena itu, sebagai pegawai bidang jasa yang dinaungi etika profesional, kitapun wajib untuk turut serta dalam perkembangan tersebut. Dengan membantu program pemerintah, khususnya di bidang pendidikan.
Perkembangan ilmu mengajar dan ilmu mendidik, tampaknya telah harus kita tinggalkan, sejalan dengan usangnya pula metode pembelajaran, untuk digantikan dengan apa yang disebut dengan “strategi belajar.” Di mana seorang guru yang aktif mengajar, pada saat lalu dianggap sebagai guru teladan, kini dianggap sebagai guru yang kurang memahami perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam hal ini Winarno Surakhmad, dalam “Ketika guru mengajar, apakah murid belajar?”(2003) menyampaikan sebagai berikut :
“Sebenarnya, seruan ini ditujukan kepada guru yang banyak mengajar, tetapi yang salah mengajar, jadi semakin banyak dia mengajar semakin banyak dia salah mengajar. Bagaimana mungkin? Mungkin saja. Bahkan sangat mungkin. Guru yang demikian berpendapat lebih kurang begini :
– Untuk mengajarkan sesuatu, ia harus mengemukakan dan menjelaskan permasalahan yang diajarkan kepada murid.
– Untuk menjelaskan dengan baik, maka ia harus banyak berbicara kepada murid. (Penjelasan yang baik, tidak dapat dilakukan apabila ia berdiam diri, bukan?)
– Karena itu, ia mengajar = berbicara. Makin banyak ia mengajar, makin banyak ia berbicara. (Guru ini, pasti tidak dapat mengajar apabila ia sedang terkena sakit tenggorokan!) (2003:8)
Dari pendapat di atas, tampak benar bahwa yang terjadi bukanlah siswa yang belajar, tetapi guru yang sedang mengajar. Atau dengan kata lain, fokus dari apa yang dilakukan oleh si guru yang terutama adalah, bagaimana agar ia dapat mengajar dengan baik, bukan pada bagaimana siswanya belajar dengan baik. Juga tampak benar bahwa terdapat sesuatu yang janggal, dari apa yang disampaikan oleh Winarno Surakhmad di atas, yaitu bila demikian, bagaimana seakarang cara mengajar yang baik itu?
Demikian pula tentang istilah “mengajar”, masih dapatkah itu digunakan dalam kegiatan belajar mengajar kita?
Mari kita pahami pendapat berikutnya tentang pengertian yang perlu kita dalami, sebagai berikut :
“Kecuali…apabila dia mau mengubah sikap untuk belajar mengajar sesedikit mungkin, dengan efek pembelajaran sebesar mungkin. Guru tidak perlu harus selalu berbicara, menjelaskan. Tidak mustahil bahwa ketika guru menjelaskan, komunikasi justru terhenti, ketika murid tidak mendengarnya Ingat, mendengarkan adalah sebuah pekerjaan yang berat, bukan hanya untuk murid, tetapi juga – jujur saja – untuk guru.”
Dari pemahaman di atas, mengajar dikurangi, dan efek pembelajaran yang diperbesar. Jujur, sebagai seorang guru yang berpengalaman kurang lebih 20 tahun, belum pernah terfikir bahwa apa yang kita lakukan selama ini sangat jauh dari baik. Artimya, bahwa apa yang kita lakukan selama ini adalah mengajar, bukan pembelajaran yang memiliki efek belajar.
Ada satu pertanyaan yang menggelitik hati kita, yaitu : apakah guru harus belajar? Sardiman AM, dalam “Interaksi dan Motivasi Belajar” Menyampaikan pendapatnya tentang hal ini sebagai berikut :
“Bila ada proses belajar, maka bersama itu pola terjadi proses mengajar. Hal ini mudah dipahami, karena bila ada yang belajar, sudah barang tentu ada yang mengajarnya, dan begitu pula sebaliknya, kalau ada yang mengajar, tentu ada pula yang belajar. Kalau sudah terjadi suatu proses (saling interaksi), antara yang mengajar dengan yang belajar, sebenarnya berada dalam kondisi yang “unik”, sebab secara sengaja atau tidak sengaja, masing-masing pihak berada dalam suasana belajar. Jadi, guru, walaupun dikatakan sebagai pengajar, sebenarnya secara tidak langsung juga belajar.”(1986:21)
Jadi guru harus tetap belajar, agar apa yang dilakukan untuk muridnya dapat dipahami dengan baik oleh muridnya, dan muridnya mau belajar, agar dapat mengembangkan dirinya menjadi lebih baik. Karena hanya guru yang selalu belajar dan benar-benar memahami makna berlajarlah yang sebenarnya dapat mengarahkan belajar siswa. Bagaimana mungkin seorang guru yang tidak pernah belajar dan memahami makna belajar dapat membina siswanya untuk senang dan aktif belajar?
Yang dimaksudkan di sini adalah, bahwa apa yang kita lakukan selama ini memerlukan pemikiran ulang. “Mengajar sesedikit mungkin dengan efek pembelajaran sebanyak mungkin”, adalah mengurangi sebanyak mungkin mengajar kita, dan memperbanyak kemungkinan anak untuk belajar dan belajar sebanyak mungkin. Winarno Surakhmad, dalam hal ini menyatakan :
“Perbanyaklah belajar! Dimaksudkan di sini tidak lain agar tujuan utama yang ada dalam benak guru ialah memungkinkan murid belajar, belajar dan belajar. Dibandingkan dengan belajar (dari pihak murid), mengajar (dari pihak guru) “tidak penting” Sesungguhnya, peran guru itu penting walaupun tidak mutlak. Jadi lebih tepat bila saya mengatakan bahwa dibandingkan dengan belajar yang begitu penting, di dalam proses perkembangan manusia, mengajar tidaklah sepenting itu. Seseorang terbukti dapat belajar tanpa guru, tetapi bisakah terjadi pembelajaran apabila ada guru tetapi tidak ada murid?
Agar pembelajaran dapat berlangsung dengan optimal, maka diperlukan peran serta dari anak untuk aktif melaksanakan pembelajaran, Dalam hal ini, Bambang Soenarko (1997:31) menyampaikan sebagai berikut :
“Anak memerlukan dorongan atau motivasi yang dapat memacunya untuk belajar lebih baik. Dorongan atau motivasi ini dapat muncul dari dalam diri anak sendiri atau dari luar, dalam hal ini para pendidk. Untuk membangkitkan motivasi anak, ada beberapa hal yang perlu dilakukan.
Disamping itu, antara guru dan siswa di setiap mata pelajaran, terus tumbuh rasa ingin tahunya, dengan bertanya apa, mengapa bagaimana dan sebagainya. Dengan dimilikinya rasa ingin tahu tersebut, maka guru dan siswa juga akan melakukan aktifitas mencari dan meneliti.”
Maka bertolak dari permasalahan di atas, peneliti mengajukan sebuah karya tulis ilmiah pengembangan proses pembelajaran Bahasa Indonesia, dengan judul :”Pengembangan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan, Sebagai Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia ”
B. Identifikasi Masalah
Dari pembahasan di atas, teridentifikasi beberapa permasalahan yang berkait dengan pengambilan judul, yaitu :
1. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dilaksanakan. dilaksanakan.
2. Bagaiamana strategi yang dilakukan guru agar siswa dapat aktif, kreatif, efektif dan senang belajar bahasa Indonesia.
3. bagaimana pengaruh pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan terhadap siswa yang melakukan aktivitas belajar.
C. Pembatasan masalah
Agar permasalahan yang dinahas tidak mengembang, maka peneliti menyusun lingkup pembahasan pada :
1. Pelaksanaan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia.
2. Strategi yang dilakukan guru agar siswa dapat aktif, kreatif, efektif dan senamg belajar bahasa Indonesia.
3. Pengaruh pembelajaran sktif, kreatif, efektif dan menyenangkan dalam melakukan aktivitas belajar.
D. Perumusan Masalah
Untuk mengarahkan penelitian dan pembahasan yang dilaksanakan, maka disusun permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan balam pembelajaran Bahasa Indonesia dilaksanakan ?
2. Bagaimanakah strategi yang dilakukan guru agar siswa dapat aktif kreatif dan senang belajar belajar Bahasa Indonesia?
3. Bagaimanakah pengaruh pembelajaran aktif, kreatf, efektif dan menyenangkan terhadap siswa yang melakukan aktifitas belajar ?
E. Tujuan Pembahasan
Pembahasan penelitian dilaksanakan untuk menjawab permasalahan :
1. Bagaimana pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan dilaksanakan ?
2. Untuk mengetahui strategi yang dilakukan guru agar siswa dapat aktif, kreatif dan senang belajar.
3. Bagaimana pengaruhnya terhadap siswa yang melalukan aktifitas belajar dengan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
F. Manfaat Pembahasan
Hasil pembahasan diharapkan bermanfaat untuk ;
1. Mengembangkan strategi pembelajaran yang dapat meningkatkan optimalisasi pembelajaran.
2. Menambah wawasan tentang strategi pembelajaran yang dapat dilakukan agar siswa aktif, kreatif dan senang belajar .
3. Mengetahui sejauh mana pengaruh yang terjadi pada siswa yang melakukan pembelajaran dengan aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembahasan
1. Pengembangan Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan
Sebuah proses pembelajaran, oleh seorang guru profesional akan diharapkan untuk dapat berdaya guna dan berhasil guna. Dia akan berusaha agar pembelajarannya dapat diterima siswa dengan daya serap yang tinggi, dan siswanya memiliki nilai, kemampuan dan ketrampilan. Suharsimi Arikunto (1999) dalam ‘Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek”. Menyatakan :
“Seorang guru mempunyai tugas mendidik dan mengajar. Ia membantu si anak didik. Ia selalu berusaha agar kadar bantuannya dapat meningkat, sehingga diperoleh hasil yang lebih baik. Usahanya ada bermacam-macam. Mungkin ia memberikan motivasi belajar yang banyak. Mungkin ia mengganti metode yang ia gunakan untuk menerangkan, mungkin ia mengubah alat peraga dan sebagainya.”
Permasalahan yang saat ini sedang berkembang, dan banyak dipertanyakan adalah, apakah pada saat kita berusaha mengajar sebaik-baiknya, si anak juga akan belajar sebaik-baiknya? Winarno Surakhmad dalam masalah ini, menyatakan :
“Karena itu saya ulangi sekali lagi, mengajar diperlukan untuk memungkinkan terjadinya proses belajar. Bukan, dan tidak pernah sebaliknya. Masalah yang dapat kita amati di dalam praktek, dan patut selalu kita pertanyakan ialah, apakah ketika guru (merasa ) mengajar, sudah pasti bahwa murid belajar. Kenyataan menunjukkan, bahwa hal itu tidak selalu demikian. Sesekali anda sendiri pasti dapat mengamati bahwa sesungguhnya rekan anda, atau anda sendiri barangkali? Telah berusaha mengajar sebaik-baiknya, ada saja murid yang belum menunjukkan tanda-tanda telah belajar, yakni tanda-tanda telah paham.”.
Bila seorang ahli telah berpendapat demikian, dan kita juga merasakan bahwa apa yang kita lakukan selama ini demikian pula, maka diperlukan satu pola baru, yang memungkinkan siswa belajar. Atau dengan kata lain, diperlukan suatu strategi pembelajaran yang memungkinkan untuk membelajarkan anak. Stratregi belajar yang memungkinkan anak untuk aktif belajar. Dan untuk mengembangkan aktifitas belajar, dengan mengurangi sedikit mungkin proses mengajar, adalah dengan cara mengembangkan kreatifitas siswa untuk aktif belajar. Bambang Soenarko dalam “Metodologi Pembelajaran ” menyatakan :
“Kreatifitas merupakan proses kerja baik secara fisik maupun psikhis untuk menghasilkan sesuatu yang baru bagi yang melakukan kreatifitas. Sedang guru yang mendorong kreatifitas adalah guru yang menciptakan kondisi bagi siswa untuk aktif memproses sendiri pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dimilikinya sebagai hasil belajar.”
Pandangan Bambang Soenarko sangat jelas sebenarnya, yaitu bahwa guru dalam proses pembelajaran harus mempunyai strategi agar siswanya memiliki kondisi untuk aktif memproses sendiri pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dimilikinya, sebagai hasil belajar. Sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan. Namun, karena beberapa saat yang lalu, kita belum benar-benar menyadari, maka hanya menjadi satu kata mutiara yang kurang bermakna.
Bentuk yang memungkinkan untuk menumbuhkan aktifitas, kreatifitas, dan mampu mengembangkan motivasi siswa untuk belajar, dapat dilihat dari apa yang disampaikan dalam “Pendekatan kontekstual” Depdiknas (2003:1) serbagai berikut :
“Pentingnya lingkungan belajar :
– Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari “guru akting di depan kelas, siswa menonton”
Ke “siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan.”
– Pengajaran harus berpusat pada “bagaimana cara” siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. “Strategi belajar” lebih penting dibandingkan hasilnya.
– Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assesment) yang benar.
– Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.”
Dikaitkan dengan beberapa hasil studi banding yang dilaksanakan beberapa saat yang lalu , diperoleh beberapa catatan yang dapat dikaitkan dengan yang ditunjukkan oleh pendekatan kontekstual. Beberapa catatan itu sebagai berikut :
1. Dibentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari maksimal 6 orang, yang berfungsi sebagai sarana pengembangan kreatifitas di bawah strategi guru. Kelompok dipandang sebagai landasan untuk membentuk “komunitas belajar.”
2. Guru mengembangkan strategi pembelajaran dengan menggunakan teknik moderasi, sehingga memungkinkan mengarahkan siswa tanpa memberikan petunjuk. Tetapi memancing siswa agar “berfikir ke arah itu.” Jadi di sini guru tidak meninggalkan siswa untuk aktif sendiri, tetapi mengembangkan strategi yang memungkinkan siswa untuk berfikir dan bertindak ke arah aktifitas dan kreatifitas belajar dengan sendirinya.
3. Siswa belajar dengan mempertimbangkan apa, mengapa dan bagaimana yang dipelajarinya. Dengan terlebih dahulu melihat beberapa fortofolio yang dimilikinya, dan berdiskusi dengan guru pembimbing tentang mengapa ia belajar. Sehingga mereka melakukan aktifitas belajar dengan sadar akan apa yang dilakukannya.
4. Siswa dipersilahkan memilih sendiri akan belajar dengan model bagaimana, membaca, berdiskusi dengan teman, atau dengan guru, atau bahkan ingin mengunjungi perpustakaan untuk melengkapi pengetahuan berkait dengan pengetahuan yang dimilikinya.
5. Siswa bersama guru menentukan nilai fortofolio yang dikerjakannya, dan dipajang ditempat yang tertera namanya.
Dengan konsep-konsep di atas, diharapkan, khususnya guru, akan mau dan mampu untuk mengembangkan strategi pembelajarannya, dan merubah paradigma berfikirnya, dengan membelajarkan anak. Atau dengan kata lain memiliki tekad bahwa tujuan pembelajaran yang dilakukannya adalah agar anak belajar untuk belajar memilki dan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya.
2. Strategi Pembelajaran.
Telah banyak dikemukaan di atas tentang strategi pembelajaran yang kini sedang dikembangkan. Mengapa strategi pembelajaran?
Karena sejalan dengan banyaknya kritik para ahli tentang kegagalan pendidikan di Indonesia. Dan mengapa terjadi kegagalan, kita simak yang ditulis oleh Winarno Soerakhmad dalam “Mungkinkah mengembangkan sendiri kurikulum di sekolah ?” (2003) yang dimuat dalam Fasilitator berikut :
“Relatif masih banyak Kepala Sekolah dan guru yang tidak pernah mengerti betul apa yang dimaksudkan oleh para penyusun kurikulum dengan berbagai konsep di dalam setiap kurikulum baru, sampai saatnya kurikulum itu harus diganti dengan kurikulum yang lebih baru. Ada kemungkinan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang sekarang sedang dipertanyakan, disosialisasikan, diuji cobakan dan dikembangkan oleh pemerintah, akan mengulangi penderitaan para guru yang tidak mengerti arah yang dituju, persis seperti ketika menghadapi kurikulum 1994.”
Ini adalah bentuk kegagalan yang pertama dari bentuk sosialisasi dan pemberlakukan kurikulum yang tidak disertai dengan pemahaman yang mendalam tentang esensi dari kurikulum itu sendiri.
Bentuk kegagalan yang ke dua adalah juga yang digambarkan oleh Winarno Surakhmad dalam “Ketika Guru Mengajar, Apakah Murid Belajar?” (2003) berikut :
“Mengajar yang baik tidak harus berarti banyak mengajar (baca : menjelaskan). Bukan makin banyak makin baik. Bukan yang banyak yang baik. Tetapi yang baik selalu bernilai banyak. Mengajar yang berlebihan justru sering menggambarkan kelemahan kompetensi guru, Ada sedikitnya dua kemungkinan penyebabnya.
Pertama : karena guru menganggap murid-muridnya terlalu bodoh, sehingga “walaupun sudah diterangkan seribu kali” murid-murid masih saja tidak mengerti.
Kedua : karena gurunya justru gagal untuk belajar bagaimana menjadi guru yang efektif.”
Mengapa gagal untuk belajar menjadi guru yang efektif ? Banyak hal yang harus dicermati. Dalam “Pendekatan Kontekstual” (2003) disampaikan hal berikut :
“Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai seperangkat fakta-fakta yang harus dihapal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar. Untuk itu diperlukan sebuah strategi belajar “baru” yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghapal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan-pengetahuan dibenak mereka sendiri.”
Pendapat di atas mengacu pada strategi belajar yang memberdayakan siswa. Dalan hal ini terdapat penekanan, yaitu memberdayakan siswa. Dan untuk memberdayakan siswa agar dapat belajar maksimal, diperlukan guru-guru yang mau merubah pandangannya tentang mengajar. Salah satu bentuk perubahannya adalah seperti yang diuraikan oleh “Pendekatan kontekstual” (Contextual teaching and Learning) berikut :
“Pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situiasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan dengan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih penting daripada hasil” (2003:1)
Strategi pembelajaran lebih ditekankan dari pada hasil, karena selama sekian tahun kita telah dimabukkan dengan pencapaian prestasi, merusak pembentukan belajar untuk belajar mengumpulkan pengetahuan
Pengembangan Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan Sebagai Strategi mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Situasi belajar yang demikian akan memotivasi setiap pembelajar untuk mengaktualisasikan, mendayagunakan dan mengembangkan potensi-potensi secara optimal dalam suatu orkestra interaksi multi arah yang harmonis, dan atas hamparan kasih sayang dan empati guru.”(2003:5)
Dengan strategi pembelajaran yang demikian, di mana siswa tidak lagi harus menghapalkan data dan fakta-fakta yang acak, yang kelak juga akan membentuk pola dan landasan berfikir yang acak pula, diharapkan lahir manisia-manusia baru yang lebih sistematis dalam berfikir, berbicara, bertindak, mampu mengembangkan nilai, moral dan etika. Dengan strategi pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM), akan tumbuh pula manusia-manusia baru yang berfikir serta bertingkah laku yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan pula.
Demikian pula dalam hal agar guru mau mengurangi sebanyak mungkin mengajarnya, serta menggantinya dengan strategi siswa belajar dengan mengkonstrusi pengetahuan (Constructivisme Learning/CL), Tetapi yang penting adalah bagaimana guru dapat mengembangkan strategi agar siswa dapat belajar dengan aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Teori Bruner (Fasilitator Edisi I Tahun 2003:18) tentang belajar perlu kita simak untuk lebih memberikan pemahaman kita tentang belajar sebagai berikut :
“Bruner tidak mengembangkan suatu teori belajar yang sistematis. Yang penting baginya ialah bagaimana cara-cara orang memilih, mempertahankan dan mentransformasikan informasi secara aktif, dan inilah menurut Bruner inti dari belajar.
Pendekatan Bruner terhadap belajar dilakukan pada dua asumsi. Asumsi pertama ialah, bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan, tetapi juga dalam diri orang itu sendiri. Asumsi kedua ialah bahwa orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya.
Yang kedua adalah teori Aubel, Balam “Fasilitator” (2003:19) bersama Novak berpendapat tentang belajar sebagai berikut :
“Ada dua asumsi belajar, yaitu : dimensi penerimaan/penemuan dan dimensi hafalan/bermakna, yang tidak menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan merupakan suatu kontinuum. Dengan dikotomi sederhana, hafalan/bermakna dimaksudkan hafalan atau bermakna. Sedangkan dengan kontinuum hafalan/bermakna dimaksudkan kedua macam belajar itu selalu terjadi pada diri anak, hanya berbeda dalam kadarnya. Bila belajar hafalan berkurang, maka belajar bermakna bertambah. Demikian pula dengan dimensi penerimaan/penemuan.
Dari pandangan tiga ahli di atas, maka timbul pemikiran baru tentang pendekatan atau strategi belajar yang dimaksud oleh peneliti, yaitu : Strategi belajar yang memberikan kesempatan belajar sendiri di bawah strategi guru, dan dengan belajar sendiri tersebut diharapkan siswa akan menemukan dan mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya. Sedangkan guru bertindak selaku fasilitaor dan moderator yang membimbing dan menjamin agar strategi tersebut dapat berjalan dengan sebaik-baiknya. Diharapkan dengan teknik moderasi dan fasilitas yang diberikan kepada siswa untuk memanfaatkan kesempatan belajar dengan aktif, mereka dapat belajar untuuk belajar bagaimana caranya mengumpulkan pengetahuan.
.
Riberu, dalam “Pengantar Mengajar Dengan Sukses”, (1991:xxi) menyatakan sebagai berikut :
“Cara mengajar yanmg ingin mencapai hasil seperti utarakan di atas, harus memberi keleluasaan secukupnya kepada peserta didik untuk melatih kemampuannyadalam berbagai macam kegiatan, yang menuntut sumbangan dari kemampuan tersebut. Learning by doing, berlajar sambil berbuat, itulah yang dicanangkan oleh Paedagogik mutakhir. Tiap pengajaran wajib membantu proses belajar, dengan merangsang peserta didik untuk sendiri giat melakukan sesuatu. Dalam kegiuatan yang direncanakan dan dibuat sendiri oleh peserta didik dapat melatih kemampuannya, dan meresapkan apa yang didengarnya lewat pengalaman yang pasti meninggalkan bekas yang bermanfaat dalam perangkat dirinya.”
Dari gambaran ini, jelas bahwa bila dikaitkan dengan uraian dalam pembahasan teori di atas, telah dapat disimpilkan, bahwa pembelajaran dengan melakukan dan berbuat sendiri, sangat sesuai dengan Pembelajaan aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Dengan memahami diri bahwa sesuatu pekerjaan bila dikerjakan dengan menyenangkan, pasti akan dapat dipetik hasilnya.
Degeng, dalam “Pokok Pikiran Revolusi Belajar embelajaran”, (2003), menyatakan bahwa seorang siswa tidak akan dapat berhasil mengkonstruksi hasil belajar sebagai suatu bentuk bangunan pengetahuan dalama dirinya, bila tidak sejahtera dalam belajar. Bila dalam mengikuti proses belajar dan pembelajaran selalu ditekan dan tertekan, akaibat banyaknya hapalan, banyaknya tugas dan banyaknya larangan dan batasan yang diberikan oleh guru. Demikian pula Winarno Surakhmad dalam “Reformasi Pendidikan Dasar” (2003), menyatakan bahwa rutinitas mendengarkan ceramah guru oleh siswa mengakibatkan siswa tidak belajar, tetapi hanya mengingat yang diajarkan.
Demikian pula yang diuraikan oleh Budiman Hardjomarsono, dalam “Terapan Otonomi dalam mengelola sekolah, (2003), yang menekankan tentang pentingnya penerapan metode PAKEM, sebagai berikut :
“Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang bermutu dengan menerapkan metode PAKEM. Guru berkewajiban untuk mengupayakan agar pembelajaran dirancang sebaik-baiknya sehingga kepentingan dan kondisi perorangan siswa diperhatikan. Siswa terlibat dalam pembelajaran secara aktif, dengan irama dan cara belajar yang bervariasi, supaya tidak lagi terjadi proses pembelajaran yang berpusat pada guru.
Jadi, telah banyak peneliti yang melakukan penelitian bagaiman sebenarnya terapan PAKEM ini terhadap hasil belajar yang diupayakan. Sehingga tidak ada kelirunya bila dalam penelitian ini, peneliti juga mengembangkan pembelajaran PAKEM ini sebagai wahana baru di dunia pendidikan untuk mendekatkan siswa dengan alam belajarnya.
BAB III
KESIMPULAN, SARAN DAN RUJUKAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab IV, diperoleh data sebagai berikut :
1. Pelaksanaan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Siswa aktif membangun cara belajarnya, akrena guru tidak menerangkan, meminta menghapal, atau terpaksa berbuat demi keinginan guru.
2. Strategi yang dilakukan guru agar siswa aktif, kreatif dan senang belajar adalah selalu memberi keleluasaan agar siswa mengembangkan keinginan belajar sesuai dengan cara yang diinginkannya.
3. Pengaruh terhadap siswa yang melakukan aktifitas belajar adalah, siswa merasa sejahtera dan betah di kelas, karena tidak diharuskan menghapal dan bangga bahwa mereka berani bertanya dan diskusi dengan gurunya.
B. Saran
Dari kesimpulan yang diperoleh, penulis menyarankan agar guru melakukan hal-hal berikut :
1. Mengubah paradigma berfikirnya dengan mengembangkan strategi pembelajaran aktif, kretif, efektif dan menyenangkan, dengan tidak memaksa siswa untuk menghapal atau mengikuti keterangan yang disampaikannya dalam mengajar.
2. Selalu memberi keleluasaan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan cara yang diinginkannya, sehingga siswa mengenali cara belajar yang paling sesuai dengan dirinya.
3. Guru memahami bahwa tujuan dari strategi pembelajarnnya adalah siswa belajar untuk belajar memperoleh pengetahuan demi mengembangkan pengetahuannya di masa depan.
Selengkapnya hubungi 081333052032.
|