Oleh Indarto Bandono (Mahasiswa Program Pascasarjana UNISMA Malang)
.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancangkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pembelajaran di sekolah. Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus. Pembentukan profesi guru dilaksanakan melalui program pendidikan pra-jabatan maupun program dalam jabatan.
Tidak semua guru yang dididik di lembaga pendidikan terlatih dengan baik dan kualified. Potensi sumber daya guru itu perlu terus tumbuh dan berkembang agar dapat melakukan fungsinya secara potensial. Selain itu pengaruh perubahan yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus-menerus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mobilitas masyarakat. Masyarakat mempercayai, mengakui dan menyerahkan kepada guru untuk mendidik tunas-tunas muda dan membantu mengembangkan potensinya secara professional.
Kepercayaan, keyakinan, dan penerimaan ini merupakan substansi dari pengakuan masyarakat terhadap profesi guru. Implikasi dari pengakuan tersebut mensyaratkan guru harus memiliki kualitas yang memadai. Tidak hanya pada tataran normatif saja namun mampu mengembangkan kompetensi yang dimiliki, baik kompetensi personal, professional, maupun kemasyarakatan dalam selubung aktualisasi kebijakan pendidikan.
Hal tersebut lantaran guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek “guru” dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang professional.
Jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya masih beragam. Sudarwan Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang komprehensif guna meningkatkan kompetensi guru Siapapun sependapat bahwa guru itu memegang peranan yang amat penting dalam upaya mengembangkan sumber daya manusia melalui pendidikan. Menurut Iman Barnadib (1996:18) pendidikan memperhatikan manusia sebagai subjek karena dengan potensinya manusia mempunyai daya untuk mengembangkan diri yang seterusnya menjadi makluk berkepribadian dan berwatak.
Sardiman A.M. (2001 : 123) berpendapat bahwa guru tidak semata-mata sebagai ”pengajar” yang transfer of knowledge, tetapi juga sebagai “pendidik” yang transfer of values dan sekaligus sebagai “pembimbing” yang memberikan pengarahan dan menuntun siswa dalam belajar. Muhamad Surya (1988) mengatakan, bimbingan mempunyai peranan yang amat penting dalam pendidikan, yaitu membantu setiap pribadi anak didik agar berkembang secara optimal. Dengan demikian maka hasil pendidikan sesungguhnya akan tercermin pada penampilan yang memadai dan ditunjang oleh penguasaan keterampilan-keterampilan, intelektual, sosial dan spiritual. Menyadari pentingnya guru dalam pengembangan SDM, maka guru harus memiliki kompetensi professional
Kompetensi profesional guru dewasa ini menjadi sorotan banyak pihak. Departemen Pendidikan Nasional beberapa tahun lalu melaksanakan Tes Kompetensi Guru secara nasional. Informasi Depdiknas yang dilansir oleh Espos 29 September 2004, Data Direktorat Tenaga Pendidikan Depdiknas menyebutkan, umumnya kualitas guru di Indonesia masih rendah. Menurut data tersebut sebanyak 60 – 90 persen guru Taman Kanak-kanak (TK) hingga tingkat SLTA di Indonesia tidak layak mengajar. Hal ini merupakan suatu keprihatinan yang perlu mendapatkan perhatian dan bantuan untuk meningkatkan kompetensi professional guru.
Melihat fakta di atas, makanya tidak heran jika guru dituding sebagai “biang kerok” terhadap merosotnya mutu sumber daya manusia ketika negeri ini mengalami “kebangkrutan” intelektual, sosial, dan moral di segenap lapis dan lini kehidupan. Guru dinilai “mandul” dan gagal menjalankan fungsinya sebagai “agen pembelajaran” sehingga gagal melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, terampil, dan bermoral.
Dengan nada ironis, Darmaningtyas (2001) menyatakan bahwa profesi guru itu telah mati karena memang sengaja dimatikan agar guru tidak memiliki kemandirian dalam menyiapkan lahan, memberi pupuk, dan menyemai benih-benih yang sedang tumbuh. Tugas guru dalam penyiapan lahan, pemberian pupuk, dan penyemai senantiasa akan tergantung pada pihak yang memberikan komando atau instruksi.
Terlepas dari atmosfer politik yang sangat tidak menguntungkan bagi guru pada era otonomi daerah ini, secara jujur juga harus diakui, guru masih belum mampu tampil optimal dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab profesinya. Kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial yang harus dimiliki oleh guru sebagai agen pembelajaran sebagaimana diamanatkan PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) masih dipertanyakan banyak kalangan.
Perubahan paradigma tentang masalah pendidikan, dan digulirkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) yang berbasis kompetensi, tentu menuntut perubahan paradigma guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penanggung jawab utama proses pembelajaran di kelas.
Memahami kondisi di atas telah berbagai upaya dilakukan oleh semua pihak yang merasa bertanggung jawab tentang peningkatan mutu pendidikan, mulai dari membuka peluang bagi guru untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, baik dengan biaya pemerintah ataupun dengan biaya mandiri. Melakukan pelatihan/penataran di tingkat kabupaten, propinsi dan nasional, mengefektifkan kegiatan MGMP dan atau MGBS. Namun upaya itu pada realitanya tidak menampakan hasil yang signifikan ke arah peningkatan mutu pendidikan secara nasional.
Penataran/pelatihan itu tidak memberikan hasil yang signifikan ke arah perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan menurut analisis para ahli banyak kemungkinan penyebabnya. Salah satu diantaranya, karena guru tersebut diangkat/dicabut dari kontek dan habitat aslinya, dan dihadapkan pada situasi dan kultur baru yang belum tentu cocok dengan kontek dan kultur tempat mereka bertugas. Sehingga pelatihan/penataran melahirkan kebingungan baru yang mendorong guru menjadi apatis serta mempertahan status quo. Setelah mereka sampai di tempat tugasnya habis mengikuti penataran/pelatihan, mereka kembali kepada kebiasaan lama yang sudah tidak relevan lagi.
Bantuan untuk meningkatkan kompetensi professional guru dapat dilakukan oleh kepala sekolah yang berfungsi sebagai supervisor. (fungsi kepala sekolah yang lain yaitu sebagai educator, manajer, administrator, leader (pemimpin), innovator dan motivator). Selaku manajer kepala sekolah memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan efektivitas sekolah dengan menerapkan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah peran kepala sekolah dalam meningkatkan kompetensi professional Guru melalui melalui supervisi klinis?
C. Tujuan
Mendiskripsikan peran kepala sekolah dalam meningkatkan kompetensi professional guru melalui supervisi klinis
D. Manfaat
1. Tulisan ini ingin memberikan sumbangan konsep peran kepala sekolah dalam meningkatkan kompetensi profesional guru melalui supervisi klinis.
2. Tulisan ini ingin memberikan sumbangan praktis implementasi konsep peran kepala sekolah dalam meningkatkan kompetensi profesional guru melalui supervisi klinis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Pustaka
Membicarakan strategi pengembangan pendidikan, sedikitnya terdapat lima subsistem yang saling bekerjasama, yakni (1) guru sebagai tenaga pendidik, (2) kurikulum, (3) sarana dan prasarana pendidikan, (4) kultur masyarakat yang menunjang, dan (5) kualitas calon peserta didik. Dari kelima subsistem tersebut kompetensi guru memiliki peran yang paling dominan, karena sebaik apapun kurikulum dan selengkap apapun fasilitas akan menjadi tidak bermakna apabila berada di tangan guru yang kurang profesional.
Sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam membangun pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap sumber daya manusia (SDM), yakni : (1) sarana dan prasarana belajar , (2) buku dan atau sumber belajar yang berkualitas, dan (3) guru dan tenaga kependidikan yang profesional. Demikian diungkapkan mantan Menteri Pendidikan Nasional Wardiman Djoyonegoro dalam wawancara dengan Metro TV dalam rangka menyambut hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2005. Dalam pada itu dikemukakannya, “hanya 43 % guru yang memenuhi syarat “. Artinya sebagian besar guru ( 57 % ) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sisdiknas Bab XI Pasal 39 ayat (1), dijelaskan tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan dan satuan pendidikan. Syaiful (2000 : 73 ) mengatakan : guru adalah orang tua kedua bagi anak didik . Imran ( 1989 : 112 ) mengungkapkan bahwa guru merupakan tokoh kunci dalam proses transformasi manusian Indonesia untuk menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, inovatif dan kreaktif. Dalam sistem persekolahan, gedung, sarana prasarana, kurikulum, tenaga non kependidikan adalah penting, tetapi tanpa guru yang bermutu, guru yang berdedikasi, guru yang profesional semua masukan lain tidak akan mempunyai arti banyak.
Guru memiliki posisi yang sangat penting dan menetukan. Guru berada pada lini paling depan dalam keterlaksanaan proses pembelajaran di sekolah. Guru merupakan orang yang paling bertanggung jawab atas kualitas dan kebermaknaan proses pembelajaran di dalam kelas. Dengan sedemikian besarnya beban tugas dan tanggung jawab guru, jika dipersandingkan dengan guru yang memenuhi syarat seperti yang diungkap Bapak Wardiman di atas, akan sangat sulit untuk bisa dipahami bagaimana guru dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan harapan.
Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya. Namun, jika kita selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung dari setiap jenis kompetensi, –sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun dalam perspektif kebijakan pemerintah-, kiranya untuk menjadi guru yang kompeten bukan sesuatu yang sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala sekolah. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa “kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja personel, terutama meningkatkan kompetensi profesional guru.”
Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional di sini, tidak hanya berkaitan dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan.
- Peran Kepala Sekolah
Kepala sekolah memiliki peran sebagai berikut:
a. Kepala sekolah sebagai educator (pendidik)
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.
b. Kepala sekolah sebagai manajer
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasilitasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, –seperti : MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya–, atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti: kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.
c. Kepala sekolah sebagai administrator
Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan berpengaruh terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu, kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.
d. Kepala sekolah sebagai supervisor
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (E. Mulyasa, 2004). Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, —tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan–, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.
Jones dkk. sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa “ menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka”. Ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak menguasainya dengan baik.
e. Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)
Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi guru? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Kendati demikian menarik untuk dipertimbangkan dari hasil studi yang dilakukan Bambang Budi Wiyono (2000) terhadap 64 kepala sekolah dan 256 guru Sekolah Dasar di Bantul terungkap bahwa ethos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin oleh kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada manusia.
Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai barikut: (1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan (E. Mulyasa, 2003).
f. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik daripada hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan (modifikasi dari pemikiran E. Mulyasa tentang Kepala Sekolah sebagai Motivator, E. Mulyasa, 2003).
g. Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirausahaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya.
- Fungsi Kepala Sekolah
Menurut Wahjosumidjo (2002:81) kepala sekolah dapat didefinisikan sebagai seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat di mana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran.
Berdasarkan pengertian di atas bahwa kepala sekolah itu mempunyai tugas memimpin, maka kepala sekolah itu merupakan kekuatan sentral yang mampu mempengaruhi dan menggerakkan orang lain untuk mencapai suatu tujuan dengan irama yang diciptakan. Gerakan atau irama suatu sekolah sangat dipengaruhi kinerja kepala sekolah dalam melaksanakan fungsinya.
Mulyasa (2003:98) menjelaskan, dalam paradigma baru manajemen pendidikan kepala sekolah sedikitnya harus mampu berfungsi sebagai educator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator, motivator (EMASLIM).
- Kompetensi Guru
Louise Moqvist (2003) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.”
Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan.
Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
Sementara itu, dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu :
- Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
- Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
- Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
- Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
4. Supervisi
Menurut Sergiovanni (1971:10) Supervisi adalah suatu proses yang digunakan oleh personalia sekolah yang bertanggungjawab terhadap aspek-aspek tujuan sekolah dan yang bergantung secara langsung kepada para personalia yang lain, untuk menolong mereka menyelesaikan tujuan sekolah itu. Jadi supervisi itu itu bukan peranan, tapi merupakan suatu proses. Proses tersebut terjadi di sekolah yang digunakan oleh personalia-personalia tertentu untuk menolong para personalia yang lain dalam usaha mencari tujuan pendidikan
Beberapa jenis supervisi antara lain :
- observasi kelas
- saling kunjung
- demontrasi mengajar
- supervisi klinnis
- kaji tindak (action research)
5. Supervisi Klinis
Johan J. Bolla ( 1985 : 19 ) mengatakan bahwa, supervisi klinis adalah suatu proses bimbingan yang bertujuan untuk membantu pengembangan profesional guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Bimbingan diarahkan pada upaya pemberdayaan guru dalam menguasai aspek teknis pembelajaran. Dengan bimbingan tersebut diharapkan terjadi peningkatan kualitas pembelajaran.
Supervisi klinis adalah sebuah upaya berbagi pengalaman dan pengetahuan untuk meningkatkan kualitas pemelajaran dengan tanpa mengangkat/mencabut guru dari habitat dan kultur aslinya. Antara guru yang disupervisi dengan supervisor dapat saling bertukar argumen, tidak ada yang dinilai dan yang menilai. Keduanya saling memperkaya dan meningkatkan kualitas diri. Supervisi klinis dapat dilakukan bersiklus jika dibutuhkan.
Supervisi klinis diperlukan dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Beberapa alasan perlunya dilakukan supervisi klinis, diantaranya:
- Tidak ada balikan dari orang yang kompeten sejauhmana praktik profesional telah memenuhi standar kompetensi dan kode etik
- Ketinggalan iptek dalam proses pembelajaran
- Kehilangan identitas profesi
- Kejenuhan profesional (bornout)
- Pelanggaran kode etik yang akut
- Mengulang kekeliruan secara masif
- Erosi pengetahuan yang sudah didapat dari pendidikan prajabatan (PT)
- Siswa dirugikan, tidak mendapatkan layanan sebagaimana mestinya
- Rendahnya apresiasi dan kepercayaan masyarakat dan pemberi pekerjaan
Secara umum tujuan supervisi klinis untuk :
- Menciptakan kesadaran guru tentang tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan kualitas proses pembelajaran.
- Membantu guru untuk senantiasa memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses pembelajaran.
- Membantu guru untuk mengidentifikasi dan menganalisis masalah yang muncul dalam proses pembelajaran
- Membantu guru untuk dapat menemukan cara pemecahan maslah yang ditemukan dalam proses pembelajaran
- Membantu guru untuk mengembangkan sikap positif dalam mengembangkan diri secara berkelanjutan.
Pelaksanaan supervisi klinis menuntut perubahan paradigma guru dan supervisor. Supervisi dilakukan bukan dalam konteks mencari kesalahan dan kelemahan guru yang di supervisi. Antara guru yang disupervisi dengan supervisor adalah mitra sejajar, bukan merupakan hubungan antara bawahan dan atasan dan atau hubungan antara guru dengan murid. Secara kemitraan keduanya menganalisis proses pembelajaran yang telah dirancang dan disepakati, kemudian dicarikan alternatif pemecahan permasalahan yang ditemui dalam proses pembelajaran tersebut agar dapat ditingkatkan kualitasnya
Supervisi klinis memberikan kebebasan untuk memilih tanggapan terhadap berbagai rangsangan yang ada. Guru dapat memperlebar ruang yang terdapat antara rangsangan dan tanggapan yang datang silih berganti, setiap guru memimpin proses pembelajaran, baik di dalam ataupun di luar ruang kelasnya. Pembelajaran akan lebih bermakna dan berkualitas.
Supervisi klinis dapat dilakukan atas permintaan guru, karena ia merasa belum mampu melaksanakan strategi atau keterampilan mengajar terntentu, atau guru tersebut menemui masalah dalam proses pemelajaran yang ia tidak mempu mengatasinya sendiri. Guru juga dapat meminta agar ia disupervisi dengan supervisi klinis, karena ia merasa kurang maksimal dalam pelaksanaan proses pemelajaran.
Supervisi klinis juga dapat diminta oleh kepala sekolah agar dilakukan terhadap guru tertentu. Hal ini didasari oleh hasil analisis supervisi umum yang dilakukan oleh kepala sekolah dan atau tim yang ditunjuk kepala sekolah. Hasil supervisi memberikan petunjuk bahwa guru tertentu perlu bantuan dan bimbingan agar mampu melaksalanakan proses pemelajaran yang lebih berkualitas dan bermakna.
Berdasarkan dua pertimbangan di ataslah supervisi klinis dapat dilakukan terhadap seorang guru. Walaupun demikian masih dituntut persetujuan, kerelaan dan pemahaman yang mendalam dari guru yang akan disupervisi dengan supervisi klinis.
Selanjutnya La Solo (1983 : 56 ) menjelaskan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan supervisi klinis, antara lain adalah :
- Supervisi klinis dilakukan dalam bentuk bimbingan dan atau berbagi pengalaman dan pengetahuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, bukan perintah atau instruksi atasan pada bawahan.
- Aspek dan jenis keterampilan yang akan disupervisi diusulkan oleh guru dan atau sebuah kesepakan hasil kajian bersama antara guru dengan supervisor.
- Walaupun guru menggunakan berbagai strategi, metoda, media dan keterampilan pembelajaran secara terintegrasi, sasaran supervisi klinis hanya pada aspek dan jenis keterampilan yang disepakati.
- Instrumen supervisi dirancang dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan.
- Supervisor merefleksikan data dan fakta objektif hasil observasi selama proses pembelajaran berlangsung.
- Balikan diberikan segera setelah kegiatan supervisi berlangsung.
- Guru yang disupervisi diberikan kesempatan seluas-luasnya memberikan argumentasi yang mendasari pilihan tindakan dan perilaku yang digunakan dalam proses pembelajaran.
- Supervisor lebih banyak bertanya dan mendengar penjelasan daripada memberikan arahan apalagi perintah.
- Setelah didapat pemahaman bersama dan dirasa belum mencapai kondisi optimal yang diinginkan, supervisi dapat dilanjutkan pada siklus berikutnya.
10. Satu siklus supervisi klinis terdiri dari 5 ( lima ) tahapan kegiatan yaitu : a). merumuskan kesepakatan, b). menyusun perencanaan, c). melaksanakan proses pembelajaran, melakukan observasi dan merefleksikan data dan fakta hasil observasi, d). diskusi/balikan, dan e). merancang siklus berikutnya.
6. Pelaksanaan Supervisi Klinis
a. Prosedur Supervisi Klinis
Supervisi klinis berlangsung dalam suatu siklus dengan tiga tahap utama, yaitu tahap pertemuan awal, tahap observasi mengajar, dan tahap pertemuan setelah observasi.
1) Tahap pertemuan awal
Pertemuan ini diadakan atas permintaan guru sesuai dengan kebutuhan dalam ruang lingkup kegiatan penting:
- Menciptakan suasana pertemuan yang intim dan terbuka;
- Mengkaji rencana pengajaran yang meliputi tujuan, metode, evaluasi hasil belajar siswa;
- Mengkaji keterampilan mengajar yang dirasakan perlu untuk memperbaiki atau untuk dikembangkan;
- Memilih atau mengembangkan instrument observasi yang akan dipakai untuk mengobservasi guru dalam mengajar;
- Menegaskan kembali kesimpulan pengkajian dalam tahap ini untuk menjadi kesepakatan.
2) Tahap observasi mengajar
Guru yang mengajar diobservasi oleh supervisor sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Dalam melakukan pengamatan, supervisor melakukan pencatatan tingkah laku guru berdasarkan komponen keterampilan yang diminta oleh guru untuk direkam.
a) Tahap pertemuan setelah observasi
Dalam tahap ini supervisor dan guru melakukan pertemuan untuk mengkaji data-data yang diperoleh bersama dan disesuaikan kesepakatan pada tahap pertemuan awal. Tahap pertemuan akhir ini harus segera dilakukan dengan maksud agar diperoleh pemecahan terhadap kesulitan yang dialami oleh guru saat mengajar.
Kegiatan pokok pada pertemuan akhir ini antara lain:
- Mengulas kembali target kontrak penampilan;
- Bersama-sama mengkaji/menganalisis data hasil observasi, dan dengan bantuan supervisor, guru berusaha menginterpretasikan dan menyimpulkan data hasil observasi;
- Menentukan tindak lanjut kegiatan berikutnya.
2. Instrumen supervisi klinis
.
Selengkapnya hubungi: 081333052032