oleh Hindun Nursiyati (Mahasiswa Program Pascasarjana UNISMA Malang)
.
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai sebuah lembaga pendidikan. Peran perpustakaan memiliki arti yang cukup potensial. Khususnya sebagai sumber dalam mengembangkan wawasan dan pengetahuan siswa, dengan memanfaatkan waktu mereka pada jam-jam istirahat, maupun waktu terluang mereka yang lain di sekolah. Dan secara umum, potensi ini belum tergarap secara optimal.
Besarnya potensi ini memerlukan perhatian khusus yang harus cukup memadai bagi pembiasaan siswa dalam memanfaatkan perpustakan sebagai salah satu tempat kegiatan mereka. Upaya maksimal sangat diperlukan untuk mengubah kebiasaan mereka yang senang bercengkerama, bercerita atau justru jajan di kantin sekolah, menjadi pembiasaan masuk ke perpustakaan dan membaca buku di sekolah.
Ini merupakan tantangan yang cukup berat, tetapi juga cukup menjanjikan bagi hadirnya sebuah dasar pengembangan pengetahuan dan wawasan bagi siswa. Kholid A. Harras dan Lilis, dalam Modul Membaca I (1998:1.1) menjelaskan sebagai berikut :
“Membaca menduduki posisi serta peran yang sangat penting dalam konteks kehidupan umat manusia, terlebih pada era informasi dan komunikasi seperti sekarang ini. Membaca juga merupakan sebuah jembatan bagi siapa saja dan di mana saja yang berkeinginan meraih kemajuan dan kesuksesan. Oleh karena itu para pakar sepakat, bahwa kemahiran membaca (reading literacy), merupakan conditio sine quanon (prasyarat mutlak) bagi setiap insan yang ingin memperoleh kemajuan.
Begitu penting bagi hadirnya perpustakaan yang memadai bagi sebuah sekolah, nampak jelas digambarkan “Fasilitator” dalam “Paradigma baru pengajaran pembaca dan menulis” (2003:45) sebagai berikut :
“Dewasa ini, khususnya di negara barat, berkembang pandangan “baru” mengenai bagaimana seorang anak belajar literasi.
Kata “baru” di sini adalah untuk ukuran Indonesia, karena di negara maju pandangan tentang pembelajaran literasi sudah lama dianut. Para ahli percaya, bahwa anak mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk dapat mempelajari literasi, asalkan mereka di beri perlakuan yang tepat.”
Di sini jelas digambarkan, bahwa anak mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk mempelajari literasi, asalkan diberi perlakuan yang tepat, ini seolah-olah menjelaskan bahwa pada umumnya, kita belum menangani masalah literasi ini dengan tepat. Di sini diperlukan langkah khusus yang dirancang untuk menangani permasalahan ini. Dan salah satu yang diperlukan untuk mendukung masalah literasi tersebut, adalah hadirnya perpustakaan yang memadai.
Dengan pengembangan perpustakaan sekolah, diharapkan siswa mempunyai perhatian khusus pula terhadapnya. Sehingga tertarik untuk memanfaatkannya. Karena sebenarnya membaca merupakan salah satu sifat dasar bagi manusia. Dalam hal ini, siswa akan timbul rasa ingin tahunya, sehingga mau membaca buku dan akhirnya terbiasa memanfaatkan perpustakaan.
Ad Roijakers (1991:176) menjelaskannya sebagai berikut :
“Pada kenyataannya bahan bacaan di Indonesia masih sedikit jumlahnya, bila dilihat dari segi kebutuhan. Lagi pula kecenderungan dan rangsangan untuk membacapun masih termasuk kurang. Padahal kegiatan membaca merupakan sesuatu yang cukup penting artinya bagi kita. Dengan membaca secara teratur dapat menyerap gagasan, teori, analisa atau penemuan orang lain. Dan lewat kegiatan membaca pula orang dapat mengembangkan diri dalam bidangnya serta dapat mengikuti setiap perkembangan baru yang terjadi.”
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti mengajukan judul penelitian berbasis literasi dengan judul : “Peranan perpustakaan sekolah dalam mengembangkan pengetahuan siswa di Kediri.
Pengembangan pengetahuan siswa melalui pemanfaatan perpustakaan sekolah, merupakan permasalahan “lama” yang tidak pernah selesai. Hal ini terjadi karena berbagai masalah yang melingkupi penyelenggaraan sebuah perpustakaan cukup banyak, dan tidak kunjung mendapatkan jalan keluar. Dan permasalahannya tidak cukup dapat ditangani secara mandiri oleh pendiri perpustakaan.
Sumber-sumber buku fiksi maupun non fiksi yang dibutuhkan oleh sekolah, sulit didapat. Dan kalaupun ada membutuhkan dana yang tidak sedikit, Dan itu belum mampu dipenuhi oleh penyelenggaran perpustakaan sekolah secara mandiri. Mengharapkan bantuan dana dari sumber lainpun cukup sulit, terutama justru berpangkal dari belum terbentuknya budaya literasi.
Demikian pula perhatian guru terhadap pemanfaatan perpustakaan sebagai sumber belajar belum memadai. Semakin mengakibatkan perpustakaan tidak mendapatkan tempat. Banyak guru yang sering “lupa” bahwa perpustakaan telah ada di dekat mereka dan menanti dimanfaatkan. Ditambah dengan belum adanya kebiasaan mengunjungi dan memanfaatkan perpustakaan oleh siswa, semakin mengakibatkan terbengkelainya perpustakaan. Dan mengakibatkannya menjadi barang yang kurang lebih setara dengan gudang buku.
Demikian pentingnya perpustakaan, digambarkan oleh Kholid dan Lilis sebagai berikut :
“Hampir semua fakta sejarah membuktikan bahwasanya tidak ada bangsa manapun di dunia ini yang berhasil mencapai puncak-puncak kebudayaannya yang tidak ditopang oleh budaya literasi masyarakatnya. Contoh paling aktual mengenai fenomena tersebut yakni, bangsa Jepang.Sebelum bangsa jepang melakukan gerakan Restorasi Meiji, di mana mereka melakukan terjemahan besar-besaran terhadap buku-buku ilmu pengetahuan dan teknologi dan mengupayakan baca tulis kepada masyarakatnya pada sekitar paruh abad ke 18, bangsa Jepang hampir tidak pernah diperhitungkan keberadaannya oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini. Tetapi setelah mereka melakukan gerakan tersebut dan masyarakatnya telah emiliki tingkat literasi yang merata hanya dalam tempo kurang dari satu abad, bangsa Jepang akhirnya muncul sebagai salah satu kekuatan baru yang sangat diperhitungkan keberadaannya, sekaligus disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini.”
Untuk menuju ke arah yang sama atau hampir sama dengan bangsa Jepang, ternyata timbul banyak permasalahan. Namun demikian, minimal peneliti berusaha untuk mengidentifikasi beberapa masalah esensial yang mungkin muncul untuk dapat diselesaikan dengan perlakuan yang dirancang sebagai sebuah penelitian, dapat digunakan sebagai landasan untuk membangkitkan budaya literasi di sekolah.
Permasalahan yang teridentifikasi dan cukup esensial untuk dilakukan pemecahan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana cara membiasakan siswa agar mau memanfaatkan perpustakaan sebagai tempat mengembangkan pengetahuannya?
2. Bagaimana cara mengarahkan guru agar mau memanfaatkan perpustakaan sebagai salah satu sumber pembelajarannya?
3. Dan bagaimana peranan perpustakan terhadap perkembangan pengetahuan dan wawasan siswa?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Perpustakaan Sekolah
Perpustakaan sekolah merupakan unit sarana pendidikan yang saat ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh sebagaian besar pendidik. Hal ini terjadi diakibatkan oleh berkembangnya sistem pembelajaran yang bersifat orality, yaitu lebih banyak menerangkan daripada menyusun sebuah strategi yang memberdayakan siswa untuk belajar secara mandiri di perpustakaan. Kholid A. Harras dan Lilis dalam masalah ini menyatakan menyatakan :
“Mengomentari betapa pentingnya kaitan antara literasi dengan dunia persekolahan tersebut, secara tamsil Andre Morois, salah seorang saastrawan kondang asal Perancis mengatakan bahwa pada hakekatnya salah satu tugas atau misi terpenting kehadiran dunia persekolahan mulai dari SD hingga PT/universitas, yakni mengantarkan para peserta didiknya agar kelak mereka mampu ”membuka pintu perpustakaan” sendiri alias manusia yang mencetak manusia-manusia yang berkebudayaan literasi. Dan dunia persekolahan tidak mampu merealisasikan misi tersebut, ujar Morois, maka proses bersekolah pada dasarnya boleh dianggap sebagai hal yang mubazir atau sia-sia”
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pada sekolah-sekolah kita masih terjadi sesuatu yang salah dan harus dibenahi. Dan ini merupakan tugas kita, untuk menyusun strategi pembelajaran yang lebih baik dengan mendasarkan kepada satu dasar pembelajaran berbasis perpustakaan. Atau dengan kata lain, kita berharap agar mampu menempatkan perpustakaan sebagai primadona sekolah, dengan menempatkannya sebagai sentral pendidikan.
Tentu saja kita tidak perlu menanyakan apakah perpustakaan kita siap atau tidak untuk itu. Tetapi kita harus berfikir bahwa bila perpustakaan tersebut kita manfaatkan sebagai sentral dan strategi pendidikan, maka bersamaan dengan itu pula, akan terjadi perkembangan pada perpustakaan itu sendiri. Karena proses yang kita kembangkan selama ini terlihat salah. Yaitu bahwa kita hanya mengembangkan perpustakaan sebagai barang mati yang diharapkan memiliki kesan yang megah. Tetapi tidak dibarengi dengan pemanfaatannya. Karena itu, maka pada kajian teori ini, peneliti lebih menekankan kepada pemanfaatan perpustakaan, dari pada kepada penelaahan tentang perpustakaan itu sendiri.
Dengan memanfaatkan perpustakaan sebagai sentral pendidikan, kita berharap mendapatkan hasil ganda, yaitu dari satu sisi siswa akan belajar mencintai perpustakaan, sedangkan dari sisi lain, mereka akan mampu mencocokkan penjelasan yang diperoleh dari guru, dengan sumber yang dia dapat dari buku yang dibaca. Dengan membaca dia akan mengenali penjelasan guru yang diterimanya, yang mungkin kurang dipahami, atau bahkan sama sekali tidak dipahami, dan bahkan mungkin perjelasan guru yang munbgkin mis konsep (salah konsep). Dengan cara ini diharapkan terjadi perkembangan penalaran pada pemikiran mereka tentang materi yang diajarkan guru.
Penalaran merupakan proses yang terpenting dalam pendidikan, namun juga belum mendapat perhatian yang optimal. Dan ini terjadi karena sistem pembelajaran konsep yang kini secara umum diterapkan oleh para pendidik kita. Kholid dan Lilis (1998:1.3) menjelaskan berikut :
“Sebagai bukti, konon para ahli ekonomi telah membuat perkiraan bahwa kehidupan perekonomian mendatang akan menemukan sumber kekuatannya pada kegiatan-kegiatan yang bertalian dengan suatu sumberdaya yang hanya ada pada manusia, yakni daya nalarnya. Sebab daya nalar tersebut merupakan sumber utama yang dimiliki manusia untuk berkreasi dan beradaptasi agar mereka mampu memacu kehidupan dalam jaman dfalam jaman teknologi yang semakin canggih ini. Nalar manusia hanya akan berkembang secara maksimal jika ia diasah melalui pendidikan. Dan jantung dari pendidikan adalah kegiatan berlierasi atau baca tulis.”
Di sini penalaran jelas merupakan tujuan pendidikan, dan penalaran tersebut hanya dapat dicapai dengan baca tulis atau literasi. Maknanya kurang lebih adalah bahwa pembelajaran konvensional yang tidak melibatkan perpustakan berarti kurang mengembangkan penalaran siswa. Demikian kurang lebih kesimpulan yang diperoleh. Apakah benar kesimpulan tersebut?
Ad Rooijakkers, dalam mengajar dengan sukses (1991:176) memberikan tambahan penjelasan tentang pentingnya membaca, sebagai berukut :
“Ilmu pengetahuan tidak pernah beku dan tidak pandang waktu. Ini berarti setiap orang perlu secara terus menerus mengembangkan pengetahuannya dengan membaca. Membaca berarti mempelajari hasil karya tulis para ahli menurut bidangnya. Tanpa pernah mempelajari gagasan atau ide orang lain akan mengakibatkan pandangan sendiri menjadi kabur, Dengan begitu dapat dikatakan, bahwa membaca merupakan suatu sarana untuk memelihara tingkat pengetahuan sendiri, serta untuk menambah pengetahuan baru.”
Dengan dasar seperti ini, diharapkan guru menyadari, bahwa penggunaan perpustakaan sebagai sumber belajar merupakan hal yang mutlak mulai diperhatikan. Namun demikian, membangkitkan kesadaran guru untuk mengembangkan masalah ini pada diri mereka, juga merupakan kesulitan tersendiri. Jelas ini saling terkait dengan profesionalisme dan tidak mudah.
Ahmadslamet Harjasujana dalam pengukuhannya sebagai guru besar menyatakan tentang peningkatan pendidikan untuk guru ini sebagai berikut :
“Sehubungan dengan hal itu, maka program-program pendidikan guru seyogyanya diperpanjang waktunya dan ditingkatkan kualitasnya. Guru yang dapat memberikan bantuan yang tepat dan efektif kepada siswa yang ditugasi membaca materi untuk bidang studi yang khusus ialah para guru bidang studi itu sendiri. Oleh karena itu, seyogyanya para guru bidang studi, perlu membekali diri berbagai kompetensi diri yang relevan jika benar-benar menghendaki anak didiknya mencapai prestasi yang diharapkan. Itu berarti mata kuliah ketrampilan membaca perlu diajarkan kepada seluruh mahasiswa calon guru.”
Pada tahap ini memang sangat kita sadari, bahwa para guru memang masih sangat asing dengan perpustakaannya sendiri. Tentu karena berbagai macam sebab pula yang tidak perlu dipermasalahkan. Tetapi yang lebih perlu adalah mencari jalan agar guru terbiasa masuk dan memanfaatkan perpustakaannya sendiri. Bagaiman mungkin guru dapat memberikan tugas kepada siswa untuk masuk keperpustakaan, bila dirinya tidak pernah masuk dan mengetahui daftar buku yang ada di sana.
Kholid dan Lilis, berpendapat tentang lemahnya peran guru untuk memanfaatkan perpustakaan sebagai sumber pijak pembelajaran (1998:1.21) sebagai berikut :
“Kedua, akibat sistem persekolahan kita yang kurang memberikan peluang yang cukup bagi hadirnya tradisi keberaksaraan (literasi) atau tradisi membaca kepada para peserta didik. Sebagaimana kita tahu, proses pembelajaran yang dibangun dalam dunia persekolahan kita pada umumnya lebih banyak berbasis dalam tataran lisan (guru terlalu banyak menjadi pembicara dan murid terlalu banyak menjadi pendengar) tinimbang dalam tataran keberaksaraan (guru dan murid sama-sama menjadi pembaca dan penulis). Bahkan berbagai pendekatan atau metode pengajaran yang sesungguhnya mensyaratkan hadirnya keberaksaraan banyak yang dipahami, serta diberlakukan dalam perspektif kelisanan. Para guru pada umumnya jarang menjadikan kegiatan membaca sebagai kerangka pijak (frame of reference) pembelajaran yang ia lakukan kepada siswanya.”
Maka dalam era desentralisasi pendidikan sekarang ini, kita harus berani untuk mulai membuat kebijakan baru yang mampu merubah kondisi tersebut menuju kondisi yang sesuai dengan kebutuhan yang dikehendaki di lapangan. Dalam masalah seperti ini, menarik untuk dicermati adalah uraian “Fasilitator” tentang “Memahami Kembali Problematika Belajar.”(2003:12)sebagai berikut:
.
Selengkapnya gubungi: 081333052032